Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takdir?
Cuaca siang menuju sore ini cerah. Langit bersih tanpa awan, aku tersenyum dan terus berdzikir, semoga semua akan baik-baik saja. Jantungku berdebar ketika melangkahkan kaki keluar dari pintu kedatangan domestik. Menaiki taksi bandara yang sudah stand by di tempat yang telah disediakan. Aku berniat mampir ke rumah Ibu, sebelum akhirnya pulang. Aku butuh beberapa jurnal, buku dan laptop-ku untuk mengajar senin esok. Sepanjang jalan, aku dan Pak Mamat, -supir taksi, mengobrol tentang perkembangan pembangunan daerah disini, Lombok Tengah ini kian banyak berubah, berubah ke arah lebih baik tentunya.
Setelah menyempatkan diri berjamaah di masjid dalam perjalanan, akhirnya aku sampai di depan rumah Ibu. Sambil melirik cemas ke arah rumah yang persis berada di depan gerbang rumah Ibu, aku membuka gerbang. Rumah dua lantai dengan cat kuning gading itu terlihat sepi, namun Rubicon hitam dan Vario silver terparkir rapi di carport, menandakan sang pemilik berada di rumah. Gegas aku mengunci gerbang sebelum bertemu pemilik kendaraan dari rumah depan itu.
"Assalamualaikum warahmatullah, Ibuuu, Aya pulang," ucapku bersimpuh dikaki Ibu yang tengah berdzikir di musholla rumah ini. Beliau terkejut, namun akhirnya memelukku erat sambil menjawab salamku. Ini yang membuatku nyaman disini, Ibu tak akan bertanya apapun sebelum aku bercerita sendiri.
"Kamu sehat, nak? Kok ndak pernah nelpon lagi sejak nelpon terakhir kali sama mas mu? Kamu ndak kesulitan kan disana?"
"Alhamdulillah, Bu. Berkat doa Ibu, Aya selalu dalam penjagaan Allah. Aya ketemu orang-orang baik dan luar biasa, Bu. Berkat mereka, semua kesulitan, bisa Aya lalui dengan baik. Tapi Aya ga lama disini, besok abis acaranya Byan, Aya musti balik lagi. Aya udah terikat kontrak kerja disana, jadi harus balik lagi. Kali ini Aya bakal sering nelpon Ibu, kayanya Aya butuh ponsel baru."
"Alhamdulillahi rabbil Alamiin. Kerja dimana, Ya? Kenapa ga beli dari kemarin-kemarin? Uang yang dikirim Mas-nya ga cukup?"
"Hah? Uang apa, Bu? Aya ga pernah cek, keasyikan pacaran sama alam. Haha... Aya ngegantiin Teh Rina ngajar, Bu. Beliau cuti melahirkan, jadi Aya ngambil alih tugas beliau selama cuti."
"Dimana ngajarnya? Aya ngajar apa?"
"Ada, Bu, di PTN daerah sana, Aya ngajar Matematika Ekonomi. Doain ya, Bu. Semoga semuanya lancar."
"Aamiin... Ibu selalu berdoa yang terbaik buat anak-anak Ibu. Mbak mu lagi ngedekor gedung buat acara besok. Kamu mau kesana?"
Aku hampir mengiakan ucapan Ibu, aku menggeleng. "Besok aja, Bu, sekalian aja pas acara. Oh iya, jangan bilang-bilang ke tetangga depan ya, kalo Aya udah pulang!" pintaku, Ibu terlihat bingung, dahinya mengerut. "Ga apa, biar jadi kejutan besok" sambungku.
Entah siapa yang akan terkejut besok, aku atau dia. Tak tahu mengapa aku semakin berdebar, bahkan hanya dengan mengingatnya saja. Rinduku membuncah, hanya saja, semua tak lagi sama. Aku pamit pada Ibu, ingin menengok Rindu dan Mama kataku. Ketika aku keluar, tampak Neesha dan Mama Nadia tengah bercanda di beranda rumah yang tampak hijau. Beruntung, mereka tak melihatku. Aku masuk ke dalam taksi online yang dipesankan Ibu, aku pulang untuk mengambil motor, lalu pergi ke rumah baru Rindu dan Mama.
Disini, duduk diantara dua nisan berjejer ini, perasaanku mulai mendung. Namun berusaha ku tepis, harus ikhlas. Aku menghadiahi mereka beberapa bacaan Al-Quran. Rindu? Sudah tentu, tapi hanya ini yang bisa ku lakukan, menghadiahkan mereka doa. Menjelang magrib, aku pulang dan membersihkan diri. Mas Azis belum juga pulang, sementara menunggunya, aku mempersiapkan apa yang akan ku bawa besok. Tak lama berselang, terdengar deru mesin mobil yang ku kenali.
"Assalamualaikum sugar daddy ...." Aku berlari menyambutnya yang baru turun dari kendaraan. Matanya membola dengan sempurna, aku terbahak.
"Waalaikumussalam adek akhlakless!" Ia menyentil keningku dengan lembut, hingga meninggalkan jejak merah. Aku merengut sebal.
"Seneng ya bikin khawatir?! Hmm?! Bagussss, ponsel ilang dimana? Dikirimin duit buat beli, ga juga kebeli. Emang ya, punya adek kok berasa punya simpenan, diumpetin terus." Ia merepet, pantesan cepet tua! Aku memang mengaku bahwa ponselku hilang saat menelponnya menggunakan ponsel Tika.
"Meneketehe kalo dikirimin duit, ga pernah ngecek saldo, disana ga ada ATM ya, aku idup di tengah sawah, pinggiran hutan, kaki gunung," balasku.
"Lha terus buat makan gimana kalo ga ada ATM?"
"Aku bawa cash lah." Ya, sebelum masuk kaki gunung, Piga mengatakan bahwa fasilitas di desanya sangat terbatas, maka aku berinisiatif membawa uang cash yang cukup untuk seminggu kedepan, dan minggu depan aku akan menarik tunai lagi.
"Bentar bentar, perasaan ada yang beda, tapi apa ya?" Ia tampak berfikir, memutar tubuhku, namun tak juga ia temukan.
"Lama elah, aku pake hijab!" Ku jawab setengah kesal, lama.
"Ya Allah iyaaaa, Astagfirulloh, aku yo ga ngeuh. Cantik bener jodoh orang."
"Hahaha... Mas, mamam di luar yok, sekalian jalan malem. Kangen suasana malem disini," ajakku.
"Boleh, aku mandi dulu tapi, yak?"
Aku mengangguk, ia masuk kamar, aku bersiap. Memberi tahu Bik Ida agar tak menyiapkan banyak menu makan malam banyak, cukup untuk beliau sendiri. Aku mengenakan masker, khawatir bila nanti bertemu salah satu kenalanku. Tak lupa mengabari Mbak Ita bahwa kami akan keluar bersama, menghindari salah paham dikemudian hari.
"Duh, cakepnya jodoh orang. Seger ya, Pak dokter?!" aku menggodanya, hidungnya mengembang tanda malu.
"Yoi, gerah banget asli. Motoran ya?"
"Iya, mam dulu deh. Kasian sugar daddy-ku keknya laper."
"Apaan sugar daddy, berasa tua banget."
"Kan yang biayain idupku, pak dokter. Emang udah tua ini."
"Hayuklah, ga jadi berangkat ntar!"
Kami berkendara membelah malam, alun-alun tampak ramai, pun dengan taman kota. Kami memutuskan berhenti di taman kota, sepertinya ada event jika dilihat dari kerumunannya. Mas Azis langsung memesan nasi goreng, tampaknya ia sangat lelah dan lapar. Kami makan dalam diam, setelahnya berkeliling.
"Heh, kalo mau upload foto, jan tag gue!" Aku menegurnya yang tampak akan mengunggah foto kami malam ini.
"Siap, bu boss!"
Aku yang bergelayut di lengan lelaki itu menyeretnya ke keramaian. Ternyata ada Gellen, teman Rindu, ah, Rindu, apa kabar kamu, dek?
"Tanteeee, lama ga keliatan, ternyata masih idup ya kamu?!" sapanya yang ku sambut delikan galak.
"Tante, tante. Aku ga pernah nikah sama Oom kamu ya!" semprotku, ia terbahak.
"Galaknya makin jadi aja sih, ini oom baru ya, tan? Aku perhatiin dari tadi, kirain bukan kamu. Beda, tapi tetep syantik!"
"Bah, bukan baru. Ini sugar daddy-ku dari zaman SMA kok. Ya iyalah cantik, aku kan cewe."
"Langgeng bener, iyein!"
"Iyalah, emang elu tiap bulan beda," sinisku, ia hanya nyengir.
"Eh, kollab yok!"
"Acara apa nih?"
"Donasi buat anak-anak penderita kanker darah. Dulu Rindu yang punya ide, kami meneruskan walau tanpa ada dia. Hh, dia mencetuskan ide ini, ternyata ia sendiri yang mengidap. Semoga ini bisa jadi amal jariyah dia."
Aku mengamini dalam hati, kami segera bergabung. Tampak disamping kanan, di dalam booth, ada jejeran lukisan khas anak-anak, sedang di samping kiriku ada booth berisi karangan bunga yang juga khas hasil kreasi bocah. Sedang di dekat panggung musik terdapat papan yang berisi tulisan tangan anak-anak, berisi harapan tentang hari hari yang menyenangkan, tanpa harus merasa sakit.
Mereka adalah anak-anak istimewa, yang punya semangat dan daya juang yang tinggi. Semoga takdir mengijinkan mereka untuk dapat melakukan semua hal yang mereka inginkan, yang tertulis di depan sana. Mas Azis terlihat begitu serius membaca harapan malaikat-malaikat kecil itu. Aku membeli beberapa karangan bunga untuk ku berikan pada Rindu, besok sebelum aku kembali.
"Heh, kamu kemana aja? Sekalinya muncul, menggetarkan jiwa raga." Seorang lelaki mendekatiku sambil membawa segelas cokelat hangat.
"Jiwa babu kamu ternyata emang mendarah daging ya, tau aku disini langsung dibawain minum." Aku menerima cangkir yang dibawanya.
"Wedhus! Untung kamu ini tanteku, kalo nggak udah ku jorokin," ujarnya.
"Gimana? Hayu kalo berani mah, sok atuh!" tantangku.
"Mana berani lah aku tuh, bekinganmu Oom Azis pula." ia berdecak sebal.
"Loh, Ran, ternyata disini juga?" sapa Mas Azis pada Randy, ya, lelaki tadi adalah Randy, kakak Rindu. Sepertinya kini ia merasakan kehilangan, pada hadir Rindu, pada rengekan yang dulu dianggap menyebalkan, pada ikhlas Rindu untuknya.
Aku tak menyalahkannya, aku enggan untuk sekedar bertanya bagaimana perasaannya. Yang ku tahu pasti, ia tak baik-baik saja, selamanya tak akan baik-baik saja. Biarlah, jika nanti hatinya membaik, ia akan bercerita dengan sendirinya, seperti biasa. Ia sering mengeluh, mengapa Rindu tak abai seperti dirinya, dari dalam palung hatinya yang terdalam, ia sungguh menyayangi adiknya, hanya saja, ia terlanjur abai dan tak tahu caranya untuk peduli secara terang-terangan.
"Woylah si Eka, ternyata masih hidup kamu. Suombhong ye si Juleha, ga pernah mampir base lagi," ucap Eddy, bassist Gellen, yang juga teman sekelasku dulu semasa kuliah strata 1. Anak satu ini memang punya mulut mercon.
"Ck, aku bukan warga Lombok Timur lagi woy, jadi maaf yak, ga pernah mampir. Jadi gimana? Besok pada ngisi acara di tempat Byan?"
"Ya iyalah, dipecat jadi ponakan aku sama Oom Benny kalo sampe ga ngisi di acara nikahan sepupu sendiri."
"Check sound?"
"Gampanglah, ntar abis acara ini langsung ke gedung. Kita yang punya acara ini, mau nginep sana juga siapa yang bakal ngelarang?"
"Iyelaaaa, yang gampang mah."
"Kamu ikutan gak?"
"Nggak, kemaleman, sugar daddy-ku keburu ngantuk."
"Ck, penampilan udah bener, udah anggun, mainannya sugar daddy. Untung aku kenal kamu kek mana, ga mikir banyak macem, lha kalo orang lain gimana?!"
"Eiyyy, dia emang akhlakless, harap di maklumi," timpal Mas Azis. Eddy tertawa puas.
"Puas bener, buru, kalo mau collab. Udah malem ini, aku mau lanjut jalan. Lagu yang mana?"
"Kamu mau yang mana??"
"Terus aja saling tanya, sampe lusa juga ga bakal kelar. Noh ada request!" tengah Gellen yang datang entah darimana.
"Jelangkung emang."
Kami melangkah ke stage, sesuai permintaan, aku mulai memetik gitar sesuai chord yang ku ingat. Damn, i fell bad for this song.
"Dan diriku bukanlah aku
Tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, Kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku
Tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku, kau melegakan aku..."
Begitu selesai, aku turun dan menyeret Mas Azis untuk segera menghilang, aku melihat kelebat bayangan Ryan dan Ima serta Ojik dan Wulan, yang membuatku ingin menghilang adalah karena aku melihat Mas Dwi dengan seorang wanita, tak lain adalah Wena. Ternyata ia bahagia tanpaku, sebelum suasana menjadi kacau, lebih baik aku menghilang. Jadi, takdir macam apa ini??
...___...