Zyan, seorang agen yang sering mengemban misi rahasia negara. Namun misi terakhirnya gagal, dan menyebabkan kematian anggota timnya. Kegagalan misi membuat status dirinya dan sisa anggota timnya di non-aktifkan. Bukan hanya itu, mereka juga diburu dan dimusnahkan demi menutupi kebenaran.
Sebagai satu-satunya penyintas, Zyan diungsikan ke luar pulau, jauh dari Ibu Kota. Namun peristiwa naas kembali terjadi dan memaksa dirinya kembali terjun ke lapangan. Statusnya sebagai agen rahasia kembali diaktifkan. Bersama anggota baru, dia berusaha menguak misteri yang selama ini belum terpecahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Payback Time
Setelah dari Balai Kota, Nisa melanjutkan perjalanan menggunakan taksi yang ditumpanginya tadi. Sekarang wanita itu menuju kantor suaminya. Taksi yang ditumpangi Nisa berhenti di depan lobi kantor PT. Exim Perkasa. Nisa keluar dari dalam taksi lalu memasuki lobi dengan kepala tegak. Semua yang ada di lobi langsung mengenali Nyonya Barly tersebut. Namun mereka terkejut melihat wajah Nisa yang penuh dengan memar. Mata Nisa juga bengkak sebelah dan di sekelilingnya terdapat lebam.
Tanpa mempedulikan pandangan semua orang, Nisa terus berjalan menuju lift yang ada di samping kiri meja resepsionis. Tak lama kemudian kotak besi yang dimasuki Nisa bergerak naik. Suasana lantai di mana ruangan Barly nampak hening. Hanya ketukan suara sepatu Nisa yang mengisi ruangan. Di depan pintu ruangan Barly, terlihat sekretaris pria itu duduk di depan meja kerjanya.
"Bu Nisa," sapa sang sekretaris. Wanita itu terkejut melihat wajah Nisa yang penuh dengan lebam.
"Apa Pak Barly ada?"
"Bapak sedang rapat."
"Katakan padanya, saya menunggu di ruang kerjanya."
"Baik, Bu. Ehm.. luka di wajah Ibu, mau mau saya ambilkan obat?"
"Tidak usah. Aku mau suamiku melihat hasil karyanya padaku."
Jawaban Nisa karuan membuat sang sekretaris terkejut. Tanpa menunggu lama Nisa segera masuk ke ruangan suaminya. Begitu Nisa masuk, sekretaris Barly segera menuju ruangan meeting untuk memberitahukan kedatangan Nisa. Sementara di dalam ruangan, Nisa mengeluarkan kamera kecil yang dibawanya dari rumah tadi, lalu menaruhnya di antara deretan buku yang terpajang. Kemudian wanita itu menaruh alat penyadap di bawah meja kerja suaminya.
Setelah melakukan itu, Nisa berjalan menuju sofa lalu mendudukkan dirinya di sana. Di saat bersamaan sekretaris Barly datang membawakan minuman untuk istri atasannya.
"Silakan diminum, Bu. Pak Barly sebentar lagi akan ke sini."
"Terima kasih."
Setelah mendapat kabar akan kedatangan Nisa, Barly segera mengakhiri rapat. Pria itu bergegas menuju ruangannya. Langkah kakinya tertahan ketika ponselnya berdering. Melihat panggilan dari sang ayah, dengan cepat Barly menjawab panggilan.
"Iya, Pa."
"Kemana saja kamu? Kenapa baru diangkat teleponnya?!" sembur Marwan dari seberang.
"Aku sedang rapat, Pa."
"Tadi Nisa datang ke sini. Dia datang dengan wajah babak belur. Kamu yang melakukannya?"
"Iya, Pa. Aku terpancing emosi."
"Dasar bodoh! Dia datang ke sini dan mempermalukan Papa. Dia juga bilang akan menggugat cerai dirimu."
"Papa tenang saja, dia memang mengajukan banding. Tapi aku pastikan usahanya akan gagal lagi."
"Dia punya video saat kamu memukulinya. Papa tidak mau tahu, kamu urus masalah ini. Jangan sampai kamu kehilangan kesempatan mendapatkan tanah Amma! Kalau kamu sudah mendapatkannya, baru kamu boleh membuangnya!"
"Baik, Pa."
Panggilan diputuskan secara sepihak oleh Marwan. Barly mengusap wajahnya kasar. Tidak disangka Nisa berhasil melarikan diri dari rumah. Sepertinya dia terlalu meremehkan istrinya itu. Dengan langkah panjang pria itu berjalan menuju ruangannya. Sesampainya di sana, dibukanya pintu ruangan dengan kasar. Matanya langsung tertuju pada Nisa yang tengah duduk tenang di sofa.
"Nisa!!"
Mata Barly membulat ketika melihat pada istrinya. Wajahnya memerah dan rahangnya mengeras, menahan amarah yang sudah di ubun-ubun. Dengan santai Nisa bangun dari duduknya lalu mendekati Barly.
"Bagaimana kamu bisa keluar dari rumah?"
"Mengunciku di kamar dan rumah, itu hanya trik murahan."
"Kenapa kamu ke kantor Papa? Apa kamu sengaja?"
"Tentu saja. Papamu harus melihat hasil karya anaknya padaku. Terima kasih sudah menyiksaku. Aku jadi punya alasan kuat untuk menceraikanmu."
"Jangan harap kamu bisa bercerai dariku!"
"Kamu harus berusaha lebih keras kalau mau mencegah perceraian kita. Aku tidak akan tinggal di rumahmu lagi. Jangan mencariku lagi. Kita hanya akan bertemu di pengadilan!"
"Nisa!!"
Tanpa mempedulikan teriakan Barly, Nisa melewati pria itu dan bermaksud keluar ruangan. Namun belum sempat tangan Nisa menyentuh gagang pintu, Barly lebih dulu menahan Nisa. Dia menahan pundak Nisa dengan kuat. Nisa langsung menarik tangan Barly ke depan lalu menekannya ke bawah. Terdengar teriakan Barly ketika merasakan sakit di tangannya. Tidak berhenti sampai di situ, Nisa menarik tangan Barly dan dengan kekuatan bahunya dia membanting Barly ke lantai.
"Aaarrrggghhh!!!"
Sekretaris Barly bisa mendengar teriakan pria itu dari balik pintu. Wanita itu mulai merasa cemas. Takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, dia segera menghubungi security. Sementara di dalam, Nisa masih belum puas melampiaskan emosinya. Wanita itu membalik tubuh Barly seraya menarik tangan pria itu ke belakang. Lagi-lagi terdengar teriakan Barly. Namun Nisa menulikan telinganya. Kakinya menjejak punggung Barly dengan kencang.
"Lepaskan aku! Lepaskan!!"
"Kamu sudah salah bermain-main denganku, Barly. Selama ini aku mencoba bersabar dengan semua sikapmu. Tapi kesabaranku sudah habis. Kalau tadi kamu memukuliku karena aku membiarkannya. Jangan kamu pikir kalau aku ini perempuan lemah. Sama seperti aku yang tidak tahu sifat aslimu yang busuk. Kamu juga tidak sepenuhnya tahu tentangku. Aku bisa menjadi malaikat maut untuk orang seperti mu. Jangan mengganggu hidupku lagi atau aku akan mengirim mu bertemu malaikat maut!!"
Dengan kasar Nisa melepaskan pegangannya di tangan Barly. Wanita itu kemudian keluar dari ruangan suaminya. Sang sekretaris terkejut ketika melihat Nisa keluar dengan tenangnya. Dari sela-sela pintu yang terbuka, dia bisa melihat Barly tengah terkapar di lantai. Terdengar rintihan pria itu ketika merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Sang sekretaris segera masuk ke dalam ruangan lalu membantu Barly berdiri. Terdengar teriakan kencang pria itu memaki Nisa. Sementara orang yang dimaki sudah meninggalkan kantor dengan tenang. Perasaan Nisa sedikit lega setelah membalas perbuatan Barly padanya. Namun pembalasan sebenarnya akan dimulai saat sidang perceraian mereka nanti.
***
"Bang.. Abang harus lihat ini."
Armin langsung meminta Zyan melihat rekaman di mana Nisa dipukuli oleh Barly. Pria itu terkejut melihat wajah Zyan yang penuh dengan memar. Bergegas dia mengambil handuk kecil kemudian menaruh es di atasnya. Armin menggulung handuk tersebut lalu memberikannya pada Zyan.
"Apa yang terjadi?"
"Panjang ceritanya. Apa yang terjadi?"
"Barly sepertinya menyiksa Nisa."
"Apa?"
Zyan langsung melihat rekaman kamera yang langsung terhubung pada komputer Zyan. Rahang pria itu mengeras melihat adegan yang terpampang di layar komputer. Pria itu meletakkan begitu saja handuk kecil yang dipakai mengompres. Dia langsung menyambar kunci mobil yang tergantung di dinding. Dia ingin menjemput Nisa di kediaman Barly. Namun sebelum pria itu pergi, Nisa sudah datang lebih dulu.
"Bang.."
"Nisa, kamu tidak apa-apa?"
Dipandanginya Nisa dari atas sampai bawah. Wajah wanita itu penuh dengan lebam. Sebelah matanya nampak membiru. Perasaan Zyan sakit melihat wanita yang dicintainya sudah dilukai oleh pria yang menjadi suaminya.
"Barly yang melakukan ini?"
"Iya."
"Brengsek! Aku tidak akan melepaskannya. Aku akan membunuhnya!"
"Bang.. tenang dulu."
"Tenang? Bagaimana aku bisa tenang? Kenapa kamu hanya diam saja? Bukankah aku sudah mengajarkan mu cara melindungi diri? Lihat bagaimana keadaan mu sekarang."
"Aku baik-baik saja. Abang jangan emosi begini. Ayo duduk dulu."
Sebisa mungkin Nisa menenangkan Zyan yang sudah terbakar emosi. Pria itu akhirnya mendudukkan diri di sofa disusul oleh Nisa. Armin memasang headphone ke telinganya. Dia tidak ingin menguping pembicaraan antara Nisa dan Zyan.
"Aku sengaja membiarkan Barly memukulku."
"Kenapa?"
"Aku butuh bukti kuat saat di persidangan nanti. Abang tahu kalau aku mengajukan banding atas putusan kemarin. Dengan adanya rekaman saat dia memukulku dan visum dari dokter, Hakim tidak bisa mengabaikan semua bukti. Aku harus bercerai darinya, harus!"
"Tapi tidak dengan cara kamu menyakiti dirimu sendiri seperti ini."
"Aku baik-baik saja. Luka fisik yang kualami tidak sesakit luka batin yang dia torehkan padaku."
"Ini terakhir kalinya kamu mengambil keputusan gegabah seperti ini. Aku tidak mau kamu melukai dirimu lagi."
"Iya, Bang. Maafkan aku sudah membuat Abang cemas."
Keduanya saling bertatapan selama beberapa detik sebelum akhirnya Nisa memutus pandangan lebih dulu. Setiap berdekatan dengan Zyan, detak jantungnya tidak karuan. Ternyata cintanya untuk Zyan masih bersemayam di dalam hatinya. Melihat Zyan yang begitu mengkhawatirkan, terbersit harapan di hati Nisa kalau pria itu memiliki perasaan yang sama dengannya.
"Bang.. apa bukti hasil tes DNA masih ada?"
"Masih."
"Aku akan melampirkan bukti itu selain bukti KDRT. Tapi aku mengkhawatirkan Hakim yang akan menangani persidanganku nanti. Barly pasti akan menyuap Hakim yang bertugas lagi seperti yang dilakukannya kemarin."
"Kamu tenang saja. Masalah Hakim yang bertugas biar menjadi urusanku. Kamu fokus saja pada persidangan mu."
"Baik, Bang."
"Lebih baik kamu istirahat sekarang. Obati luka-luka mu. Jangan lupa minum obat pereda nyeri."
"Iya, Bang. Dokter sudah memberikan obat untukku. Abang tenang saja."
Nisa segera bangun dari duduknya. Sebelum pergi dia melihat pada Armin yang tengah sibuk dengan komputernya.
"Armin!"
Sayup-sayup Armin mendengar Nisa memanggilnya. Pria itu segera melepaskan headphone dari kepalanya lalu menoleh pada Nisa.
"Setelah aku menyerahkan bukti di persidangan, bisakah kamu mengirimkan semua bukti yang ku punya tentang Barly ke media sosial?"
"Bisa. Tenang saja, aku akan melakukannya."
"Apa kamu bisa mendapatkan bukti kalau dia juga berselingkuh dengan perempuan lain?"
"Sebenarnya aku sudah mendapatkannya."
"Kalau begitu sebarkan! Aku akan membuat nama baiknya hancur, seperti dia menghancurkan nama baik Amma. Buat artikel yang menyudutkannya. Dan jangan lupa untuk menyeret nama Marwan juga. Mereka harus membayar perbuatan mereka."
"Oke bos!"
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Nisa segera meninggalkan ruang bawah tanah diikuti oleh Zyan. Pria itu bermaksud mengantarkan Nisa kembali ke rumah Amma.
"Nisa, kematian Amma tidak sesederhana yang kita kira. Apa kamu tahu kalau Amma termasuk salah satu orang yang menentang pembukaan kasino?"
"Kasino? Di mana?"
"Ada kasino di hotel Blue Lagoon. Semua orang yang menentang disingkirkan oleh Marwan. Aku yakin ada orang berkuasa yang membantunya. Tapi khusus untuk kasus Amma, ada alasan lain kenapa mereka harus menghabisi Amma. Sepertinya mereka mengincar tanah Amma. Apa Amma pernah mengatakan sesuatu soal tanah?"
"Setahuku memang pernah ada orang yang datang dan ingin membeli tanah Amma. Tapi Amma menolak. Beberapa hari setelahnya, insiden yang disebabkan Vina terjadi."
"Apa kamu tahu siapa mereka?"
"Tidak."
Percakapan mereka terhenti ketika ponsel Zyan berdering. Dilihatnya sang pemanggil adalah Armin. Zyan segera menjawab panggilan pria itu.
"Ada apa?"
"Cepat ke sini, Bang. Aku menemukan rekaman saat Amma melihat tanah yang ada bagian belakang pondok. Tanah yang berbatasan langsung dengan tanah orang lain."
"Baiklah," Zyan segera mengakhiri panggilan.
"Nisa, aku harus kembali."
"Kembalilah. Aku bisa sendiri."
"Jangan lupa obati lukamu."
Nisa menganggukkan kepalanya. Zyan bergegas kembali ke ruangan bawah tanah. Dia segera menghampiri Armin. Pria itu langsung memperlihatkan rekaman cctv yang menangkap Amma meninggalkan bagian belakang pondok. Wajah pria itu terlihat gusar dan juga tegang.
***
Amma lihat apa ya?