Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
“Sayang, jika dulu kamu yang memandang foto kita, biar sekarang aku yang memandang wajahmu dari sini.” Armando masih setia duduk bersandar di sofa yang ada di ruang kerja Virginia, memandang foto pernikahan yang terpampang besar di dinding.
Cecilia yang memperhatikan tingkah kakaknya menghapus air matanya. Miris sekali rasanya, kakaknya terkadang berbicara sendiri, seolah sedang berbicara dengan Virginia. Terkadang tertawa sendiri, tersenyum sendiri bahkan bersikap tersipu malu dan salah tingkah seperti seorang ABG kasmaran.
Kakak, sebaiknya Kakak pulang untuk istirahat.” ucap Cecilia
Armando yang semula menatap dengan senyum manis ke arah foto pernikahannya dengan Virginia, seketika mengalihkan tatapan pada adiknya.
“Kenapa? Apa kamu tidak suka ada aku di sini? Jangan lupa ini adalah perusahaan milik Virginia. Dan aku sebagai suaminya berhak berada di sini.” Armando terlihat tidak suka dengan kata-kata adiknya.
“Apa aku pernah berkata tidak suka? Aku hanya menyarankan kakak untuk istirahat. Aku prihatin, sepertinya kondisi kakak sedang tidak baik-baik saja.”
“Aku baik-baik saja, dan akan selalu baik-baik saja!” Armando kembali mengalihkan tatapannya pada pigura besar yang berada di dinding tak jauh dari Cecilia, lalu beralih pada pigura kecil yang kini berada di tangannya ada foto Virginia di sana.
Armando menelusuri wajah dalam bingkai dengan ujung jarinya seolah dia sedang membelai wajah Virginia. Dari mana Armando memiliki foto Virginia? Sedangkan ponselnya kosong sama sekali tak ada secuil pun kenangan tentang Virginia. Foto itu diambil dari kamar lama Virginia yang ada di rumah keluarga Fernandez.
“Kenapa ternyata kamu benar-benar pergi? Kenapa ternyata kamu benar-benar tidak bisa memaafkanku?” Raut yang semula penuh senyum kini berubah sendu.
Cecilia semakin miris mendengarnya. “Kakak cobalah untuk memaafkan dirimu sendiri! Virginia benar-benar sudah pergi. Kamu harus melepaskannya, mulailah dengan hidupmu yang baru.”
Armando mendengarnya tetapi tak ingin menggubris.
“Kakak maafkan jika kata-kataku ini salah, tetapi mungkin ada baiknya jika Kakak berkonsultasi dengan seorang psikolog.” Cecilia berbicara dengan hati-hati.
Tatapan Armando seketika berkilat tajam.
“Lancang kamu! Jadi kamu menganggap kakakmu ini gila? Benar-benar tidak sopan. Apa pantas bicara seperti itu pada kakakmu ini?” Armando berteriak marah.
Cecilia menggeleng kepala. Sudah ia duga, kakaknya pasti akan marah. “Aku tidak bermaksud seperti itu. Kakak juga paham kan? Datang ke psikolog bukan berarti orang itu gila. Kakak butuh teman untuk berbicara. Mungkin dengan datang ke psikolog, Kakak bisa menjadi lebih tenang. Kakak bisa memaafkan diri Kakak sendiri.”
“Aku tahu kamu tidak suka aku ada di sini. Aku akan pergi!” Armando seketika berdiri dari duduknya melangkah keluar dari ruangan lalu membanting pintu dengan keras.
“Apa yang terjadi denganmu, Kak? Kenapa jadi seperti ini? Kamu yang dulu menolak Virginia. Kamu yang selalu bersikap dingin. Jika sudah seperti ini, menyesal apa ada gunanya?”
:
“Nyonya besar, Anda harus makan! Jika tidak tubuh Anda akan semakin lemah.” Charlotte terus membujuk nyonya Mendoza untuk memasukkan makanan ke dalam mulut.
Sejak kepergian Virginia beberapa bulan yang lalu, kondisi kesehatan nyonya Mendoza semakin drop. Wanita itu terlalu larut dalam penyesalan.Nyonya besar Mendoza benar-benar menyayangi Virginia. Namun, perbuatan putranya yang mengabaikan Virginia dan memilih berpihak pada Veronica, membuatnya kehilangan gadis itu. Gadis yang merupakan putri dari teman baiknya, Patricia Morantes.
“Aku tidak mau makan charlotte. Aku mau pergi ke tempat Virginia. Bisakah kamu antarkan aku?” Wanita tua itu menatap memohon
“Nyonya, tidak baik berbicara seperti itu. Nyonya muda Virginia telah pergi. Anda harus dengan rela hati melepas nya. Jika Anda terus seperti ini, hanya akan memberatkan langkah Nyonya Muda.”
Nyonya besar Mendoza menangis semakin tergugu.
“Yang seharusnya Anda lakukan sekarang adalah tetap sehat, agar Anda bisa terus berdoa untuk Nyonya muda. Jangan lupa, Anda memiliki nyonya Ceci dan tuan muda yang Anda sayangi.”
Nyonya besar Mendoza mengangguk. Apa yang diucapkan oleh charlotte memang benar, dan dia juga tahu itu. Akan tetapi kesedihannya sesuatu yang tidak bisa disingkirkan begitu saja.
.
.
Alessandro menatap Virginia yang rambutnya sedang disisir oleh perawat Beatrice. Pria itu masuk perlahan menatap wajah Virginia dari pantulan cermin.
“Baiklah jika kamu tidak ingin kembali dengan duniamu yang lama, maka jangan kembali. Ciptakan dunia baru! Biarkan aku yang masuk ke sana. Aku yang akan membuat kenangan baru untukmu. Kenangan yang indah yang tak akan pernah membuatmu menangis. Dunia yang hanya ada aku sebagai pengunjungnya. Dunia yang hanya akan menjadi milik kita berdua.”
Alessandro berdehem dan membuat perawat Virginia menoleh. “Selamat datang, Tuan,” ucap wanita itu kemudian menundukkan kepala.
“Kau boleh pergi.”
Beatrice mengangguk kemudian undur diri.
“Tuan Putriku sudah sangat cantik rupanya,” ucap Alessandro yang kemudian berlutut dihadapan Virginia, mengambil tangan wanita itu dan mencium punggungnya. Virginia mendongak, tak ada reaksi penolakan. Sepertinya wanita itu sudah merasa nyaman dengan kehadiran Alessandro di sampingnya.
“Bunga yang cantik untuk Tuan Putri yang cantik.” Alessandro meletakkan buket bunga yang ada di tangan kirinya ke atas pangkuan Virginia.
Alessandro mengambil tangan Virginia yang sebelah lagi dan menggenggamnya lembut. Menatap wajah wanita itu mencoba mengamati setiap perubahan yang ada. Terlihat wajah Virginia yang tiba-tiba bersemu merah.
Alessandro tersenyum. “Apa kamu senang aku menggenggam tanganmu? Kalau begitu baiklah. Aku akan menggenggamnya seumur hidupku dan takkan pernah ku lepaskan."
Virginia melihat tangannya yang digenggam oleh Alessandro. Ada rasa hangat yang menyelimuti hati. Tiba-tiba saja mata wanita itu terpejam. Ingatannya terlempar ke tempat yang jauh.
“Apa kamu juga akan pergi meninggalkanku?”
Virginia membalikkan badan seorang pria berwajah tampan mengenakan Jas putih eksklusif berwarna putih dengan aksesoris mewah di bagian depan menambah wibawa. Pria itu adalah…
“Virginia, apa yang kau pikirkan?”
Virginia tersentak dari lamunannya menatap Intens ke arah Alessandro. Dengan ujung jarinya menelusuri jas pria itu. Jas putih yang sama yang selalu muncul dalam mimpinya. Apakah pria berjas putih itu yang saat ini ada di depannya? Virginia mengangkat tangannya ingin menyentuh wajah pria itu. Ragu. Tangannya menggantung di udara.
Alessandro yang memahami itu meraih tangan Virginia dan menempelkan di pipinya. “Kamu boleh menyentuhnya sesuka hati,” ucap Alessandro.
“Pangeran berkuda,” gumam Virginia.
Alessandro yang mendengar itu merasa gembira. Akhirnya Virginia mau bersuara walau cuma sepatah. Ditatapnya wajah ayu itu penuh kasih.
“Apa kamu ingin naik kuda? Pangeran tampan ini akan mengabulkannya.”
Virginia diam hanya menatap, Alessandro tersenyum untuk meyakinkan apa yang dia tawarkan adalah benar. “Tapi sekarang sudah hampir malam. Kita akan berkuda besok pagi.’
Alessandro melihat wajah Virginia yang seketika menjadi muram. “Jangan khawatir, apa yang aku janjikan pasti aku tepati.” Virginia mengangguk meski wajah cerianya belum kembali.
Alessandro tersenyum, kemajuan Virginia terbilang pesat. “Sekarang, bolehkah Pangeran tampan ini mengajak Tuan Putri yang cantik untuk berdansa?”
Alessandro menyalakan musik di ponselnya selalu meletakkannya di atas meja rias. Membantu Virginia berdiri lalu menuntun ke tengah ruangan.
“Letakkan kakimu di atas kakiku!”
Virginia menatapnya tak mengerti, lalu Alessandro merendahkan sedikit badannya, mengangkat lutut Virginia, dan dengan instingnya meletakkan kaki wanita itu di atas kakinya. Meletakkan dua tangan Virginia di atas pundaknya.
Diiringi alunan musik yang lembut, keduanya berdansa dengan tatapan yang tak pernah lepas satu sama lain. Senyum lebar pertama yang terbit dari bibir Virginia. Hanya senyum lebar tanpa suara, menunjukkan deretan giginya. Jadi Virginia menyukai dansa? Kenapa dia tidak mengetahuinya dari awal?
“Kenapa tidak ingin bicara? Apa tidak ada sedikit saja kata pujian untuk Pangeran tampan ini?” Virginia kembali diam menatap.
“Baiklah. Tidak apa jika tidak ada pujian. Bolehkah sekali saja namaku disebut? Pangeran tampan ini benar-benar ingin mendengar suara lembut Tuan Putri.”
“A… A- Le…?”
Tes
Setitik air bening jatuh dari sudut mata Alessandro. Akhirnya penantiannya sampai.
semangat semangat..
lanjut
ternyata Virginia trauma nya gede juga
aihhhh di mana mana mah penyesalan datang akhir kalau awal mah pendaftaran GEB
sadis Banggt sih 5 th loh itu bukan wanti yg sebentar kailan memang sadis
mskpn ga mdah,tp kl ada orng yg tlus psti dia jg bs mrsakannya kn....
biarlh yg onoh mndrta krna pnysalan.....