#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Tawaran dari Raka
.
Siang yang panas, sang surya bersinar dengan gagahnya. Peluh membasahi kening Raka. Waktu telah menunjukkan pukul 01.00 siang. Jarum jam seolah berputar lebih lambat dari biasanya. Akhirnya, tugas-tugasnya sebagai kepala desa hari ini selesai juga. Ia meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku setelah berjam-jam duduk di depan meja.
Ia ingin segera pulang untuk beristirahat. Namun, sebelum itu ia ingin melihat Amelia. Ada satu perasaan yang tak dimengerti tiba-tiba menyeruak. Sebuah kerinduan yang begitu kuat. Sebuah keinginan untuk melihat senyum gadis itu. Seolah sudah bertahun tak bertemu, karena terakhir dia melihat gadis itu adalah saat ia mengantar Bu Sukma pulang dari sawah.
Baru saja Raka hendak menstater sepeda motornya, seorang gadis yang juga mengenakan seragam perangkat menghampiri. Dia adalah Safitri, putri juragan beras yang sudah menjadi perangkat desa sebagai Kaur Keuangan bahkan sebelum Raka menjadi kepala desa.
"Mas Raka, mau pulang ya?" sapa Safitri dengan nada dibuat semanis mungkin.
Raka menghela napas dalam hati. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Sejak ia menjabat sebagai kepala desa, Safitri semakin gencar mendekatinya.
"Iya, Fitri," jawab Raka singkat, berusaha untuk tidak terpancing emosi.
"Aku boleh numpang nggak Mas?" tanya Safitri dengan nada manja. "Tadi pagi aku diantar Bapak, tapi sekarang Bapak lagi ada urusan. Jadi nggak bisa jemput."
Raka menatap Safitri dengan tatapan datar. "Maaf Fitri, nggak bisa," jawab Raka dengan tegas. "Rumahmu kan arahnya berlawanan dengan rumahku. Lagipula, aku ada urusan lain."
"Tapi kan bisa diantar dulu Mas," bujuk Safitri. "Nggak jauh kok, cuma muter sedikit."
Raka menggelengkan kepalanya. Ia sudah muak dengan segala upaya Safitri untuk mendekatinya. Bukan hanya karena Safitri sendiri, tapi juga karena gadis itu adalah pilihan ibu tirinya. Apapun itu, jika berkaitan dengan Sundari, sudah pasti akan mendapat nilai minus di mata Raka.
"Maaf Fitri, aku nggak bisa," jawab Raka sekali lagi dengan nada yang lebih tegas. "Aku buru-buru."
Tanpa menunggu jawaban Safitri, Raka langsung menstater motornya dan meninggalkan Safitri yang tampak kesal dan kecewa.
Raka tahu, Safitri pasti akan mengadu kepada ibu tirinya. Tapi ia tidak peduli. Ia tidak akan membiarkan Sundari mengatur hidupnya, apalagi menjodohkannya dengan wanita yang tidak masuk dalam kriterianya.
Mengabaikan tatapan kesal Safitri, Raka melajukan motornya. Seharusnya, ia mengambil jalan belok kiri untuk sampai ke rumahnya. Tapi, ia malah berbelok ke arah yang berlawanan.
Terkadang perasaan manusia memang di luar nalar. Padahal dari kantor desa, arah rumah Bu Sukma juga berlawanan dengan arah rumah Raka. Dan tadi dia memberikan alasan seperti itu pada Safitri. Tidak mau memutar, membuang waktu, dan membuang tenaga. Tapi, demi bisa melihat Amelia ia rela melakukan itu semua.
Ia ingin melihat Amelia.
Ia ingin memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.
Ia ingin... entahlah, ia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan. Yang jelas, ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya selama beberapa hari tidak bertemu dengan Amelia. Kesibukannya memang benar-benar padat beberapa hari terakhir ini.
Ia memacu motornya dengan kecepatan sedang. Sesampainya di dekat rumah Bu Sukma, Raka memperlambat laju motornya. Ia melirik ke arah beranda rumah Bu Sukma. Hatinya berdebar kencang.
Dan benar saja...
Ia melihat Amelia sedang duduk di beranda, memegang ponsel. Gadis itu tampak serius dengan kening sedikit berkerut. Raka tersenyum. Ia tidak salah datang.
Ia memarkirkan motornya di pinggir jalan dan berjalan masuk ke beranda rumah Bu Sukma. Jantungnya berdegup semakin kencang.
"Assalamualaikum, Mbak Amel," sapa Raka, dengan suara yang dibuat selembut mungkin.
Amelia terkejut dan mengangkat wajahnya dari buku. Ia menatap Raka dengan tatapan bingung. Pemuda tampan itu masih mengenakan seragamnya. Apakah baru pulang dari kantor desa?
"Mas Raka?" sapa Amelia balik. “Ada apa, Mas?"
Raka tersenyum. "Nggak ada apa-apa kok," jawab Raka. "Cuma lewat aja, terus lihat Mbak Amel lagi duduk di sini. Jadi, aku mampir deh."
"Oh..." sahut Amelia singkat. "Hanya lewat?" tanya Amelia, dengan nada menyelidik.
Ada sesuatu yang ganjil. Jelas-jelas arah rumah Raka dari kantor desa tidak melewati jalanan ini.
Raka terdiam sejenak. Ia bingung harus mengatakan apa. Tidak mungkin, kan, mengatakan bahwa ia sengaja memutar jalan hanya untuk melihatnya. Itu akan terdengar konyol.
"Iya, cuma lewat," jawab Raka, berusaha meyakinkan. "Tadi habis dari rumah teman, terus pulangnya lewat sini."
Amelia menatap Raka dengan tatapan tidak percaya. Ia tahu, Raka berbohong. Dan sebenarnya ia juga tahu untuk apa.
Suasana menjadi canggung. Raka dan Amelia sama-sama terdiam. Mereka berdua tidak tahu harus mengatakan apa.
Raka mengedarkan pandangannya ke sekitar beranda, mencoba mencari topik pembicaraan. Ia terkejut melihat adanya terpal berisi semaian bibit padi di halaman rumah Bu Sukma. Sejak kapan? Perasaan terakhir kali ia datang saat mengantar Bu Sukma, semaian itu belum ada.
"Itu apa Mbak?" tanya Raka, menunjuk ke arah terpal. Terkadang jatuh cinta membuat orang menjadi bodoh. Padahal dia sudah tahu persis bahwa itu adalah bibit padi, tapi masih pura-pura bertanya.
Amelia mengikuti arah telunjuk Raka. "Oh, itu persemaian bibit padi," jawab Amelia.
“Kenapa bikin persemaian di halaman? Kenapa tidak di sawah?" Itu yang Raka tidak mengerti.
"Sebelumnya sudah bikin di sawahnya pak Bayan. Tapi sudah habis diserang tikus. Jadi terpaksa bikin lagi,” jawab Amelia.
"Terus, siapa yang bikin persemaian itu?" tanya Raka benar-benar penasaran. Walaupun tampak baru mulai menghijau, bibit itu terlihat begitu subur.
"Ya aku, Mas," jawab Amelia.
Raka terkejut mendengar jawaban Amelia. "Mbak Amel sendiri yang bikin?" tanya Raka, dengan nada tak percaya.
Amelia mengangguk. "Iya," jawabnya.
Raka menghampiri terpal itu dan berjongkok di dekat terpal. Ia mengamati semaian bibit padi itu dengan tatapan takjub.
"Kok bisa Mbak Amel bikin persemaian kayak gini?" tanya Raka, dengan nada kagum. "aku sudah pernah sih dengar metode seperti ini. Tapi belum pernah mempraktekkannya."
Amelia tersenyum mendengar pujian Raka. "Itu cuma ide sederhana aja kok Mas. Lihat di youtube pun pasti ada.”
"Tapi ini keren banget Mbak," puji Raka. "Mbak Amel memang pintar."
Amelia menjelaskan secara singkat tentang cara membuat persemaian bibit padi menggunakan terpal. Mendengar semua penjelasan Amelia, dan melihat sendiri buktinya, juga ketika dia mengingat hasil panen Bu Sukma kemarin, tiba-tiba saja Raka terpikir satu hal.
"Mbak Amel," ucap Raka, dengan nada serius. "Aku mau nawarin sesuatu sama Mbak Amel."
Amelia menatap Raka dengan tatapan bingung. "Nawarin apa Mas?" tanya Amelia.
"Aku mau ngajak Mbak Amel gabung jadi perangkat desa," jawab Raka.
Amelia terkejut mendengar tawaran Raka. Ia tidak menyangka Raka akan menawarinya posisi sepenting itu.
"Jadi perangkat desa?" tanya Amelia, dengan nada tak percaya.
Raka mengangguk. "Iya," jawab Raka. "Aku butuh orang seperti Mbak Amel yang punya pengetahuan dan keterampilan di bidang pertanian untuk memberikan penyuluhan lapangan kepada warga desa. Mbak Amel mau kan?"
Amelia terdiam sejenak. Ia menimbang-nimbang tawaran Raka. Ini adalah sesuatu yang ia inginkan sejak dulu. Cita-cita yang sangat ditentang keras oleh papanya, Alexander Bramasta. Sang papa menginginkan dirinya untuk meneruskan bisnis keluarga. Namun hatinya selalu bergejolak ingin mengabdi pada masyarakat melalui ilmu pertanian.
"Mas Raka serius?" tanya Amelia, masih tak percaya.
Raka mengangguk mantap. "Aku serius, Mbak Amel," jawab Raka. "Aku yakin, Mbak Amel bisa memberikan kontribusi besar bagi desa ini."
Amelia senang mendengar keyakinan Raka padanya. Ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh ia sia-siakan. Namun, ada satu hal yang membuatnya ragu.
"Tapi... apa nantinya tidak akan jadi masalah Mas?" tanya Amelia, dengan nada ragu. "Aku kan warga baru di desa ini. Sedangkan untuk menjadi salah satu perangkat harus melewati seleksi dan persetujuan dari warga."
"Aku yang akan mengatur semuanya" potong Raka cepat. "Aku melihat Mbak Amel punya potensi yang besar. Aku percaya sama Mbak Amel."
Raka menangkupkan dua telapak tangannya di depan dada. "Aku mohon, Mbak Amel terima tawaran aku," ucap Raka, dengan tatapan memohon.
Amelia menatap Raka dengan hati bimbang. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk mantap.
"Baiklah Mas," jawab Amelia akhirnya, dengan senyum yang merekah. "aku terima tawaran Mas Raka."
bentar lagi nanam padi jg 🥰