azalea steffani leandra seorang anak tunggal kaya raya ,ceria dan juga manja dipertemukan dengan seorang pria yang sifatnya berbanding terbalik dengannya dan ternyata pria itu adalah pengasuhnya ketika ibunya tidak ada dirumah (bodyguard)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayel_zaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SUASANA LEGA
Gavin masih berdiri sendiri di balik jendela besar, memandang taman belakang rumahnya yang sunyi. Lampu taman berpendar lembut, menyoroti rerumputan yang tertata rapi. Tapi di balik semua ketenangan itu, pikirannya jauh melayang… ke satu sosok yang senyumnya masih menempel jelas di kepalanya.
“Gavin?”
Sebuah suara lembut memanggil dari belakang, membuatnya menoleh cepat. Di sana, berdiri seorang wanita anggun paruh baya, dengan raut hangat dan sorot mata lembut yang tak pernah berubah.
“Bunda,” gumam Gavin, agak terkejut.
Ibunya berjalan pelan lalu duduk di sofa ruang tengah. “Kamu bengong dari tadi, kalau ada sesuatu cerita aja sama bunda”
Gavin menghela napas, lalu ikut duduk di samping ibunya. Dan seketika, sorot matanya yang dingin perlahan mencair. Suaranya menjadi lebih pelan, postur tubuhnya lebih santai. Hanya di depan ibunya, ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri—anak lelaki yang tetap rapuh di balik segala topeng ketenangan itu.
“Ada seseorang yang… bikin aku khawatir,” katanya lirih.
Ibunya langsung menoleh, senyum kecil tersungging. “Hmmm… pacar ya?”
Gavin refleks memutar bola matanya pelan. “Bukan pacar, bun. Teman aja.”
“Oh ya? Tapi ini pertama kalinya Mama lihat kamu kayak gini cuma gara-gara ‘teman’. Kelihatan banget kamu peduli,” balas ibunya, nada suara menggoda namun lembut.
Gavin hanya menghela napas, lalu menunduk sebentar, bibirnya membentuk senyum samar.
“Dia beda, Bun,” akhirnya ia mengaku.
Ibunya tertawa pelan. “Pantes aja kamu sempat bilang ke Mama mau cerita soal ‘seseorang’ waktu itu, tapi belum sempat. Jangan bilang ini cewek yang kamu maksud?”
Gavin akhirnya mengangguk, pelan tapi pasti. Ibunya menepuk lutut Gavin dengan lembut.
“Kalau kamu bisa ngerasa segininya sama seseorang, jaga dia baik-baik, ya.”
Gavin diam. Tapi sorot matanya jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Seseorang yang membuatnya khawatir.
Seseorang yang bahkan mampu membuat hatinya mencair, perlahan.
Dan mungkin, tanpa sadar… sudah mengisi bagian hati yang selama ini sengaja ia biarkan kosong.
Ibunya menatap Gavin penuh rasa ingin tahu, sedikit tersenyum melihat anaknya yang selama ini nyaris tak pernah membicarakan siapa pun—apalagi perempuan.
“Oh ya?” suara ibunya lembut, “Apa yang spesial dari dia… sampai kamu bisa tertarik ?”
Gavin terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah bundanya. Matanya menatap penuh makna. Senyum kecil muncul di bibirnya.
“Karena dia mirip Bunda.”
Ibunya terdiam, kaget tapi hangat, matanya langsung berkaca-kaca. Tak disangka, anak lelaki yang selalu tertutup itu akan menjawab sejujur dan sesentuh ini.
“Oh ya?” gumam ibunya sambil tersenyum pelan, “Mirip banget?”
“Iya,” Gavin mengangguk. “Sama-sama keras kepala, sama-sama care tapi suka nyembunyiin perasaan. Sering sok kuat, padahal butuh banget seseorang disampingnya.”
Ibunya tertawa kecil, pipinya memerah bangga. “ berarti dia luar biasa dong ya, kalau bisa kayak Bunda?”
“Hmm,” Gavin menyandarkan punggung ke sofa, lalu tiba-tiba matanya berbinar geli, “Tapi ya... kadang dia juga nyebelin bun. Kayak waktu itu deh, dia ke kantin, dia mau minuman dingin, trus gavin belikan. Tapi dia malah ngambek karna enggak mau minuman itu, mau nya yang lain, tapi pas ditawarin yang lain juga gak mau... sampe debat lima menit sama mbaknya, sampai sekarang pun gavin gak tahu apa maksudnya waktu itu.”
Ibunya tertawa geli sambil menutup mulut. “Astaga… kayaknya kamu gak pernah bosen ya ngeliatin tingkah dia.”
“Gak bisa,” gumam Gavin sambil senyum tipis, lalu menatap lurus ke depan.
Sesaat keheningan menyela, sebelum bundanya kembali bicara.
“Tapi tadi bunda lihat kamu khawatir banget, Gav. Ada sesuatu ?”
Gavin menoleh cepat, tapi kemudian tatapannya turun. Ia diam, agak lama. Lalu, seperti mengalihkan topik tapi tetap ingin menjawab, ia berkata pelan,
“Enggak, cuma... khawatir dia kecapekan aja. Akhir-akhir ini dia banyak pikiran.”
Ibunya memicingkan mata, mengamati ekspresi anaknya yang tampak menyembunyikan sesuatu. Tapi ia tidak mendesak. Ia hanya mengangguk pelan.
“Kalau suatu hari kamu mau cerita semuanya, Cerita aja, bunda selalu ada.”
Gavin tersenyum kecil. “Iya, Bun.”
Dalam hatinya, Gavin tahu ia tak ingin bundanya tahu tentang sisi gelap yang mulai menyelimuti hidup mereka. Cukup dia yang tahu... cukup dia yang menyimpan.
Malam itu rumah keluarga Miller terasa tenang, hanya diterangi cahaya lampu gantung di ruang tamu yang menyinari lembut siluet Gavin dan ibunya, Clara, yang tengah duduk bersisian di sofa panjang. Obrolan mereka sesekali diselingi tawa ringan, sesuatu yang hanya muncul saat Gavin bersama ibunya—berbeda jauh dari wajah datar dan sikap dinginnya sehari-hari.
Pintu utama terbuka pelan, suara langkah sepatu mengisi keheningan malam. Gavin menoleh, refleks. Pria tinggi dengan jas gelap dan koper di tangan itu menatap mereka berdua—Cedric Miller, sang kepala keluarga, baru pulang dari perjalanan bisnis.
“Clara…” sapanya lembut. “Aku pulang hanya sebentar. Besok pagi aku harus terbang lagi.”
Clara tersenyum tipis. “Kamu tetap maksa datang, padahal aku baik-baik saja.”
Cedric menatap Gavin, sedikit terkejut melihat putranya juga ada di sana. “Gavin,” katanya, nadanya netral. “Selama aku pergi, jaga ibumu, ya.”
Gavin mendengus pelan, matanya tidak menyambut. “Tanpa disuruh juga gue bakal jaga ibu gue,” katanya tajam, singkat tapi menusuk.
Clara hanya menarik napas perlahan. Cedric tetap tersenyum, entah karena terbiasa atau karena memang tak ingin memperkeruh suasana. Ia tak membalas, hanya melirik putranya sekali lagi, lalu mengecup kening Clara.
“Aku pergi dulu,” ucapnya singkat. Asistennya—seorang pria berwajah baru lagi—mengangkat koper Cedric dan membuka pintu. Gavin sempat melirik, dalam hati membatin ganti lagi? tapi cepat-cepat mengabaikan. Baginya, semua urusan ayahnya bukan urusannya.
Tak lama, suara mobil Cedric meninggalkan pelataran rumah. Hening lagi.
Clara melirik putranya, mencoba mencairkan suasana. “Gavin… kamu masih marah sama Papa?”
Gavin tak menjawab. Ia hanya menyandarkan punggung ke sofa, menatap langit-langit.
Dia tahu, dunia ayahnya terlalu dalam untuk dijamah... dan terlalu gelap untuk dipahami.
Clara bersandar di bahu Gavin, menyandarkan kepenatannya yang belum sepenuhnya pulih. Mereka hanya diam beberapa saat. Tak butuh kata-kata panjang untuk membuat suasana terasa cukup hangat.
Tapi Gavin tetap sadar, ibunya belum sepenuhnya pulih. Dan malam sudah terlalu larut.
“Udah malam, Bun,” ucap Gavin pelan, menoleh ke wanita yang masih menjadi satu-satunya cahaya dalam hidupnya. “Mending istirahat. Lo baru sembuh juga, jangan maksain diri.”
Clara menatapnya sebentar, tersenyum lembut. “Iya, iya… anak bunda udah jadi penjaga sekarang, ya?”
Gavin mendengus kecil. “Udah dari dulu.”
Clara pun berdiri pelan, dibantu Gavin. Ia mengecup pelipis putranya sebentar sebelum akhirnya melangkah menuju kamarnya. Gavin menunggu sampai pintu kamar ibunya tertutup rapat, baru ia berbalik, menapaki anak tangga dengan langkah lelah.
Sesampainya di kamar, Gavin langsung merebahkan tubuhnya ke kasur. Punggungnya berat, tapi yang lebih berat adalah pikirannya. Tatapannya jatuh pada meja kecil di samping ranjang. Sebuah bingkai foto mungil berdiri di sana.
Ia menjulurkan tangan, mengambilnya.
Tiga remaja dalam foto itu tersenyum lepas. Tawa masa lalu yang kini hanya jadi kenangan. Gavin memandangi dua wajah di sampingnya—Alden Alexander dan Gevano Ezra Fredric. Dua sahabatnya. Dua saudara yang kini hanya tinggal dalam ingatannya.
Matanya berkabut. Bayangan masa lalu mulai menari dalam benaknya...
——————
Lima tahun lalu.
Masalah keluarga meledak. Alana—adik dari Cedric—ditemukan meninggal, dan semua orang menduga ia dibunuh. Ada desas-desus, tuduhan, bahkan bisikan jahat yang menyasar ibunya sendiri.
Gavin dipaksa pergi. Cedric memutuskan untuk mengirimnya ke luar negeri. Katanya, untuk melindunginya. Tapi Gavin tahu itu hanya dalih agar ia tak ikut campur. Ia tak sempat berpamitan dengan semua orang. Bahkan tak sempat menjelaskan apapun.
Dia pergi... meninggalkan segalanya. Meninggalkan Alden dan Gevano.
Tiga tahun di negeri orang, Gavin tak pernah benar-benar tenang. Dan saat ia akhirnya pulang, pikirannya hanya dipenuhi harapan untuk kembali menata semuanya. Tapi yang ia dapat justru berita buruk.
Alden... sahabat paling ceriwis dan protektif itu, meninggal dalam kecelakaan beruntun. Mobilnya remuk. Ibunya dan adiknya yang juga di dalam mobil ikut tewas. Tidak ada yang tersisa.
Gevano... si pendiam yang setia, memilih untuk mengakhiri hidupnya. Tak ada catatan. Tak ada alasan. Hanya tubuhnya tanpa roh, terlantar didepan sebuah gedung tinggi yang masih beroperasi.
Gavin saat itu nyaris hilang kendali. Dunia rasanya runtuh sekali lagi. Dan yang lebih menyakitkan dari segalanya, adalah mengetahui bahwa ibunya dirawat di rumah sakit jiwa, setelah dipaksa mengakui sesuatu yang tak pernah ia lakukan.
Cedric, ayahnya, justru ikut menuduh. Ia memilih percaya pada opini publik... bukan pada istrinya. Gavin tahu, dari situlah bencinya bertumbuh. Dingin, membatu.
---
Gavin kembali menatap foto itu, menghela napas dalam. Matanya memerah.
“Maaf,” gumamnya nyaris tak terdengar, “gue telat balik…”
Ia letakkan bingkai itu kembali ke meja, dan membalikkan tubuhnya ke langit-langit. Malam makin larut. Tapi dalam hatinya, badai belum reda.
Dan luka... belum pernah benar-benar sembuh.
******
Pagi hari datang tanpa permisi, membawa langit yang masih berwarna biru pucat, dan udara yang segar namun tetap terasa berat bagi mereka yang menyimpan terlalu banyak pikiran.
Mobil hitam Gavin meluncur pelan ke area parkir sekolah seperti biasa, membawa dua sosok yang kini mulai terlihat terbiasa bersama. Lea duduk di sebelah, memandangi jendela dengan mata berbinar, meskipun sisa-sisa kantuk masih tergantung di pelupuk matanya. Sesekali Gavin melirik ke arah Lea diam-diam, memastikan dia baik-baik saja, tanpa perlu bertanya.
Mereka berjalan beriringan menuju gedung utama. Sepasang siswa yang tampak berbeda dari biasanya—mungkin karena senyum kecil yang lebih tulus, atau langkah kaki yang tak lagi terkesan terburu-buru seperti hari-hari sebelumnya.
Sampailah mereka di lorong kelas. Ruang Gavin dan Lea berdampingan. Lea berhenti di depan pintu, menoleh pada Gavin.
“Thanks for the ride… again,” ucap Lea pelan, nyaris berbisik.
Gavin hanya mengangguk ringan, senyum kecil mengintip di sudut bibirnya sebelum ia melangkah masuk ke kelasnya tanpa kata lain.
Begitu Lea membuka pintu kelas, suara riuh langsung menyambutnya.
“Leaaa!!” seru Flo dengan suara nyaring, diikuti tepuk tangan aneh dari Laura.
Viona cepat-cepat menarik Lea masuk dan menuntunnya ke meja, “Buruan duduk! Kita baru mau bahas sesuatu yang panas!”
Meja Lea sudah dikepung. Viona duduk santai sambil menggulung lengan bajunya, siap mendengar. Sementara Laura dan Flo sudah duduk saling hadap. Seperti biasa, meja disusun melingkar—kode universal kalau ada agenda gosip mendalam.
Namun seperti biasa juga, hanya satu orang yang tidak terganggu dengan semua keributan itu—Vano. Dia duduk sendiri di ujung belakang, dengan earphone di satu telinga, pura-pura tidak tertarik… padahal sekali-sekali, matanya tetap melirik ke arah lingkaran kecil itu. Antara penasaran, atau hanya memastikan semua masih normal.
Lea duduk, menaruh tasnya, dan ikut melingkar. “Jadi? Gibah apa nih pagi-pagi?”
Flo langsung nyamber, “Lo tau kan? Katanya yang nutup kasus kemarin itu bukan polisi. Bukan guru juga. Tapi seseorang yang... berkuasa banget.”
Mata mereka saling bertaut. Aura penasaran melingkupi mereka seperti kabut.
Dan pagi pun dimulai dengan caranya sendiri—penuh gosip, spekulasi, dan sesuatu yang lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan.
Jam pelajaran olahraga dimulai saat matahari naik malu-malu di atas langit sekolah. Udara terasa segar, angin pagi membelai lembut, dan derap kaki para siswa terdengar memenuhi lorong menuju loker. Lea dan teman-temannya berjalan beriringan sambil bercanda kecil, membahas hal-hal sepele yang membuat mereka tertawa. Sesekali, Lea menirukan gaya guru mereka yang suka mengomel tanpa henti, membuat Viona dan Flo cekikikan sepanjang jalan.
Setelah mengganti baju di ruang ganti, mereka menuju lapangan. Guru olahraga mulai memberikan aba-aba pemanasan, tapi seperti biasa… geng Lea tak pernah bisa fokus penuh. Begitu diberi sedikit kebebasan, mereka langsung membentuk lingkaran kecil di pojok lapangan—berisik dan penuh tawa.
“Main lompat tali yuk!” usul Laura sambil menggulung tali skipping dari pinggir lapangan.
“Gas!” jawab Lea cepat sambil menggulung lengan bajunya seketiak dan menarik rambutnya ke atas, mengikatnya asal-asalan. justru itu tampak membuatnya lebih mempesona, gaya aur-auran.
Tawa riang membaur dengan sinar matahari. Mereka saling giliran, saling sorak-sorai ketika salah satu melompat terlalu cepat atau terlalu tinggi. Suasana yang dulu sempat mencekam beberapa hari terakhir, kini seolah larut. Sejenak, dunia mereka tenang. Tidak ada pembunuh. Tidak ada ancaman. Tidak ada ketakutan.
Sampai akhirnya… suara “BRUKK!” mengagetkan semuanya.
Lea jatuh tersungkur ke tanah, wajahnya terkejut sendiri.
“LEA!!” seru Viona paling kencang sambil lari mendekat.
Lea meringis, tangannya menahan lengan yang kini tergores parah, sementara lututnya mulai memerah dan berdarah karena menghantam batu kecil yang menancap di tanah.
“Gue bilang juga apa… jangan gaya!” omel Laura panik sambil menahan tawa yang setengah ingin keluar.
“Jangan ketawa, Laura!” kata Flo cemas sambil menyingkirkan rambut Lea dari wajahnya. “Udah, kita bawa ke UKS.”
Tanpa banyak tanya, Vano langsung jongkok di depan Lea, “Naik. Nggak usah sok kuat lo, jalan juga nggak bisa.”
Lea hanya meringis kecil tapi tetap pasrah digendong, membuat teman-temannya kembali heboh seperti biasa.
“Gue rekam ya, Lucu soalnya,” canda Viona sambil menahan tawa.
“MATI LO SEMUA YA!!” seru Lea pelan, berusaha menahan malu di antara rasa sakitnya.
Dan di tengah kekacauan kecil itu, Gavin yang berdiri jauh di sisi lain lapangan hanya menghela napas, melihat dari jauh, dia menggeleng melihat kelakuannya yang ceroboh. Bibirnya membentuk senyum kecil yang hampir tak terlihat—melihat Lea tertawa lagi seperti itu, entah kenapa membuat dadanya sedikit lebih lapang.
Seolah hari itu, meski luka berdarah… yang lain dalam hati perlahan mulai sembuh.
---
Di UKS, suasana terasa ramai tapi hangat. Lea duduk di ranjang periksa, meringis sambil menggigit bibir saat Flo menuangkan antiseptik ke lukanya.
“Duh, perih banget, Flo! Pelan dikit napa!” keluh Lea sambil menarik-narik lengan bajunya.
“Pelan-pelan mulu, lukanya bisa infeksi, baru tahu rasa lo nanti,” balas Flo ketus, tapi wajahnya tetap menunjukkan kepedulian.
Laura yang berdiri di sisi lain hanya geleng-geleng. “Gue udah bilang, lo jangan ngide gaya ninja di lapangan. Kan udah tahu kaki lo dua arah semua.”
Vano ikut membantu mengambil salep dari lemari kecil sambil nyeletuk, “Kalau udah gede gini masih sering jatuh, serius deh, itu bukan ceroboh... itu kutukan.”
“VANOOOO!!” protes Lea sambil nyengir setengah kesal.
Di tengah hiruk-pikuk itu, pintu UKS terbuka. Gavin masuk dengan langkah tenang, tangan masuk ke saku, dan ekspresi dinginnya seperti biasa. Namun, matanya langsung mengarah pada Lea.
“Jatoh?” tanyanya datar, seolah pertanyaan itu cuma basa-basi.
Lea refleks mengangguk dengan senyum manis yang sedikit berharap—mungkin berharap cowok itu akan bilang sesuatu yang manis… atau minimal: “Kamu nggak apa-apa?” Tapi yang keluar malah satu kata:
“Oh.”
“Oh??” ulang Lea dengan nada meninggi, matanya membulat.
“Oh,” ulang Gavin sekali lagi, lebih santai, seolah itu bukan apa-apa.
“Lo tuh…!” Lea bersuara cempreng penuh amarah campur malu. “Lo tuh cowok paling nggak punya rasa kasihan yang pernah gue temui! Gue jatoh, berdarah, menderita, dan lo cuma bilang oh?! Gila kali ya?!”
Saking ributnya Lea, Viona mendecak sambil menarik tisu dari atas meja dan dengan cepat menyumpelkannya ke mulut Lea.
“Ssshh! Udah, udah. Lo ribut banget sih. Nih UKS, bukan pasar malam,” katanya dengan wajah datar.
Lea menatap Viona dengan wajah terhina, tapi mulutnya penuh tisu jadi dia cuma bisa memelototkan mata sambil menunjuk-nunjuk Gavin yang hanya berdiri santai sambil menyandarkan tubuhnya di pintu, seperti menikmati kekacauan kecil itu.
Gavin menyilangkan tangan di dada. Senyum tipis tergambar di wajahnya—bukan ejekan, lebih ke… geli.
“Kalau dari tadi kamu diem, luka kamu juga nggak makin lama diselesaiinnya,” katanya tenang.
Lea menatapnya tajam, masih dengan mulut penuh tisu.
Dan entah kenapa, bagi Gavin... wajah marah Lea yang seperti itu malah terasa… lucu.