Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Bertemu Mertua.
Ini hari ke tujuh setelah aku minggat dari rumah. Aku tidak tau apakah mertuaku sudah mengetahui kalau aku sudah pergi dari rumah. Biasanya setiap hari minggu mertua akan menyuruh kami ngumpul di rumah. Entah, apa yang akan dilakukan Arbian nanti.
Mungkin dia akan berbohong untuk menutupi kebohongan yang lain. Tidak sulit baginya melakukan itu mengingat selama ini kami telah hidup dalam kebohongan.
Sekali dua kali mungkin Arbian bisa saja berkelit dengan memberi alasan ketak hadiran ku. Atau bisa saja dia memberi alasan lain yang menggiring opini mertua kalau aku telah melakukan kesalahan.
Dimana dia tidak bisa menerima kesalahan itu dan kami berantam. Ah, kenapa malah pikiranku menduga seperti itu. Padahal belum jelas kebenarannya. Walaupun pradugaku itu masuk akal.
Apakah Ibu mertua seminggu terakhir ini tidak pernah menghubungiku? Mengingat beliau kerap meneleponku walau hanya sekedar menanya khabar. Sebab aku telah memblokir mereka.
Aku sangat penasaran, ingin tahu keributan seperti apa yang terjadi di rumah itu setelah aku pergi. Aku berharap kepergianku tidak akan menimbulkan kejadian yang fatal terutama untuk kesehatan Bapak dan Ibu mertua.
***
Siang yang terik Uly mengajakku ke toko penjual emas. Katanya dia mau melihat-lihat koleksi cincin pertunangan.
"Kamu mau menikah ya, Ly. Duh, selamat ya." Aku memeluk hangat Uly. Akhirnya Pramono melamarnya juga. Aku sangat senang mendengar kabar bahagia itu.
"Makasih dukungan kamu ya, Ra. Aku juga berdoa semoga masalah kamu cepat selesai." Aku mengaminkan ucapan Uly dalam hati.
Disaat kami tengah asyik, melihat-lihat beberapa koleksi perhiasan yang dipajang di etalase. Aku mendengar suara seseorang memanggilku. Dan belum sempat aku menoleh, rambut ikalku telah ditarik dari belakang.
Aku menjerit kesakitan sekaligus heran siapa orang yang iseng melakukan hal itu.
"Dasar perempuan jalang. Gegara kamu Gladys dan Arbian berantam!" maki orang itu. Dengan rambut masih dipegangin orang asing itu aku berbalik. Belum pulih rasa kagetku lengannya yang satu lagi hendak menamparku.
Spontan Uly menangkap lengan itu dan memelintirnya, sehingga rambutku terlepas dari perempuan itu.
"Sinting kamu ya! Tanpa angin beraninya menjambak rambutku. Kenal saja tidak!" makiku pada perempuan itu. Tapi mengingat perkataannya mungkin dia adalah anteknya, Gladys.
"Hem, tidak perlu saling kenal. Tapi aku tau siapa kamu. Kamu itu perebut kekasih orang!" serunya geram.
"Oh, jadi kamu ini pesuruh Gladys ya? Dasar pengecut." makiku keras. Aku merasakan kulit kepalaku perih bekas jambakannya.
"Aku temannya. Aku geram dengan kelakuan kamu." semburnya.
"Dasar tolol! Kalau Arbian tidak suka lagi sama Gladys, kok kamu yang sewot. Arbian adalah suamiku. Berarti Gladys lah yang jadi pelakor. Sudah tau orangnya menikah masih saja menggoda suami orang."
"Justru kamulah yang tolol. Mau-maunya dijadikan istri pajangan." Aku benar-benar bingung. Berani sekali wanita itu mengamuk samaku padahal aku tidak punya masalah dengannya. Kenal saja pun tidak. Hanya karena dia temannya Gladys, dia punya hak apa berlaku begitu padaku.
Emosiku naik ke ubun-ubun. Ingin balik menjambak rambutnya itu. Seperti yang dia lakukan padaku.
"Ada urusan apa kamu samaku, hah! Kenal juga tidak, tapi beraninya menjambak rambutku."
"Aku temannya Gladys. Sesama teman wajib dong saling suport." decih nya meremehkan.
"Teman, ya teman tapi gak gini juga cara kamu. Aku tuntut kamu biar tau rasa. Lagian itu aku istri sahnya Arbian. Kamu mau bilang apa. Tuh, temanmu itulah yang pelakor. Mestinya dia yang kau jambak karena masih menggoda suami aku. Kayak gak ada saja lelaki lain di dunia ini." semprotku sehinga menarik perhatian orang yang lalu lalang.
Heran, kemarin bertemu Gladys, berantem gegara Arbian. Eh, ini bertemu temannya aku harus berantem juga karena orang yang sama. Apa kalau esok lusa ketemu keluarganya Gladys aku juga harus berurusan dengan mereka. Huh, menyebalkan sekali. Perkara begini jadi semua orang tahu masalah rumah tanggaku
"Mau apa kamu hah, mau memviralkan masalah ini ya? Emang kamu akan dapat apa dari masalah orang lain, hah!" semprotku pada teman Gladys yang lain. Karena dia meliput kejadian itu. Yang membuatku khawatir adalah vidio itu akan ketahuan sama keluarga mertua.
"Iya, biar semua orang tau kalau kamu itu pelakor! Aku buat siaran langsung ini. Hahaha ...." Perempuan itu tertawa puas.
"Kamu pikir hal ini akan menolong Gladys? Justru sikap kalian ini akan memperi buruk namanya di depan keluarga mertuaku. Selamanya Gladys tidak akan diterima, dan bisa saja Arbian juga akan marah!" ucapku tersenyum puas. Mendadak wajah keduanya pucat.
Sikap mereka memang berlebihan. Mungkin saja Gladys juga tidak menyukai tindakan sahabatnya ini. Atau memang semua ini atas suruhannya? Sungguh naif bila memang benar Gladys yang mendalangi semua ini.
"Ayo, Ly, biar saja mereka nikmati hasil perbuatan mereka. " aku menarik lengan Uly untuk berlalu dari tempat itu.
"Kita pulang saja, Ra. Moodku udah hilang gegara orang gila tadi." Uly membatalkan rencana mencari cincin pertunangannya.
"Heran, segitunya ya solidaritas pertemanan mereka. Aku salut juga, hanya saja salah kaprah," timpalku menyesalkan sikap mereka.
"Iya, padahal mereka gak tau apa-apa masalahnya, tapi sok-sokan jadi pahlawan."
"Rania!" sebuah suara memanggilku lagi. Aku mendadak gemetar karena mengenali suara itu.
Astaga, hal yang aku takutkan tiba juga. Ternyata ibu mertua berada di tempat ini. Apakah ibu mertua juga melihat kejadian tadi.
Aku berbalik ke arah sumber suara itu. Dugaanku tidak salah. Yang memanggilku adalah ibu mertua. Dia bersama Mery.
"Eh, Inang ngapain disini?" ucapku pura-pura tenang.
"Inang habis belanja. Kenapa disana rame?" Ibu mertua menunjuk dengan dagunya ke arah keramaian dibelakangku.
"Eh, gak tau Inang," sahutku gugup.
"Bukannya Kakak dari arah sana," timpal Mery.
"Eh, i-iya. Tapi kami cuma lewat saja tadi."
"Oh, kapan kamu pulang dari kampung? Arbi bilang kamu pulang kampung. Kok gak ngomong sama Inang. Biar nitip oleh-oleh sama keluarga disana."
Ofs! Seperti dugaanku kalau Arbi menutupi hal yang terjadi pada kami. Aku tidak tau harus menjawab apa. Aku sudah lelah untuk berbohong lagi. Kalau ibu mertua sudah tau masalah kami, tidak mungkin Ibu mertua diam saja. Pastinya beliau akan bertanya banyak hal.
"Ayo, sama-sama belanja sama Inang." Ibu mertua mengalihkan topik, dan mengajakku bersamanya. Tapi kutolak dengan halus.
"Rania mau bantu teman belanja, Inang." Mengenalkan Uly pada ibu mertua. Ibu mertua akhirnya tidak memaksaku lagi.
"Kalau begitu, Inang pergi ya. Ayo Mer." Aku menghela nafas lega karena ibu mertua dan adik ipar berlalu tanpa curiga sama sekali.
"Jadi itu Ibu mertua kamu, Ra. Dari tatapannya sepertinya beliau sayang sama kamu."
"Iya, Ly, makanya aku selalu merasa bersalah."
"Bukan salahmu, Ra. Terkadang pernikahan karena perjodohan itu tidak baik. Apalagi di zaman sekarang ini."
"Kak Rania tunggu sebentar!" Teriak Mery seraya berlari ke arahku, "kakak ganti nomor ya. Kenapa gak bisa Mery hubungi?" ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor