Adriella menjalani hidup penuh luka dalam balutan kemewahan yang semu. Di rumah milik mendiang ibunya, ia hanya dianggap pembantu oleh ayah tiri dan ibu tirinya. Sementara itu, adik kandungnya yang sakit menjadi satu-satunya alasan ia bertahan.
Demi menyelamatkan adiknya, Adriella butuh satu hal, warisan yang hanya bisa dicairkan jika ia menikah.
Putus asa, ia menikahi pria asing yang baru saja ia temui: Zehan, seorang pekerja konstruksi yang ternyata menyimpan rahasia besar.
"Ini pasti pernikahan paling sepi di dunia,” gumam Zehan.
Adriella menoleh pelan. “Dan paling sunyi.”
Pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Namun waktu, luka, dan kebersamaan menumbuhkan benih cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Saat kebenaran terungkap dan cinta diuji, masihkah hati memilih untuk bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Konsekuensi
Satu jam setelah pertemuan itu, Adriella berjalan menuju ruang kerja Bastian dengan membawa satu map berisi dokumen dan flashdisk. Ia sudah mempersiapkan semua kemungkinan. Saat mengetuk pintu dan mendengar Bastian menyuruh masuk, ia masuk dengan langkah pasti.
“Pak Bastian, saya punya sesuatu yang perlu saya laporkan,” ujarnya.
Bastian menoleh dari balik mejanya. “Apa itu?”
Adriella meletakkan map di atas meja, lalu duduk. “Ini semua data investigasi saya mengenai masalah dengan pengiriman bahan ke Velveta. Saya temukan ada unsur sabotase.”
Bastian mulai membuka map itu dan memeriksa dokumen satu per satu. Saat ia sampai pada bukti transfer dan salinan rekaman gerbang, matanya mulai menyipit.
“Ini data valid?”
“Ya, Pak. Termasuk pengakuan dari Andre. Saya juga sudah bicara langsung dengan Bara.”
Bastian menghentikan gerakan tangannya. “Kamu bicara langsung dengan Bara?”
“Ya. Saya beri dia kesempatan untuk mengaku, tapi saya tetap merasa penting untuk melaporkan ini kepada Bapak secara resmi.”
Bastian bersandar di kursinya, memijat pelipis. Matanya menatap kosong beberapa saat, lalu beralih pada Adriella.
“Bagus sekali. Beraninya Bara melakukan ini. Apakah dia ingin membuat perusahaan bangkrut? Aku akan bicarakan ini dengan Bara nanti. Dan Andre akan ditindak sesuai kebijakan.” Geram Bastian tidak habis pikir.
Apa sih yang ada dalam otak Bara sehingga berani melakukan hal keterlaluan seperti itu? Apakah menurutnya perusahaan ini miliknya hingga dia berani berbuat seenaknya?
Adriella mengangguk. “Saya siap jika Bapak membutuhkan keterangan tambahan.”
"Baiklah, kamu boleh keluar," ucap Bastian mengarahkan Adriella dengan tangannya.
Adriella mengangguk dan berjalan keluar ruangan, tidak lupa dia menutup pintu dengan pelan.
🍁🍁🍁
Keesokan harinya, suasana kantor terasa lebih sunyi dari biasanya. Semua karyawan bekerja seperti biasa, tapi desas-desus mulai terdengar. Sebagian besar tak tahu apa yang terjadi, hanya merasa bahwa sesuatu tengah berlangsung di balik pintu ruang direktur utama.
Bastian duduk di ruangannya dengan ekspresi serius. Di hadapannya, duduk Andre yang tampak gelisah, menunduk, dan tak berani menatap langsung. Di sisi lain, Bara berdiri bersandar pada dinding dengan ekspresi keras kepala, kedua tangannya terlipat di depan dada.
“Saya sudah melihat semuanya,” ucap Bastian akhirnya, suaranya tenang tapi dingin. “Dan saya kecewa. Sangat kecewa.”
Andre hanya mengepalkan tangan di pangkuannya. Bara tak menjawab.
“Kamu tahu apa risikonya menyentuh proyek besar seperti Velveta, Bara?” lanjut Bastian, kali ini menatap langsung ke putranya. “Ini bukan mainan. Ini reputasi perusahaan. Dan kamu mempermalukan nama keluarga.”
Bara membuka mulutnya. “Aku cuma ingin menunjukkan kalau aku juga bisa pegang kendali.”
“Dengan cara menyabotase saudaramu sendiri?” bentak Bastian. “Adriella kerja keras dari bawah, dan kamu, kamu malah menyeret staf ke dalam tindakan kriminal hanya demi ego.”
Ia berdiri, menghela napas panjang.
Bastian lalu mengarahkan pandangannya kepada Andre. “Andre, kamu akan diberhentikan hari ini juga. Saya tidak akan menuntut kamu atas masalah ini, karena kamu hanya suruhan Bara. Tapi, kamu tidak bisa lagi diterima di perusahaan."
Andre mengangguk dengan wajah tertunduk. Ia tahu keputusan itu tak bisa dibantah. "Terima kasih Pak."
"Kamu boleh pergi," lanjut Bastian.
"Baik, Pak." Andre pun keluar dari ruangan Bastian setelah mengatakan itu meninggalkan ayah dan anak itu saling berhadapan.
“Dan kamu, Bara,” lanjut Bastian dengan nada berat.
“Mulai hari ini, kamu dibekukan dari seluruh kegiatan perusahaan. Tidak ada akses ke proyek, tidak ada fasilitas. Saya akan pertimbangkan kembali posisimu setelah kamu menunjukkan bahwa kamu bisa bertanggung jawab.”
Bara menegang. “Papa nggak serius, kan?”
“Saya tidak pernah seserius ini.”
Ruangan itu hening. Bara akhirnya mendorong dirinya berdiri tegak dari dinding, lalu berjalan keluar tanpa berkata apa-apa.
Setelah semuanya selesai, Bastian berdiri menghadap jendela, menatap keluar dengan tatapan jauh.
Ia tahu keputusan ini akan mengguncang banyak hal. Tapi sebagai pemimpin dan ayah, ia harus menegakkan apa yang benar.
Dan hari itu, ia memilih keadilan.
🍁🍁🍁
Bara keluar dari ruang kerja Bastian dengan langkah cepat dan rahang mengeras. Rasa malu dan marah bercampur jadi satu, menyatu dalam kepalan tangan yang ia sembunyikan di balik saku jas.
Saat hendak berbelok ke lorong utama, langkahnya terhenti. Di ujung lorong, Rika berjalan menuju arahnya. Wanita itu mengenakan setelan elegan berwarna krem, tas mewah di tangan dan ekspresi penasaran di wajahnya.
“Bara? Kamu dari ruang Papa?” tanyanya sambil mempercepat langkah.
Bara berhenti, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Iya.”
Rika menyipitkan mata. “Wajahmu kenapa kayak gitu? Papa ngomel?”
Bara menghela napas keras. “Dia nyalahin aku soal pengiriman bahan ke Velveta. Katanya aku sabotase proyeknya Adriella.”
Rika langsung menegang. “Tunggu, kamu beneran ikut campur? Bukannya aku udah bilang jangan gegabah?”
“Aku cuma pengen nunjukin kalau aku juga punya pengaruh. Tapi sekarang malah dibekuin dari semua kegiatan perusahaan,” ucap Bara dengan nada tinggi.
Rika memegang lengannya. “Tenang dulu. Jangan bicara keras-keras. Kamu mau semua orang tahu?”
Bara menepis halus tangan ibunya. “Sudah telanjur, Ma. Papa udah lihat semua bukti. Adriella bawa semuanya langsung ke Papa. Sekarang aku yang dipermalukan.”
Rika terdiam sejenak, wajahnya muram. Ia tahu situasi ini jauh lebih rumit dari yang ia perkirakan. Semua rencananya untuk menekan Adriella lewat jalur tidak resmi kini justru berbalik menyerang anaknya sendiri.
“Biar Mama yang bicara dengan Papa. Tapi kamu juga harus sadar, Bar. Ini bukan lagi tentang cemburu atau harga diri. Ini soal kehormatan keluarga.”
Bara menatap mamanya, mata mereka saling bertemu dalam diam yang tegang.
Ia tidak menjawab. Hanya membalik badan dan pergi meninggalkan Rika berdiri sendiri di lorong panjang yang kini terasa sangat sepi.
🍁🍁🍁
Setelah kepergian Bara, Rika berdiri beberapa saat di lorong dengan wajah cemas. Ia lalu menarik napas panjang, memperbaiki postur tubuhnya dan mengetuk pintu ruang kerja Bastian.
“Masuk,” terdengar suara Bastian dari dalam.
Rika membuka pintu dan masuk dengan langkah tenang. Bastian masih berdiri di depan jendela, membelakangi pintu, tangan di saku celana.
“Kamu ada waktu sebentar?” tanya Rika sambil menutup pintu perlahan.
Bastian tidak menoleh. “Kalau mau bicara soal Bara. Bagaimana kamu akan membelanya sekarang?"
Rika maju beberapa langkah. “Aku dengar kamu membekukan posisinya. Bukankah itu terlalu keras untuk anak sendiri?”
Bastian membalikkan badan dan menatap Rika. “Anak sendiri, justru karena itu. Kalau aku tidak mendidiknya sekarang, siapa lagi? Dia bukan anak kecil lagi, Rika.”
Rika menahan napas. “Tapi kamu tahu sifat Bara. Dia cuma butuh diarahkan. Dia merasa kalah bersaing, itu wajar dalam keluarga seperti ini. Tapi bukannya lebih baik kamu bimbing daripada menghukumnya?”
“Rika,” Bastian memotong, nadanya tegas. “Aku sudah beri dia banyak ruang. Tapi dia pakai ruang itu untuk menyabotase proyek penting. Dan bukan proyek siapa pun, itu proyek yang ditangani Adriella. Apakah dia ingin menunjukkan kalau hubungan keluarga kita tidak baik.”
Wajah Rika menegang. Rika tahu betul suaminya lebih mementingkan wajahnya daripada apa pun.
“Jadi ini karena Adriella?” tanyanya pelan.
“Ini karena prinsip. Tapi kalau kamu memang mau menyebut nama, ya. Aku akui, Adriella telah membuktikan dirinya. Dia bekerja keras, dan saat terjadi masalah, dia menyelesaikannya dengan kepala dingin. Tanpa mengandalkan latar belakangnya. Bisa kamu bilang begitu juga tentang Bara?”
Rika tidak menjawab. Matanya bergerak ke arah meja kerja Bastian.
“Kalau kamu benar-benar ingin membantu Bara, bantu dia untuk dewasa. Jangan lindungi dia dari konsekuensi.”
Rika mengatupkan bibir, lalu mengangguk singkat. “Baiklah. Tapi jangan terlalu keras padanya, ya. Dia tetap anakmu.”
Bastian kembali memalingkan wajah ke jendela. “Aku tahu.”
Dan untuk pertama kalinya dalam percakapan mereka, tidak ada lagi yang bisa dikatakan.
menyelidiki tentang menantunya
yg blm mendapat restu...
pasti bakal kaget...
lanjut thor ceritanya
sama" gak tahu malu...
padahal mereka cuma numpang hidup...
yg punya kendali & peran penting adalah pemilik sah nya...
lanjut thor ceritanya
semoga Pak Bastian
menendang kamu...
setelah melihat bukti...
murka terhadap Bara
setelah menerima buktinya...
lanjut thor ceritanya di tunggu up nya
aku sudah mampir...
dan baca sampai part ini...