Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Status Hak Asuh Steven
Tuan Abraham duduk di ruang kerja pribadinya, menatap tajam ke arah seorang pria paruh baya yang mengenakan setelan formal.
Ia adalah pengacara pribadi keluarga Abraham, seseorang yang telah lama menangani berbagai urusan hukum mereka.
“Aku ingin kau mengurus hak asuh Steven,” perintah Tuan Abraham dengan suara dingin dan tegas. “Pastikan nama cucuku itu dicantumkan secara sah dalam dokumen keluarga kami.”
Pengacara itu mengangguk, tetapi sebelum ia bisa menjawab, Joseph yang sejak tadi duduk di sofa dengan wajah tegang langsung menyela.
“Ayah, untuk apa melakukan ini? Steven bukan anak kandungku. Aku tidak punya hak untuk mempertahankannya.”
Tuan Abraham mengalihkan tatapannya ke Joseph, sorot matanya menusuk.
“Jadi kau ingin membiarkan bocah itu terlantar begitu saja? Setelah kau membesarkannya selama ini?”
Joseph menghela napas panjang. “Aku mencintai Steven, Ayah. Tapi aku tidak bisa terus berbohong. Aku bukan ayah kandungnya.”
“Kau memang bukan,” ujar Tuan Abraham dengan nada tajam. “Tapi dia tetap keluarga kita. Dan aku tidak akan membiarkan Jessica mengambilnya.”
Mendadak suasana hening sejenak.
Lalu, suara lembut tapi tegas terdengar dari sisi lain ruangan.
“Aku yang akan menjadi orang tua asuhnya.”
Semua mata tertuju pada Erika, anak tertua keluarga Abraham yang selama ini lebih banyak diam dalam konflik ini. Wanita itu berdiri anggun dengan ekspresi penuh ketegasan.
“Steven sudah seperti anakku sendiri,” lanjut Erika. “Jika Joey menolak, aku akan mengambil tanggung jawab ini.”
Tuan Abraham menatap putrinya selama beberapa detik, lalu mengangguk puas.
“Baik. Mulai sekarang, Steven adalah anakmu secara hukum.”
Joseph menatap Erika dengan sorot mata penuh rasa bersalah.
“Kau yakin, Ce?”
Erika tersenyum tipis. “Steven butuh keluarga. Aku akan memastikan dia tetap mendapatkan kasih sayang yang pantas.”
***
Di sebuah kelab malam eksklusif, musik berdentum keras, lampu-lampu warna-warni berkedip-kedip, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal memenuhi udara.
Jessica duduk di sudut VIP, mengenakan gaun hitam ketat dengan belahan tinggi. Di tangannya, segelas martini yang hampir habis berputar pelan di antara jemarinya.
Malam ini, ia berusaha melupakan semua penghinaan yang diterimanya dari keluarga Abraham.
Tapi tampaknya, ketenangannya tidak akan berlangsung lama.
Seorang pria bertubuh kekar dengan rahang tegas dan mata tajam tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Jessica,” suara pria itu dalam dan berat.
Jessica mendongak dengan alis terangkat.
“Siapa kau?”
Pria itu menarik kursi di depannya tanpa diundang, lalu mencondongkan tubuh ke depan.
“Aku datang untuk memberimu peringatan.”
Jessica tertawa sinis. “Peringatan? Dari siapa?”
Pria itu menyeringai. “Dari keluarga Abraham.”
Senyuman Jessica seketika memudar.
Pria itu bersandar ke belakang, menyilangkan tangan di dada.
“Kau sudah cukup membuat kekacauan, Jessica. Menjebak Joseph, berpura-pura mati, lalu tiba-tiba kembali dan mencoba merebut Steven. Kau pikir kau bisa lolos begitu saja?”
Jessica mencengkeram gelasnya lebih erat.
“Keluarga Abraham tidak bisa mengatur hidupku!”
Pria itu tertawa kecil. “Oh, kau salah besar. Tuan Abraham bisa melakukan lebih dari yang kau bayangkan.”
Jessica menggertakkan giginya. “Apa yang kau mau?”
Pria itu mencondongkan tubuh ke depan lagi, suaranya lebih rendah dan mengancam.
“Aku ingin kau menjauh. Hapus nama Steven dari daftar keinginanmu, dan jangan pernah berpikir untuk kembali ke kehidupan mereka.”
Jessica menatapnya tajam. “Kalau aku menolak?”
Pria itu tersenyum miring. “Maka kau akan menghadapi konsekuensinya.”
Saat itu, seorang pelayan tanpa sengaja menumpahkan segelas sampanye ke gaun mahal Jessica.
“Astaga! Apa kau buta?!” Jessica berteriak, berdiri dengan panik.
Namun, bukannya membantu, pelayan itu justru menunduk ketakutan. Beberapa orang di sekitar mulai memperhatikan keributan itu.
Pria di depannya tertawa kecil. “Lihat? Bahkan dunia sudah mulai tidak berpihak padamu, Jessica.”
Jessica mendelik tajam, tetapi pria itu sudah bangkit dari kursinya.
“Pertimbangkan peringatanku baik-baik,” katanya sebelum melangkah pergi, meninggalkan Jessica yang berdiri dengan wajah merah padam di tengah sorotan mata pengunjung lainnya.
Malam ini, harga dirinya benar-benar jatuh.
***
Hari itu, langit biru cerah menaungi kota. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membawa aroma wangi bunga yang bermekaran di sepanjang jalan menuju taman kanak-kanak tempat Steven bersekolah.
Marsha berdiri di dekat gerbang sekolah, mengenakan dress sederhana berwarna pastel yang membuatnya terlihat begitu anggun.
Wajahnya dipenuhi senyuman hangat ketika melihat bocah kecil berambut cokelat itu berlarian keluar bersama teman-temannya.
"Steven!" serunya dengan suara riang.
Bocah itu berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah suara yang begitu familiar. Mata bulatnya membesar, dan dalam hitungan detik, ia berlari ke arah Marsha dengan penuh semangat.
"Mama Marsha!" Steven melompat ke pelukan wanita itu.
Marsha terkekeh, memeluknya erat.
“Surprise! Aku menjemputmu hari ini.”
Steven tertawa kecil, matanya berbinar-binar.
“Benarkah? Aku pikir Paman Gio atau Tante Erika yang akan datang.”
“Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu.” Marsha mengusap lembut rambut bocah itu.
“Bagaimana kalau kita pergi makan es krim?”
Steven mengangguk antusias. “Aku mau es krim cokelat!”
Marsha tersenyum dan menggandeng tangan Steven, bersiap membawa bocah itu ke mobil.
Namun, langkah mereka terhenti ketika sebuah suara tajam menggema.
“Kau tidak punya hak membawa anakku!”
Marsha terkejut. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita bertubuh tinggi dengan gaun mewah berdiri tak jauh darinya. Jessica.
Wanita itu mengenakan kacamata hitam besar, tetapi Marsha bisa merasakan tatapan tajam penuh kebencian dari balik lensa gelapnya.
“Jessica?” Marsha mengernyit. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Jessica melangkah cepat ke arah mereka.
“Aku datang untuk menjemput anakku. Dan kau—” matanya menyipit penuh amarah, “—tidak punya hak ikut campur dalam hidupnya!”
Marsha merasakan genggaman tangan kecil Steven semakin erat. Bocah itu bersembunyi di belakangnya, tubuhnya sedikit gemetar.
“Aku tidak ikut campur,” jawab Marsha dengan tenang. “Aku hanya ingin membuat Steven bahagia.”
Jessica mendengus sinis. “Bahagia? Jangan membuatku tertawa! Kau hanya ingin merebut tempatku sebagai ibunya!”
Marsha menghela napas. “Jessica, kau sudah lama meninggalkan Steven. Dia bahkan tidak mengenalmu.”
Mata Jessica berkilat marah. “Jangan bicara seolah kau lebih baik dariku!”
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Jessica melayangkan tangannya ke arah Marsha.
Plak!
Tamparan keras itu membuat kepala Marsha menoleh ke samping. Beberapa orang tua yang masih berada di sekolah mulai memperhatikan mereka.
Steven menjerit ketakutan. “Mama Marsha!”
Namun sebelum Jessica bisa menyerangnya lagi, sebuah tangan kuat menariknya ke belakang.
“Cukup!”
Suara berat penuh amarah itu milik Joseph. Pria itu berdiri di antara Jessica dan Marsha, wajahnya dipenuhi kemarahan yang selama ini ia tahan.
Jessica tersentak, tetapi ia segera menyeringai.
“Akhirnya kau muncul, Joseph. Apa kau akan membelaku sebagai ibu Steven?”
Joseph menatapnya dengan jijik. “Membelamu? Kau pikir aku masih sebodoh dulu?”
Jessica melipat tangan di dada.
“Steven tetap anakku, dan aku akan mengambilnya kembali.”
Joseph tertawa sinis. “Anakmu?” Ia menatap Jessica tajam.
“Kalau begitu, kenapa kau meninggalkannya? Kenapa kau pura-pura mati hanya untuk menyingkirkannya?”
Jessica terdiam.
Joseph menyipitkan mata. “Kau tidak punya hak untuk menyentuh Steven lagi.”
Jessica mendengus dan mencoba melangkah maju.
“Aku akan membawa anakku sekarang.”
Namun sebelum ia bisa mencapai Steven, Joseph mengangkat tangannya ke udara dan berteriak, “Maling! Maling anak!”
Dalam sekejap, perhatian para orang tua dan penduduk sekitar tertuju pada Jessica. Beberapa dari mereka mulai berbisik, lalu berteriak, “Maling anak! Tangkap dia!”
Jessica membelalak kaget.
“Apa—”
Belum sempat ia menjelaskan, beberapa pria dewasa mulai berlari ke arahnya.
Jessica panik. Dengan langkah tergesa, ia mencoba kabur, tetapi seorang pria berhasil menarik tasnya.
“Apa kau mencoba menculik anak?” seru salah seorang ibu dengan nada tajam.
“Tidak! Aku ibunya!” Jessica berteriak, tetapi tidak ada yang peduli.
Beberapa orang mulai mengejarnya, sementara Joseph berdiri di tempatnya dengan ekspresi puas.
Marsha masih terkejut dengan kejadian cepat itu, tetapi ketika ia melihat Steven yang gemetar ketakutan, ia segera berjongkok dan memeluk bocah itu.
“Tidak apa-apa, sayang. Aku ada di sini,” bisiknya lembut.
Steven mengangguk, meskipun air matanya masih menggantung di sudut mata.
Marsha menoleh ke Joseph. “Apa kau tidak berlebihan?”
Joseph mengangkat bahu. “Aku hanya memastikan dia mendapatkan sedikit balasan atas semua yang sudah ia lakukan.”
Marsha mendesah, tetapi dalam hatinya, ia merasa lega. Setidaknya, Jessica kini tahu bahwa keluarga Abraham bukanlah lawan yang bisa ia remehkan.
Bersambung....