Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Aku jemput Icha dulu ya," pamit pria itu mengingat waktu sudah sore.
"Iya Mas," jawab Nahla seraya membongkar koper miliknya. Siap dipindahkan ke koper yang sudah tersedia untuknya.
Banyak barang Nahla yang masih ditinggal di rumah, mungkin akan mengambilnya nanti secara bertahap.
Perempuan itu tengah memindai pakaian miliknya ketika Icha berseru memanggil namanya.
"Mama!" panggil gadis itu berhambur memeluk tubuhnya.
"Hai, hallo sayang, dari rumah mbok?" tanya Nahla menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Iya, biasanya kan gitu, asyik ... mulai sekarang mama nginep di sini kan? Icha nggak kesepian lagi," ujarnya girang.
"Iya, mama nginep di sini, sebentar ya mama beresin ini dulu," ujar Nahla kembali sibuk menata barang miliknya.
Sepanjang perempuan itu sibuk dengan pakaiannya, Icha bersemangat menceritakan kegiatannya tadi di sekolah. Sementara Hanan belum terlihat masuk ke kamarnya. Entahlah pria itu ke mana.
"Ma, udah? Ke kamar Icha yuk!" ajak gadis kecil itu bersemangat sekali.
"Iya," ujar Nahla mengiyakan.
Keduanya beranjak ke kamar Icha. Diam-diam Nahla mencari sosok suaminya. Ke mana pria itu berada, kenapa tiba-tiba menghilang.
"Ma, tadi Icha belajar ini, bagus nggak Ma gambar Icha?" Gadis kecil itu menunjukkan hasil karyanya mewarnai di sekolah.
"Iya bagus sayang. Icha, mama mandi dulu ya, sudah sore juga," ujar Nahla perlu ke kamar mandi.
Perempuan itu baru saja keluar dari kamar Icha ketika Hanan menghampiri.
"Eh, Mas, dari mana?" tanya perempuan itu masih saja canggung.
"Ada, tadi di belakang. Kamu?" tanya pria itu menatapnya lembut.
"Hmm ... mau mandi dulu Mas, belum sempat kan tadi," ujarnya beranjak.
"Iya, kamu duluan aja, aku juga mau mandi juga," sahut Hanan lalu ikut beranjak ke kamar mandi.
"Kamu duluan aja Mas, aku nanti aja juga nggak pa-pa," ujarnya bingung masih serba canggung.
Hanan menimpali dengan senyuman.
"Udah sore gini, mending kamu duluan." Keduanya malah saling mempersilahkan masing-masing. Akhirnya Nahla lebih dulu mandi. Sebelumnya lebih dulu memboyong ganti.
Sementara Hanan menanti sembari bersibuk ria dengan laptopnya. Pria itu menoleh dengan senyuman saat Nahla keluar dari kamar mandi. Menatap mahkota istrinya yang setengah basah terlilit handuk.
"A-aku udah Mas, giliran kamu," ujarnya bingung juga.
"Bentar lagi, nanggung," jawab pria itu masih betah berlama-lama menatapnya. Membuat Nahla makin salting saja.
"Mmm ... aku siapin gantinya ya," ucapnya mengalihkan suasana entah.
"Boleh," jawab pria itu sembari beranjak.
Seketika Nahla bernapas lega mendapati Hanan masuk ke kamar mandi. Perempuan itu hendak menyisir rambutnya, tetapi malu. Baru juga mau melepas handuk di kepalanya, Hanan kembali keluar. Membuat Nahla mengurungkan niatnya.
"Kenapa Mas?" tanya Nahla kebingungan sendiri.
"Ini," ujarnya mengeluarkan beberapa lembaran uang merah dari sakunya. Menaruhnya begitu saja di nakas, lalu beranjak lagi ke kamar mandi.
Nahla cukup leluasa di depan meja rias saat Hanan ada di dalam kamar mandi. Setelah lebih dulu menyiapkan ganti untuk suaminya yang pertama kalinya, Nahla keluar kamar. Bingung juga mau ngapain? Ia pun kembali ke kamar Icha.
"Icha, kalau malam biasanya makan di rumah? Mama masakin ya?"
"Malam Icha jarang makan Ma, paling sore sama simbok, papa juga jarang makan malam," jawab gadis itu sesuai kebiasaan seharinya.
"Owh gitu, biasanya papa dan Icha suka makan apa?"
"Aku udah pesan buat makan malam, nanti disiapin aja. Kamu bisa masak?" tanya Hanan masih sedikit bingung hendak meminta tolong ini itu.
"Bisa, dikit-dikit. Kalau mau coba masakan aku besok berarti ya."
"Boleh, kalau sekarang minta dibuatin kopi dulu bagaimana?"
"Iya Mas," jawab Nahla bergegas.
"Ma, aku mau susu," ujar Icha ikut menyahut.
"Iya," jawab Nahla beranjak ke dapur.
Perempuan itu menuju pantry, mencari gula dan kopi. Tak lupa menyeduh susu untuk Icha.
"Ini pesanananya udah datang, tolong disiapin Dek," ujar pria itu membawanya ke dapur.
Hanan membawa kopi yang telah diseduh ke depan. Sementara Nahla menyiapkan makan malam. Lalu membawanya ke meja di mana Hanan dan Icha sudah menunggu.
"Sini Ma, makasih," jawab gadis itu menerima susu dari tangan ibunya.
"Aku ambil sendiri aja nggak pa-pa," tolak Hanan saat perempuan itu hendak mengambilkan menu untuknya.
"Owh ... iya Mas," sahut Nahla hanya berinisiatif sendiri. Sering melihat Ibuk suka mengambilkan untuk bapak. Belum terbiasa, agar nantinya tidak salah kaprah dalam menjalani rumah tangga yang baru akan dimulai ini.
"Makan Dek, nggak suka dengan menunya?" tanya Hanan melihat istrinya malah melamun.
"Suka Mas," jawabnya kembali menyuap perlahan. Teringat saja saat jam segini tengah bersantap malam bersama bapak, ibuk, dan Tio, penuh canda tawa. Sekarang tak lagi bersama mereka, melainkan dengan keluarga kecilnya. Mendadak merasa rindu, masih terbayang-bayang kebiasaan di rumah.
Usai makan malam Nahla mengemas piring kotor ke dapur.
"Taruh saja, besok ada simbok yang beresin. Mending kamu temani Icha ke kamar, dia udah nungguin," ucap pria itu menghampiri Nahla yang masih sibuk di dapur.
"Iya Mas." Nahla lekas mencuci tangannya, lalu beranjak ke kamar Icha.
"Aku tunggu di kamar ya, nanti nyusul aja kalau Icha sudah tidur," ujarnya beranjak lebih dulu.
Nahla mengiyakan, menemani Icha yang malam itu berantusias sekali ditemani ibu barunya.
"Mama tidur di sini?" tanya gadis kecil itu berbinar senang.
"Iya, ayo tidur," ujar Nahla sembari menina bobok putrinya.
Jarum jam pendek sudah menunjuk di angka sebelas, niat hati hendak menyusul ke kamar Mas Hanan, tetapi perempuan itu malah bingung sendiri.
"Pindah nggak ya, duh ... kenapa Mas Hanan nggak jemput aku juga."
Lama berpikir, tanpa sadar Nahla ketiduran di kasur Icha hingga pagi menyapa. Hanan juga tidak mengunjungi kamar putrinya hingga pagi. Gadis itu terjaga saat subuh, bingung tetapi ditahan-tahan.
"Udah bangun?" tanya Hanan baru saja mengganti baju.
"Iya, maaf Mas, aku ketiduran," jawab Nahla benar adanya.
"Nggak pa-pa kok, kamu bersih-bersih dulu, aku tunggu, kita jamaah subuh ya," ujar pria itu sudah siap menggelar dua sajadah sekaligus.
Nahla langsung masuk ke kamar mandi, tidak keramas jadi cepat saja. Bergegas mengisi sajadah yang telah digelar setelah memakai pakaian rapih.
Usai sholat pria itu menghadap Nahla yang masih sibuk melipat mukena.
"Nanti pulang sekolah langsung ke rumah ya, aku nggak bisa jemput, dan mungkin pulangnya agak malam. Aku titip Icha," pesan pria itu lalu bersiap ke kantor. Begitu pun dengan Nahla yang bersiap mengajar. Sekalian berangkat mengantar Icha lebih dulu, lalu mengantar istrinya.
"Eh, ya ini untuk kamu, boleh dipakai nanti malam saja," ujar pria itu memberikan sesuatu sebelum berangkat.
"Iya Mas," jawab Nahla menepikan paper bag tersebut tanpa memperhatikan isinya lebih dulu. Ia akan memakainya nanti malam sesuai pesannya.