Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
“Tentu saja tidak semudah itu untuk menjadi istri Sagara dan ibu bagi si kembar,” suara Mami Kartika terdengar tegas, namun tetap sopan, mengandung campuran nada peringatan dan kasih sayang yang halus. Wanita paruh baya itu menegakkan punggungnya di sofa sambil menatap Soraya, yang masih duduk anggun dengan senyum kecil.
Soraya membalas pandangan itu dengan manja, namun matanya tak benar-benar memantulkan ketulusan. “Kenapa, Tante?” tanyanya pelan. “Apa karena cinta Gara hanya untuk Sonia dan dia tidak mencintai aku?”
Nada suara gadis itu lembut tapi menusuk, seperti belati yang dibungkus sutra.
Mami Kartika menghela napas pelan. Ia menatap foto Sagara dan Sonia yang masih tergantung di dinding ruang tamu. Foto yang seakan menjadi saksi bisu dari cinta lama yang belum benar-benar padam.
“Ya,” jawab Mami Kartika akhirnya, jujur tapi berhati-hati. “Kamu tahu sendiri bagaimana Gara sangat mencintai Sonia. Apa pun akan dia lakukan demi Sonia.”
Soraya menunduk, lalu tersenyum getir. Jemarinya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin.
“Tapi Sonia sudah pergi, Tante,” kata Soraya lirih, seolah ingin menegaskan kenyataan yang menyakitkan itu. “Bukankah seharusnya seseorang bisa menggantikan posisinya?”
“Kamu masih muda, Sayang,” ucap Mami Kartika lembut tapi tetap berjarak. “Tidak semua hal bisa digantikan, apalagi seseorang yang begitu dicintai. Gara bukan pria yang mudah berpaling. Jika kamu memaksakan diri, nanti justru kamu yang terluka.”
Ucapan itu menggantung di udara, menimbulkan keheningan panjang. Jam dinding berdetak pelan, terdengar jelas karena suasana rumah sore itu begitu tenang. Namun ketenangan itu pecah seketika oleh suara dua bocah kecil.
“Mama ... Mama!”
Abyasa dan Arsyla berlari ke arah Shanum. Pipi mereka memerah, rambutnya berantakan, dan langkah kecil mereka tampak tergesa seperti ingin segera berlindung di pelukan hangat Shanum.
Shanum tersenyum, menunduk menyambut mereka dengan tangan terbuka.
“Sini, Sayang. Sudah waktunya tidur siang, ya?” kata wanita berjilbab itu lembut sambil menggendong keduanya dengan hati-hati. Kehangatan terpancar dari setiap gerakannya, seolah tubuh mungil kedua anak itu menemukan rumahnya di dada Shanum.
“Ini waktunya mereka tidur siang. Aku izin dulu ke kamar, Nyonya,” ucap Shanum sopan pada Mami Kartika.
“Ya, bobo yang nyenyak, ya, Sayang!” Mami Kartika mencium kedua cucunya bergantian, bibirnya melunak seketika saat mencium aroma bedak bayi yang familiar.
“Selamat tidur, keponakan aunty.” Soraya mendekat dan ikut mencium kedua keponakannya.
Baru saja bibirnya menyentuh pipi Arsyla, gadis kecil itu tiba-tiba menepis tangannya dan memukul bahunya dengan refleks.
“Awwww!” Soraya meringis, tapi di balik senyum kikuknya, ada tatapan tajam yang melintas sesaat, sangat singkat, namun mencurigakan.
“Maaf, Nona,” ucap Shanum cepat, mencoba menengahi agar suasana tidak memanas.
“Arsyla memang tidak nyaman dengan orang yang jarang ditemuinya.” Nada suara Shanum lembut tapi terdengar sedikit canggung. Ia tahu Soraya bukan tipe yang mudah menelan egonya.
Shanum segera beranjak ke lantai atas, menggendong kedua bocah itu sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi. Dalam hatinya, ada rasa tak enak yang sukar dijelaskan. Perasaan bahwa Soraya bukan sekadar datang untuk bersilaturahmi.
Begitu langkah Shanum menghilang di tangga, Mami Kartika menghela napas panjang. Ia menatap Soraya yang kini memainkan gelang di pergelangan tangannya dengan sikap santai.
“Lihatkan?” kata Mami Kartika dengan nada tenang, tetapi menusuk. “Mereka tidak suka sama kamu. Jadi, akan sulit bagi kamu untuk menjadi ibu bagi mereka.”
Soraya diam. Bibirnya tetap melengkung tipis, tapi matanya mulai kehilangan sinar ramah. Dalam hati, gadis itu menertawakan kalimat Mami Kartika. Bukan karena tersinggung, melainkan karena merasa tertantang.
“Sulit bukan berarti mustahil, Tante,” batin Soraya. “Akan aku buktikan kalau aku lebih pantas daripada perempuan kampung itu.”
Di lantai atas, Shanum membaringkan Abyasa dan Arsyla di ranjang kecil mereka. Kedua bocah itu tampak mengantuk setelah menyusu. Tangan kecil mereka masih menggenggam jari Shanum, seolah takut berpisah walau hanya sekejap.
“Tidurlah, Sayang,” bisik Shanum lembut sambil membelai rambut mereka.
Hati Shanum berdesir, bukan karena kelelahan, tetapi karena rasa haru yang sulit dijelaskan. Ia tahu dirinya bukan ibu kandung kedua anak itu, namun kasih yang tumbuh di dalam hatinya terasa nyata, seperti cinta yang tumbuh tanpa perintah.
Setelah memastikan keduanya tidur pulas, Shanum berdiri pelan, menatap wajah polos mereka di bawah cahaya redup kamar.
“Ibu mana pun akan bahagia punya anak seperti kalian,” kata Shanum dalam hati.
Lalu, Shanum keluar dari kamar, menutup pintu perlahan, lalu menuruni tangga. Suasana rumah sudah berbeda. Tak ada lagi tawa kecil atau percakapan manis. Ruang keluarga kini sepi, hanya terdengar suara pendingin udara yang berdengung halus.
Ketika matanya menyapu ke seluruh ruangan, ia melihat meja tamu sudah rapi. Cangkir-cangkir teh kosong telah dibereskan, dan aroma parfum bunga Soraya masih samar tercium di udara.
“Mereka sudah pergi,” gumam Shanum pelan, setengah lega.
Wanita itu duduk di sofa, memungut mainan yang berserakan di lantai—boneka, balok kayu, dan mobil-mobilan. Tangannya bergerak pelan karena pikirannya melayang.
Ucapan Soraya tadi masih terngiang jelas di kepalanya. “Jika Sonia tidak kembali juga, aku diminta untuk menjadi ibu untuk si kembar.”
Pernyataan itu membuat hati Shanum bergetar. Bukan karena takut kehilangan posisinya sebagai seorang ibu, tetapi karena rasa tidak percaya bahwa seseorang bisa dengan ringan mengklaim peran yang penuh kasih itu hanya dengan sebuah kalimat.
Shanum tahu Soraya bukan gadis sembarangan. Kecantikannya mencolok, penampilannya elegan, dan tutur katanya halus. Namun, di balik kelembutan itu, Shanum merasakan sesuatu yang aneh dan tidak bisa dijelaskan.
“Dia bukan orang yang datang untuk sekadar menjenguk si kembar,” gumam Shanum pelan sambil menghela napas panjang.
Mata wanita itu menatap kosong ke arah jendela. Hatinya terasa berat, tetapi Shanum memilih diam. Ia tahu, badai yang sebenarnya baru saja dimulai.
***
Mami Kartika menatap dari jauh, matanya terpaku pada pemandangan yang seharusnya membuat hati seorang ibu bahagia. Putranya tertawa lepas, menyemangati Arsyla yang mengejar Abyasa dengan langkah gontai di taman belakang rumah.
Sementara Shanum berdiri tak jauh dari mereka, senyum lembut terlukis di bibirnya, menatap pemandangan keluarga kecil itu dengan tatapan penuh cinta. Namun, di balik keindahan itu, dada Mami Kartika justru terasa sesak.
Bukan karena dia membenci Shanum. Tidak sama sekali. Ia hanya kecewa. Kecewa pada Sagara yang begitu cepat menghapus kenangan akan Sonia, wanita yang dulu dicintai, diperjuangkan, bahkan dipertahankan mati-matian di hadapan keluarga besar.
Sonia bukan sekadar menantu bagi Mami Kartika. Ia adalah simbol dari masa lalu yang ingin ia tebus. Gadis itu adalah putri dari Nirmala, sahabat masa mudanya yang kini hanya menyisakan luka dan kenangan pahit.
Hembusan angin sore menggerakkan ujung rambutnya. Mami Kartika berdiri duduk di kursi kayu menatap langit yang mulai berwarna jingga. Pandangannya kosong, tapi pikirannya justru melayang jauh ke masa lalu.
Seperti nya Shanum yng bakal ketiban pulung nih 😠😠😠
Trus siapa yg menukar bayi Sonia dengan bayi Shanum ?