Possessive Leader
“Ya kali gue nih dianggapnya bocah, dikasih goceng doang haha..” Dia terkekeh sambil menatap uang lima ribu yang baru didapatnya setelah membantu misi perdamaian dunia sepasang suami istri karena salah paham. Lucu rasanya, setelah sekian lama baru sekarang ia kembali memegang uang dengan nominal tersebut. Biasanya paling kecil saja lembaran warna biru yang bahkan tak pernah ia pinta kembalian setelah membeli sesuatu.
“Lima ribu hihi...” kembali ia tersenyum geli sambil terus mengibaskan uang itu di depan wajahnya.
Wanita muda yang duduk di sebelahnya hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya, begitu pun dengan supir taksi di depan sana yang ikut menatap aneh dari kaca spion di atas kepalanya.
“Udah kamu nggak usah sampe oleng gitu cuma gara-gara gagal dapat tiket sama jajan gratis buat nonton. Nih aku kasih deh.” Perempuan di sampingnya mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan dan memberikannya.
“Sini ganti yang Imam Bonjol sama Soekarno Hatta.”
“eh... eh... jangan!” buru-buru gadis cantik itu memasukan uang lima ribunya ke dalam tas.
“Ini langka, Kak Arum. Mau aku simpen baik-baik.” Lanjutnya.
Gadis cantik itu adalah Jesi. Jesika Mulia Rahayu, putri tunggal dari investor ternama di kota Bandung yang sudah berhasil membantu banyak perusahaan berkembang dan meraih kesuksesan. Baginya, uang adalah hal remeh. Dilahirkan ditengah-tengah keluarga kaya raya membuatnya tak kekurangan suatu apa pun. Ayah dan Ibu yang menyayanginya, harta yang berlimpah, pacar idaman semua umat hingga sahabat yang selalu ada disisinya menambah kesempurnaan hidup yang bagi orang lain hanyalah mimpi.
Kata orang di sekitarnya, Jesi itu paket komplit spesial. Udah kaya, cantik, nggak sombong juga. Entah karena keluarganya yang kaya raya atau karena pengaruh sang ayah yang melanglang buana investasi di sana-sini membuatnya menerima banyak pujian.
Sejauh ini ia tak pernah memikirkan apakah semua pujian yang ia terima adalah benar-benar karena dirinya atau hanya sekedar ji latan lidah-lidah tak bertulang yang haus akan kekuasan dan bantuan dari orang tuanya. Yang ia yakini hanya satu hal, kebaikan akan selalu dibalas dengan kebaikan. Tak peduli dengan niat orang lain terhadap kita, jika kita bisa membantu why not?
“Pak supir stop! Aku turun di sini aja.” Ucapnya membuat pak supir segera menepikan mobilnya di dekat tukang boba thai tea kesukaannya.
“Kak Arum aku turun di sini yah. Kapan-kapan aku main ke kantor boleh kan? Ingetin Kak Ardi jangan lupa loh masih punya utang sama aku.” Ucapnya sambil membuka sabuk pengaman.
“Iya nanti aku bilangin. Tadi aku kasih nggak mau, sekarang malah nagih.” Cibir Arum.
“Kalo uang aku punya banyak, kak. Takut basi ini juga belum pada kepake hahha.” Jawabnya sambil bercanda.
“Terus kamu maunya apa?”
“Apa yah kak?” jawabnya malah baik tanya sambil membuka pintu mobil, “aku nggak tau mau apa hihi. Tapi kalo suatu saat aku butuh bantuan pasti aku tagih, bukan uang tentunya.” Imbuhnya setelah keluar.
Arum hanya menghela nafas panjang mendengar ocehan gadis cantik putri dari patner bisnisnya, tak habis pikir kok anak seperti dia. Dilihatnya Jesi yang baru turun dan menutup pintu dari luar, gadis itu terus tersenyum ramah. Berbeda jauh dengan saat ia pertama kali bertemu, begitu menyebalkan mendengar Jesi terus memaksa ini dan itu. Tapi pribahasa tak kenal maka tak sayang benar adanya, setelah mengenal gadis ini lebih jauh ternyata gadis cerewet dan menyebalkan itu aslinya begitu menggemaskan dan baik. Hanya dia, Jesi. Gadis yang tersenyum bahagia karena menerima uang pecahan lima ribu rupiah.
“Jangan lupa bilangin yah kak. Utang harus dibayar meskipun nggak sekarang. Karena utang itu bukan mantan yang harus dilupakan.” Ucap Jesi dengan senyum lebarnya hingga menampakan gigi gingsul yang membuatnya terlihat manis.
“Iya-iya bawel, nanti aku bilangin.”
Jesi melambaikan tangan berdadah ria hingga taksi yang ia tumpangi sudah menjauh. Kini ia berbalik ke belakang melihat jajaran stand makanan dan minuman yang berjajar di depan indoapril.
“Mba, thai tea rasa stroberi satu.” Ucapnya memesan.
“Nggak sekalian thai tea rasa tiramisu campur red velvet neng?” balas penjual.
“Hahaha...bisa aja si teteh ih. Ntar cacing di perutku mabok dikasih campur-campur gitu. Yang biasa aja teh.” Ujarnya pada teh Ai, penjual boba di depan indoapril langganannya.
Teh Ai sudah tak aneh dengan pesanan Jesi yang suka ngaco. Gadis itu sudah langganan boba padanya hampir satu tahun, sejak awal dirinya jualan boba di tempat ini. Tak jarang gadis yang kini terlihat sedang memainkan ponsel itu memberinya uang lebih. Bahkan setiap kali beli kembaliannya tak pernah diambil.
“Thai Tea ekstra boba doubel-double kesukaan neng Jesi.” Teh Ai memberikan satu cup thai tea dengan boba yang begitu banyak.
“Makasih teteh. Kembaliannya buat jajan Siska aja.” Ucapnya menerima minuman sembari menyerahkan uang seratus ribu yang ternyata uang terakhir di dompetnya.
Jesi melangkah masuk ke dalam indoapril, mengambil keranjang yang terdapat di samping pintu. Diletakannya boba yang baru ia minum sedikit ke dalam keranjang kemudian mulai memasukan makanan ringan kesukaannya.
“Delapan puluh tujuh ribu, neng.” Ucap kasir setelah selesai memasukan belanjaan ke dalam kresek putih.
Jesi mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya, “bayar pake debit, Mba.”
“Silahkan pin nya.”
Jesi menekan pin sesuai instruksi kasir, dua kali dia mencobanya tapi pembayaran tetap gagal.
“pake kartu kredit aja deh Mba.” Ucapnya kemudian seraya memberikan kartu yang lain.
“Maaf neng, nggak berhasil.” Ucap si kasir sambil mengembalikan kartunya.
“Aneh banget, pasti alatnya rusak nih.” Ujar Jesi sambil kembali memasukan kartunya. Di dompetnya kini hanya tinggal uang lima ribu yang ia rencananya mau ia laminating dan di simpan, karena itu uang pertama yang ia peroleh dengan tangannya sendiri.
Jesi merapikan poninya sambil nyenggir malu sebelum berucap, “hm gini Mba, aku nggak bawa uang tunai. Ini tinggal lima ribu doang.” Dengan polosnya ia membuka dompet dan memperilihatkan pada kasir, benar-benar hanya uang lima ribu dengan aneka kartu.
“Aku titip dulu boleh yah? Mau pulang bentar minta uang ke ibu, nanti ke sini lagi.” Ucapnya kemudian.
Malu campur lucu, pertama kali ia tak bisa membayar.
“Ah bisa-bisanya Jes. Malu-maluin kamu tuh haha.” Dia tertawa sendiri menyusuri jalan di perumahan elit sembari menyedot boba.
“Ibuuu.... ibu dimana? Jesi minta uang. Masa seorang Jesika ngutang di indoapril bu.” Teriaknya begitu membuka pintu rumah.
“Walaikumsalam!” Saut wanita paruh baya yang muncul di belakangnya, “Kalo pulang tuh salam dulu Jes, bukan malah teriak-teriak.”
“Bu, delapan puluh tujuh ribu.” Rengeknya seraya menadahkan tangan meminta uang pada sang ibu.
“Jangan dikasih, bu!” suara Burhan membuat Jesi beralih menghampiri sang ayah dan bergelayut manja seperti biasa.
“Ayah masa Jesi ngutang ke indoapril. Malu ih...”
“Suruh asisten ayah cek kartu-kartu aku coba, masa nggak bisa dipake satu pun. Aku nggak pegang uang nih. Di dompet tinggal lima ribu.” Rengeknya.
“Ayah memang sengaja blokir semua kartumu. Anak kesayangan ayah ini udah terlalu boros.” Ujar Burhan sembari mencubit pipi cabi putrinya.
“Ayah jangan gitu atuh... tanpa kartu-kartu itu Jesi hanya remahan kerupuk di kaleng khong guan sisa lebaran, alot dan tak berdaya. Nggak ada yang suka.” Ucapnya cemberut.
“Kata siapa kerupuk di kaleng khong guan nggak ada yang suka?”
“Cuma dibuka, dilihat dengan tatapan kecewa kemudian diabaikan tanpa ditutup kembali.” Terang Jesi.
“Pinter juga main analoginya anak ayah.” Puji Burhan.
“Makanya benerin lagi kartu-kartu aku yah. Jangan diblokir, aku nggak mau jadi remahan kerupuk.” Rayu Jesi lagi.
“Nggak akan. Ayah Cuma pengen kamu dekat dengan orang-orang yang benar-benar tulus menyayangimu, Nak. Bukan orang yang mendekat dan menyayangimu karena niat terselubung. Kamu itu seperti kaleng khong Guan. Siapa yang tak tau khong guan coba? Semua tertarik karena kemasannya yang bagus dan isinya yang beraneka ragam dengan rasa yang enak. Kaleng itu selalu jadi target setiap tamu saat lebaran tapi begitu melihat isinya tak sesuai seperti katamu, mereka akan menatap kecewa dan bahkan meninggalkannya tanpa menutupnya kembali.” Tutur Burhan panjang lebar mencoba memberi pengertian pada putrinya.
“Mereka yang tulus menyanyangimu tak akan meninggalkanmu meskipun isi dompetmu hanya lima ribu.” Imbuh Sari, sang ibu.
“Nggak ngerti ah Jesi pusing. Ke indoapril aja yuk yah, bayar jajan Jesi yang tadi. Malu.”
Burhan dan Sari hanya saling tatap dalam diam, sudah menasihati putrinya panjang lebar tapi sepertinya sang putri gagal paham. Pikirannya indoapril terus.
.
.
.
Yuk mari kita bertualang bersama neng Jesi, anak sultan yang mendadak jadi remahan kerupuk di kaleng khong guan.
Jangan lupa like, komen dan favoritkan supaya aku makin semangat buat nulis kisah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
MAYZATUN 🥰🥰🥰al rizal
🥰🥰🥰
2024-11-14
0
Astilira Yudhistira
baru nemu
2024-08-02
0
Cee Suli
maaf ya kak author aku mampir lagi soale kangen sama neng Jesi
2024-07-21
0