Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Manjanya Anka
..."Sekali-sekali aku mengingatnya. Terkadang membuatku berbunga-bunga, lalu dilempar ke tebing yang tinggi karena itu hanya ilusi saja"...
...•...
...•...
Garrel menuruni tangga menuju dapur karena aroma semerbak masakan rendang yang dibuat Tara di bawah. Mengendap-endap di belakang Tara dan akan mengejutkannya. Saat akan menyentuh bahu Tara. Sebuah tangan tiba-tiba ada di bahunya dan mengagetkannya. Siapa lagi kalau bukan Sean.
Laki-laki itu terpampang jelas dengan wajah kesalnya menatap Garrel yang cengengesan. "Ngapain lo?"
Tara berbalik dan hampir terlonjak kaget saat wajahnya berpapasan dengan punggung Garrel yang tinggi. Sementara itu, Sean menarik Garrel untuk menepi dan menghampiri Tara.
"Kenap-" Tara terdiam saat Sean tiba-tiba memeluknya dengan erat.
Ngapain sih nih bocah? Aneh kayak adiknya, batin Garrel.
"Tubuh kamu kok hangat?" tanya Tara merasakan tubuh Sean sangat hangat melebihi suhu biasanya.
"Bang Anka lagi demam, Bun. Soalnya semalam bang Anka abis pulang sekolah kehujanan terus langsung ganti baju dan nggak bersih-bersih dulu, malah ngelanjutin belajar," jawab Arsa yang menuruni tangga menuju bundanya.
"Bener, Ka?" Sean hanya mengangguk.
Manja kali dia ges, manja kali. Adiknya udah mulai normal, malah sekarang ganti abangnya, batin Garrel.
"Nggak usah ngebatin lo." Garrel membulatkan matanya, bagaimana Sean bisa tau?
"Kok lo tau?" tanya Garrel.
"Kalau lo diam pasti ngebatin orang lain," jawaban Sean tepat sekali.
Garrel hanya cengengesan dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Arsa menepuk pantat Sean dan tidak tertinggal, pantat Garrel juga menjadi korban kedua setelah pantat abangnya. "Mungkin karena jurus pukul pantat ku yang ini bisa membuat bang Anka sama bang Rel terikat batin."
"Apaan sih, Cil! Kalau gitu Abang juga bisa. Liat nih..." Garrel Bersiap akan memukul pantat Arsa pelan, tapi sang empuh menghindarinya lebih dulu dan berlari ke arah Gilang yang sedang menikmati acara TV dengan teh di meja.
Arsa menjulurkan lidahnya dan duduk di samping Gilang dengan tenang. Baru saya batin Garrel berkata kalau Arsa itu normal, ternyata tidak. Maksud dari tidak adalah...tidak dalam jangka waktu panjang.
Sean semakin mengeratkan pelukannya dan menempatkan kepalanya di bahu Tara. "Dingin, Bun."
Kayak bocil, batin Garrel. Kalau gini gua jadi pemeran antagonis aja, dari tadi batin terus yang ngomong.
"Nggak mau ke dokter lo? Gua yang anterin," tawar Garrel.
"Nggak deh, mungkin setelah makan masakan bunda dan minum air putih banyak nanti juga sembuh sendiri," ujar Sean.
"Kamu nggak apa-apa, Ka?" tanya Gilang menghampiri putra sulungnya.
"Nggak kok, Yah. Cuman kecapean aja," jawab Sean lemas.
"Bener?" Sean mengangguk.
Arsa menepuk pantat Garrel dan menarik laki-laki bertubuh tegap itu ke luar rumah. Ia menyuruh Garrel untuk membungkukkan dirinya agar Arsa sampai dengan telinganya.
"Kalau telfon kak Lia pasti bang Anka langsung sembuh dan nggak manja ke Bunda. Telfonin, bang. Aku mau tidur sama bunda nanti malam, biar bang Anka tidur sama kak Lia aja," bisik Arsa.
Garrel menahan senyumannya karena mendengarkan ucapan Arsa yang sangat polos. "Kak Lia nggak boleh tidur sama bang Anka. Kan, belum nikah. Jadi nggak boleh, Arsa..."
Arsa memiringkan kepalanya. "Masa?"
Garrel mengangguk.
"Ya, udah. Minta ke sini biar aku yang manja ke bunda, bukan bang Anka!"
Garrel mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor Sheila yang entah kemana tenggelamnya. Setelah menemukannya, ia langsung melakukan panggilan telepon dan memberikannya ke Arsa. Tidak lama kemudian, telponnya tersambung dengan sedikit suara berisik.
"Kenapa, Rel?" tanya Sheila saat tersambung.
"Ini Arsa, kak!"
"Lho? Arsa? Kenapa telpon kakak? Ada sesuatu?"
"Bang Anka sakit. Kak Lia mau datang ke sini nggak? Aku mau manja ke Bunda, tapi udah bang Anka ambil."
Sheila terkekeh mendengarnya. "Bang Anka sakit apa?"
"Katanya sih cuman demam, tapi lemes juga badannya."
"Ya, udah. Kak Lia ke sana sekarang. Ini juga lagi di pantai, jadi deket."
"Ngapain di pantai?"
"Main bentar."
Arsa mengangguk paham. "Arsa tunggu ya, kak?"
"Iya."
Setelah memutuskan panggilannya Sheila menoleh ke temannya dengan memasukkan ponselnya ke tas selempangnya. "Gua duluan, ya?"
"Lho? Kenapa?"
"Cowok gua sakit."
Teman Sheila tersenyum jahil dengan menyenggol bahunya berniat menggoda Sheila. "Cieee... Pasti mau ke rumah calon mertua."
Sheila hanya tersenyum menanggapinya dengan mengambil kunci mobilnya di meja. "Bye! Kalau pulang hati-hati. Maaf, gua nggak bisa lama-lama."
"Iya, nggak apa-apa. Lo juga hati-hati."
Sheila mengangguk dan berjalan meninggalkan tempatnya dengan melambai-lambaikan tangannya. Sedikit tidak enak jika ia meninggalkan temannya saat bermain seperti ini. Padahal baru sebentar ia main, ternyata laki-laki yang selalu membuatnya naik darah sedang sakit berbadan lemas, kata Arsa.
Sebelum ke rumah Sean, Sheila sempat membeli roti bakar rasa coklat kesukaan laki-laki tersebut dengan meminta kepada sang penjual untuk coklat dilebihkan sedikit. Setelah membeli roti bakar, Sheila memasuki mobilnya dan membelokkan mobilnya di sebuah kompleks yang tidak jauh darinya.
Tidak memakan waktu lama, Sheila memasukkan mobilnya ke teras rumah Sean dan turun yang langsung disambut oleh Garrel dan Arsa di depan rumah. Dengan wajah sumringah, Arsa berlari ke arah Sheila dan langsung memeluknya.
Sebuah aroma wangi makanan masuk dalam indera penciumannya yang membuat Arsa langsung menoleh ke kantong plastik transparan yang Sheila bawa dengan berisikan kotak yang bertuliskan roti bakar manis.
"Itu apa, kak?" tanya Arsa.
"Roti bakar coklat."
Mata Arsa langsung berbinar menatap roti bakar tersebut dan menunggu Sheila untuk membukanya nanti di dalam rumahnya. Seorang wanita keluar dari rumah dengan wajah tersenyum ke arah Sheila. Niatnya tadi keluar rumah karena mendengarkan suara mobil memasuki daerah pekarangan rumahnya. Ternyata benar, sebuah mobil milik Sheila yang terparkir di sana.
"Kok ke sini nggak bilang-bilang? Kan, Tante belum selesai masak buat makan malam. Biar nanti kita makan bareng-bareng." Sheila tersenyum ke arah Tara dengan menyodorkan kantong plastik yang ia bawa.
"Ini buat Anka, Tante. Katanya lagi demam, jadi Sheila bawain ini. Maaf, ya, Tan? Sheila nggak bilang-bilang dulu." Tara tersenyum menerima roti bakar tersebut.
"Aduh! Kamu datang ke sini sering-sering juga nggak apa-apa. Nanti juga jadi menantu Bunda. Yakan, Rel?" Tatap mata bunda mengarah kepada Garrel yang sedang menggali emas di sana.
"Ha? Oh! Iya, tuh! Bener-bener," jawab Garrel.
Sheila tidak dapat menutup mulutnya karena tidak dapat menahan senyumannya mendengar ucapan Tara. Sedikit salting juga sebenarnya, tapi ia tahan.
"Tante bisa aja," balas Sheila.
"Lho? Kenapa? Kamu nggak mau jadi menantu bunda?" tanya Tara.
"Emhh...mau." Sheila sedikit mengecilkan suaranya karena malu dengan Arsa dan Garrel di hadapannya. Dengan jahil, Tara mendekatkan telinganya dan berpura-pura seolah-olah tidak mendengar Sheila.
"Apa tadi? Tante nggak denger. Kamu denger, Sa?" tanya Tara menatap Arsa.
Dengan polos, Arsa menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Tuh, kan! Arsa aja nggak denger. Tadi kamu ngomong apa?" tanya Tara lagi dengan lebih dekat kepada Sheila.
"Aku mau, Tante!"
Tara menyunggingkan senyumnya, ternyata Sheila mudah dijahili seperti Anka.
Sean dan Gilang keluar dari rumah saat mendengar suara Sheila dari dalam. Di sisi lain, Sean kaget dengan kedatangan Sheila yang tiba-tiba datang tanpa sepengetahuannya. Bukankah tadi Sheila bilang kalau dia akan bermain dengan temannya setelah pulang sekolah? Mengapa sekarang ke rumahnya?
"Nak Sheila ke sini pasti buat Anka, ya?" goda Gilang melirik putra sulungnya. "Nih! Anaknya, abis merengek kayak bayi."
"Bayi? Ayah bilang bayi? Orang segede gini dibilang bayi. Bayi dari mananya coba?" kesal Sean.
"Badannya doang yang gede. Sikapnya enggak." Di sinilah Sean, ia terdiam karena Gilang mengucapkan hal kenyataan tentang dirinya.
"Tahu, tuh! Manja mulu dari tadi. Aku aja belum," balas Arsa tiba-tiba.
"Diem, Cil. Sekali-kali lah Abang, bukan kamu terus," timpal Sean.
"Udah-udah! Sekarang ayo masuk. Masa Sheila harus berdiri di sini terus?" Tara langsung menarik tangan Sheila untuk memasuki rumahnya dan mempersilahkan Sheila duduk.
Garrel, Gilang dan Arsa juga duduk di sofa setelah masuki rumah. Berbeda dengan Sean yang melewati ruang tamu dan menaiki tangga menuju kamarnya karena ingin beristirahat.
"Anka! Kamu mau kemana? Cewek kamu ke sini kok ditinggal?" Tatapan Tara langsung kesal dengan Sean yang seolah-olah tidak memperdulikannya. Padahal tubuhnya sudah lemas dan belum meminum obat pereda demamnya.
"Mau tidur. Aku ngantuk, Bun."
"Oh, iya. Kamu juga belum minum obat. Ya, udah. Kamu ke kamar aja dulu, nanti obatnya bunda anterin."
Sean melanjutkan langkah gontainya menaiki tangga dengan lemas. Tubuhnya terasa remuk dan membutuhkan istirahat. Ia ingin segera membersihkan diri dan langsung tidur. Padahal, perutnya belum terisi apa-apa selain pangsit saat di sekolah tadi.
Tara keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi roti bakar coklat yang Sheila belikan dengan air minum dan obat. Ia menghampiri Sheila dan menyodorkan nampan tersebut ke hadapan gadis tersebut.
"Kamu bawain ke Anka, gih! Sapa tau kamu bisa membujuk dia buat minum obat. Kayak anak kecil kalau minum obat dia, jadi harus ada sedikit paksaan."
Sheila tersenyum kikuk menerima nampan tersebut. Perlahan-lahan ia menaiki tangga dan mengetok kamar bertuliskan "Anka sadboy" yang sengaja Garrel ukir di sana. Jadi tidak akan mudah untuk menghapusnya, kecuali untuk menutupinya dengan sesuatu.
"Buka aja pintunya, nak! Mungkin Anka lagi di kamar mandi," suruh Gilang dari bawah.
Sheila pelan-pelan membuka kenop pintu kamar Sean dan berjalan ke dalam. Ia meletakkan nampan tersebut di sebuah meja kecil di ujung ruangan, lalu duduk di sofa berwarna toska untuk menunggu Sean keluar dari kamar mandi. Benar kata Gilang, Sean sedang di kamar mandi dengan suara gemericik air dari dalam.
Suara helaan nafas dan pintu terbuka dengan Sean yang mengusap-usap wajahnya menggunakan handuk. Ia masih belum menyadari bahwa Sheila berada di dalam kamarnya dengan menatap layar ponsel.
Sheila menoleh saat mencium aroma wangi dari arah kamar mandi. Sosok laki-laki tegap menghadap cermin dan masih belum menyadari keberadaannya ada di sini. Beberapa detik kemudian, suara teriakan dari Sheila langsung membuat Sean mencari sumber suara tersebut dan ikut terkaget.
...••••...
...TBC....