📢📢📢WELCOME DI AREA BENGEK NGAKAK GULING-GULING 😂😂😂
Jesi yang sudah terbiasa dengan kehidupan bagai sultan, harus kehilangan semua fasilitas itu karena ayahnya yang ingin membuatnya menjadi mandiri. Dalam sekejap ia menjadi seorang mahasiswi magang, dan dihadapkan dengan team leader yang ganteng tapi sayangnya galak.
"kalo aja lo itu bukan pembimbing magang gue, ogah banget dah gue nurut gini. Ini namanya eksploitasi tenaga karyawan."
"Aku tau, aku itu cantik dan menarik. nggak usah segitunya ngeliatinnya. Ntar Bapak naksir." Jesika Mulia Rahayu.
"Cantik dan menarik emang iya, tapi otaknya nothing. Naksir sama bocah seperti kamu itu impossible." Ramadhan Darmawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Net Profit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Yogyakarta
Empat hari sudah jadi anak magang, jangan tanya cape apa nggak nya karena bagi Jesi jawabannya cape pake banget. Setiap manusia selalu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Orang yang terlihat sempurna dimata kita nyatanya tetap saja memiliki nilai minus, hanya pintar-pintar mereka saja menutupi kekurangannya.
Jesi dianugerahi keluarga yang sangat menyayanginya, paras cantik nan imut, dan kekayaan yang berlimpah yang selalu di inginkan oleh orang lain. Tapi otaknya tak secerdas orang lain. Tapi beruntungnya dia adalah pribadi ceria yang tak mudah ditindas meskipun kadang ia menangis tanpa sepengetahuan siapa pun.
Kebiasaan hidup dalam gelimang harta dan berjuta fasilitas sehingga hidupnya bak seorang putri di negri dongeng membuat Jesi sedikit sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja. Dia yang biasanya butuh segala sesuatu tinggal nyuruh kini di tempat kerja justru sebaliknya dia yang jadi disuruh-suruh.
Sabtu sore ini Jesi masih harus mengentri dokumen transaksi padahal jam sudah menunjukan waktu pulang. Semua orang di divisinya sudah pulang. Sekilas Jesi memandangi ruangan yang sepi, hanya dia seorang diri. Dia kemudian menarik nafas panjang dan menghembuskannya ke kening hingga poninya terangkat.
"Semangat Jes!" Ucapnya lirih sambil terus mengidentifikasi dokumen kemudian memasukannya ke dalam aplikasi.
Tugas yang dia terima dengan Dini sama banyaknya tapi temannya itu sudah lebih dulu selesai, sempat menawarkan bantuan padanya namun ia tolak karena Jesi tau Dini pun pasti sama lelahnya dengan dirinya. Ditambah lagi hari ini adalah malam minggu, mungkin Dini juga punya acara sendiri, Jesi tak ingin merepotkan. Lagi pula dirinya tak ada agenda apa pun, pulang ke kosan pun tak ada yang menunggu. Baik di kantor maupun kosan sama saja, sendiri.
Getaran ponsel di samping mouse yang sedang ia pegang membuatnya segera mengambil benda pipih itu.
"Halo walaikumsalam ibu..."
"Hahaha iya assalamualaikum maksudnya." Ucapnya sambil tertawa.
"Iya bu. Jesi sehat. Ibu gimana?"
"Nggak mau. Jesi nggak mau pulang. Jesi bakal buktiin ke ayah kalo Jesi bisa mandiri."
"Iya... Iya bu."
"Walaikumsalam." Jesi meletakan kembali ponselnya. Hampir setiap sore Sari selalu menelponnya sekedar menanyakan apa yang ia lakukan hari ini, sudah makan atau belum, tak lupa juga bujukan-bujukan untuk pulang yang tak pernah absen satu kali pun.
"Mandiri?" Jesi tersenyum mengejek namun sedetik kemudian wajahnya berubah murung.
"Jesi juga pengen pulang, bu. Di kantor kena semprot mulu. Coba kalo Jesi magang di perusahaan ayah, nggak akan ada yang berani marah-marah ke Jesi. Jesi cape bu...Pulang sampe kosan nggak ada siapa-siapa. Mau makan nggak ada, harus nyari dulu. Sebelum tidur Jesi harus nyuci baju dulu, tiap malem juga Jesi kedinginan bu, selimutnya kurang tebel." Keluhnya sendiri dengan air mata yang sudah banjir hingga ke pipi.
"Ibu, Jesi kangen ibu. Kangen rumah, pengen makan masakan ibu. Pengen ini pengen itu banyak sekali bu." Diambilnya tisu di meja sebelah dan menghapus air matanya sendiri. Diremasnya tisu yang sudah basah itu menjadi bulatan kecil kemudian dilemparkan ke tempat sampah.
"Stop... Stop... Jesika jangan cengeng, lo pasti bisa lalui semua ini." Ucapnya menyemangati diri sendiri.
"Keep smile...life goes on." Jesi tersenyum meski terpaksa.
Jesi kembali menekuni sisa pekerjaannya diiringi lagu Boy band kesayangannya, BTS. Dia tak sadar jika sedari tadi Rama yang sedang lewat di depan divisi keuangan memperhatikannya dari luar.
Tak ada niat untuk sengaja berhenti dan memperhatikan Jesi. Namun melihat gadis itu seorang diri di jam kantor yang sudah sepi membuat Rama hendak menghampiri dan menyuruhnya untuk pulang. Tapi tangan yang hendak membuka handle pintu itu tertahan saat melihat Jesi menangis. Dia hanya bisa berdiri di depan pintu dan memperhatikan Jesi dari kejauhan.
Rama buru-buru masuk ke ruangan sebelah saat melihat Jesi mematikan komputer. Kemudian berjalan di belakang gadis itu seolah kebetulan mereka bertemu.
"Ehm! Baru mau pulang?" Tanya Rama datar sambil melihat jam dipergelangan tangannya.
Jesi menengok ke samping, "Eh Karam..."
"Eh kak Rama maksudnya." Ralatnya sambil nyengir.
Celingak celinguk Jesi melihat ke sekitar mereka, tak ada siapa-siapa. Hanya mereka berdua.
"Cari siapa?"
"Kak Raka. Tumben nggak bareng sama bapak? Biasanya udah kayak paket komplit kemana-mana bareng." Jawab Jesi yang mendadak merubah panggilan formal.
"Udah pulang duluan dia."
"Oh." Ucap Jesi kemudian mengikuti Rama yang masuk ke dalam lift.
Jesi berdiri di belakang, bersandar pada dinding lift. Dia diam membisu sambil melihat perubahan angka di atas pintu lift.
"Tumben diem kamu, udah kehabisan bahan bakar yah? Biasanya itu bibir nyerocos mulu." Ucap Rama.
"Hahaha... Perhatian banget sih Pak Rama. Udah mulai cinta sama aku yah?" Ledeknya.
"Jangan kegeeran kamu. Cuma aneh aja, biasanya kan itu bibir non stop ada aja yang di omongin." Elak Rama.
"Haha kali aja... " Jawabnya diakhiri tawa.
"Aku duluan pak. Bye...bye..." Jesi segera lari keluar lift.
Jesi memutuskan untuk makan di warung tenda seberang kantor. Cacing di perutnya sudah demo minta makan.
"Pecel lele satu mang, makan di sini." Ucapnya memesan.
"Saya juga mang, samain." Ucap lelaki yang baru saja duduk di sampingnya.
"Lo? Karam?" Kaget Jesi mendapati Rama di sampingnya.
"La lo la lo." Rama menoyor kening Jesi,
"Nggak ada sopan-sopannya sama bos sendiri." Lanjutnya.
"Bos kan kalo di kantor. Ini kan udah di luar jam kerja, bebas dong."
"Karam ngapain makan di sini? Nggak takut dilihat sama orang atau relasi bisnis, ntar dikira udah bangkrut lagi." Imbuhnya. Jesi ingat betul bagaimana reaksi orang-orang saat mendapati dirinya kehilangan semua fasilitas.
"Katanya bos itu harus istimewa, harus terlihat sempurna di berbagai keadaan." Jesi menghembuskan nafas berat mengucapkan kata sempurna dan istimewa. Dulu dia merasa hidupnya sangat istimewa dan sempurna, tapi nyatanya semua berubah sesuai dengan isi dompetnya.
Rama bisa melihat perubahan raut wajah hingga nada bicara gadis ceria yang mendadak lesu.
"Kenapa?" Tanya Rama.
"Nggak apa-apa. Aku cuma lagi mikir aja, kita harus menjadi pribadi yang istimewa dan sempurna supaya di hargai orang lain." Jawab Jesi pelan.
"Nih dengerin yah Jas Jus."
"Ih kok jas jus sih... Jesi!" Tegasnya tak terima dengan panggilan yang diberikan rama.
"Gue di panggil karam sama lo aja nggak protes. Masih mending nama panggilan lo tuh minuman."
"Dengerin gue yah jas jus!" Rama menatap Jesi yang masih cemberut.
"Nutrisari kek kak yang mahalan dikit. jas jus murah amat nggak sampe gopek." Jesi masih tak terima dengan panggilan barunya.
"Ya elah Jes... jas jus biar murah tetep nyegerin kok. Udah jangan kebanyakan protes!"
"Dengerin, nggak perlu jadi orang yang senantiasa terlihat istimewa. Kamu bukan Yogyakarta, jadi berhentilah untuk terlihat sempurna di depan ribuan mata." Ucap Rama.
Jesi terdiam menyimak kata-kata Rama sambil mengangguk seolah paham.
"Good. Udah ngerti kan sekarang?" Tanya Rama.
"Nggak." Jesi menggeleng.
"Mang cepetan atuh cacing udah pada demo ini." Lanjutnya sedikit berteriak pada penjual.