Kiandra Pravira, baru saja kembali ke Jakarta dengan hati yang hancur setelah dikhianati mantan kekasihnya yang menjalin hubungan dengan adiknya sendiri. Saat berusaha bangkit dan mencari pekerjaan, takdir membawanya bertemu dengan Axton Velasco, CEO tampan dari Velasco Group. Alih-alih menjadi sekretaris seperti yang ia lamar, Kiandra justru ditawari pekerjaan sebagai babysitter untuk putra Axton, Kenric, seorang bocah enam tahun yang keras kepala, nakal, dan penuh amarah karena kehilangan Ibunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Beberapa hari berlalu. Selama itu, Kiandra semakin dekat dengan Kenric. Anak itu memang masih sering bicara kasar, tapi tidak lagi membuatnya pusing seperti dulu. Kiandra mulai memahami sifatnya, dan perlahan-lahan kondisinya juga semakin membaik. Semoga saja mimpi buruk yang biasanya datang tidak lagi menghantuinya.
“Kiandra!” Suara Helena memanggil dari arah dapur.
“Ada apa?” Kiandra menoleh sambil tetap melanjutkan pekerjaannya.
“Tuan Axton mencarimu.” Helena menyeringai nakal. “Sudah kelihatan jelas, sih. Kapan kalian resmi pacaran?”
“Diam, kamu!” Kiandra mendengus kesal. “Kebiasaan, suka menggoda terus. Memangnya kenapa sih?”
“Entah. Mungkin dia kangen makanya nyariin kamu. Cepat sana, dia lagi di taman. Semoga kalian berjodoh ya, Kiandra!” Helena terkekeh saat Kiandra melemparkan lap ke arahnya.
Dengan hati sedikit gelisah, Kiandra melangkah menuju taman. Apa lagi yang dibutuhkan Tuan Axton? Dia benar-benar tidak bisa menghindar kalau pria itu terus saja memanggilnya. Jangan sampai terbawa perasaan, Kiandra. Tenang.
“Tuan, katanya Anda mencari saya?” Kiandra membuka suara begitu sampai di taman.
Axton sedang duduk santai di bangku, memegang iPad di tangannya. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Dengan gaya seperti itu, wajahnya terlihat semakin menawan.
“Ya. Saya akan ada perjalanan bisnis ke Singapura. Mungkin agak lama. Selama saya tidak ada, tolong jaga Kenric baik-baik.”
Diam-diam, Kiandra merasa lega. Lama? Syukurlah! Waktu yang tepat sekali.
“Baik, Tuan.” Ia menjawab sambil tersenyum tipis. Bahkan kalau lama sekalipun, tidak masalah baginya.
“Kamu kelihatan senang. Sesenang itu kah kalau saya tidak ada?” Axton menatapnya dalam.
Kiandra langsung menggigit bibir bawahnya. Celaka!
“T-Tidak, Tuan. K-Kenapa saya harus merasa begitu? Hahaha… Anda bercanda saja,” ucapnya terbata. Ah, ketahuan, Kiandra. Bodoh sekali!
Axton tiba-tiba bangkit, lalu mendekat cepat. Tangannya meraih pinggang Kiandra, menariknya semakin dekat.
“T-Tuan?” Kiandra menahan napas. Jantungnya berdebar keras. Kenapa pria ini selalu tiba-tiba mendekat seperti ini?!
“Kamu selalu berbohong. Kenapa tidak jujur saja?” bisik Axton, tatapannya menusuk. “Kamu tidak sulit untuk disukai. Kamu itu istimewa.”
Tangan hangatnya menyentuh pipi Kiandra. Gadis itu langsung merasa wajahnya memanas.
“M-Mungkin ada yang melihat, Tuan… nanti mereka salah paham. Tolong j-jangan terlalu dekat,” ucapnya gugup.
“Biarkan saja. Bagaimana kalau kita wujudkan apa yang mereka pikirkan tentang kita, hm?” Axton menyeringai tipis.
Kiandra menelan ludah. Ini tidak benar. Ia harus melawan rasa itu.
“Jangan bercanda, Tuan. Lepaskan saya.” Suaranya bergetar, berusaha terdengar tegas.
“Saya serius. Mau pergi bersama saya, Kiandra?”
Mata Kiandra membulat. “A-Apa maksud Anda? Anda mabuk, ya?!”
“Pikirkan baik-baik. Saya ingin jawabanmu saat saya kembali. Jaga anak saya, dan renungkan apa yang baru saja saya katakan. Sampai jumpa lagi” Axton tersenyum, lalu melangkah pergi meninggalkan taman.
Beberapa saat kemudian, Kiandra melihat
mobil hitam keluar dari halaman mansion.
Kiandra terdiam di tempat. Bukannya merasa lega karena pria itu pergi, perasaannya justru semakin berat. Kencan dengan Axton? Hanya membayangkannya saja sudah membuat dadanya sesak. Tapi ia harus mengakui, hatinya memang menyimpan perasaan untuk pria itu.
Sepanjang hari, pikirannya kacau. Ucapan Axton terus terngiang-ngiang di kepalanya. Menyebalkan sekali! Ia bahkan ingin meminum obat lagi, padahal ia tahu itu tidak boleh dua kali sehari.
Malam tiba. Makanan sudah tersaji di ruang makan, dan Kiandra naik ke lantai dua untuk memanggil Kenric.
Saat mengintip, anak itu masih tidur. Ia masuk pelan-pelan, menyalakan lampu, lalu duduk di tepi ranjang. “Tuan Muda, bangun. Makan malam sudah siap.”
Ia menepuk bahu Kenric pelan. Tubuh bocah itu terasa panas. Dengan cemas, Kiandra meraba dahinya. “Astaga, kamu demam tinggi…”
“M-Matikan AC-nya… a-aku kedinginan…” bisik Kenric lemah.
Kiandra segera mematikan AC. Paniknya bertambah. Ayah anak ini sedang tidak ada di rumah!
“Mau kubawa ke rumah sakit? Demammu sangat tinggi,” tanyanya, menahan cemas.
“A-Aku tidak tahu…” Kenric berbalik, berselimut rapat.
“Aku panggil Bibi Widya sebentar, ya? Aku butuh termometer.” Kiandra hendak beranjak, tapi tangan kecil Kenric menggenggam lengannya.
“J-Jangan… jangan tinggalkan aku…” Isakannya terdengar lirih.
Kiandra tertegun. Anak ini…
“Baiklah, aku tidak pergi. Tenang, aku di sini.” Ia membalikkan tubuh Kenric menghadapnya, lalu terkejut. “Hei! Hidungmu berdarah!”
Panik langsung menguasai dirinya. Selimut segera ia singkap. Ruam merah mulai tampak di kulit Kenric. Tanpa pikir panjang, Kiandra menggendongnya di punggung. Berat, tapi ia tidak peduli. Anak itu harus segera dibawa ke rumah sakit.
“Kiandra, ada apa?!” Helena muncul dengan wajah cemas saat melihatnya menuruni tangga.
“Demamnya tinggi sekali, hidungnya berdarah, ada ruam juga. Sepertinya demam berdarah! Kita harus segera ke rumah sakit.”
Helena menutup mulut, terkejut. “Aku panggil Pak Herman!” katanya, lalu berlari keluar.
“K-Kita mau ke mana?” suara Kenric terdengar lemah di bahunya.
“Ke rumah sakit. Pegangan yang kuat, ya.” Kiandra berusaha menenangkannya.
Tak lama, Helena kembali. Mereka segera menuju mobil. Kiandra duduk di kursi belakang, memangku Kenric, menyelimutinya erat. Anak itu memejamkan mata, tapi Kiandra tahu ia masih sadar.
“Helena, tolong siapkan barang-barang Kenric kalau-kalau harus dirawat. Susul ke rumah sakit nanti,” ujar Kiandra cepat.
“Baik. Hati-hati, ya. Pak Herman, cepat berangkat!” Helena menutup pintu, dan mobil segera melaju.
Di dalam hati, Kiandra hanya bisa berdoa. Semoga Kenric baik-baik saja.