Alyssa tak pernah menyangka, kunjungannya ke rumah mertua justru menjadi momen paling menyakitkan dalam hidupnya. Di hadapan keluarga dan wanita lain yang ternyata calon istri baru sang suami, Reza, ia dijatuhi talak satu. Dalam hitungan menit, Alyssa resmi menjadi janda.
Alasan perceraian itu lebih menusuk lagi—Reza merasa Alyssa tidak lagi menarik karena tubuhnya yang membesar dan tak terawat. Padahal, di balik perubahan fisiknya, ada alasan yang sebenarnya adalah kesepakatan mereka berdua. Namun Reza menolak memahami. Ia tetap memilih pergi.
Kini, Alyssa harus menata hidup dari serpihan luka yang ditinggalkan. Mampukah ia bangkit dari keterpurukan dan menemukan kembali harga dirinya? Ikuti kisah perjuangan Alyssa dalam menghadapi kenyataan pahit dan menemukan jati dirinya yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saras Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - Kaki Tante Kenapa?
Hari ini adalah hari Minggu. Hari libur untuk para pekerja, termasuk Alyssa.
Saat ini, wanita itu masih terbungkus rapat dalam selimutnya. Tubuhnya nyaris tak bergerak di atas ranjang, padahal jarum jam sudah menunjuk angka delapan. Bukan karena kebiasaan bangun siang, tapi karena tubuhnya belum pulih sepenuhnya dari kelelahan semalam. Alyssa baru tiba di apartemen sekitar pukul sebelas malam setelah lembur cukup lama bersama bosnya di kantor. Pekerjaan menumpuk, dan tanggung jawab menuntutnya tetap bertahan hingga larut.
Nada dering ponsel yang terletak di atas nakas mulai memecah keheningan kamar. Suaranya nyaring dan berulang-ulang, menandakan ada panggilan masuk yang tak ingin diabaikan.
Alyssa mengerjapkan matanya perlahan. Sinar matahari sudah menerobos celah ventilasi, menciptakan pola cahaya di dinding dan lantai kamar. Ia menggeliat sejenak, berusaha mengusir sisa kantuk yang masih menggantung di pelupuk mata. Setelah duduk dan menapak lantai dengan ujung kakinya, ia meraih ponsel dan menatap layar yang menyala.
‘Bella is Calling’
Dengan kepala masih berat dan tubuh setengah sadar, Alyssa mengangkat panggilan itu. Baru saja ponsel menyentuh telinganya, suara bernada tinggi langsung terdengar dari seberang sana.
“Alyssaaaa... lo ke mana aja sih?! Gue udah jamuran nungguin lo di sini tau!”
Alyssa masih perlu beberapa detik untuk mencerna maksud dari omelan itu. Namun, kesadarannya langsung penuh begitu ia mengingat janji mereka hari ini—lari pagi bersama Bella. Astaga! Alyssa menepuk dahinya pelan. Lupa total.
“Sorry, Bel. Gue lupa. Tadi malam gue lembur sama Pak Bos. Ini juga baru kebangun karena lo nelepon,” ucapnya cepat, menyesali kelalaiannya.
“Ya ampun, Sa. Lo tega banget dah ama gue. Yaudah, buruan siap-siap. Gue tungguin di sini. Awas lo ya kalau balik tidur lagi!” Bella sebenarnya masih ingin mengomel, tapi nada suara Alyssa yang lelah membuatnya mengurungkan niat. Ia tahu temannya pasti kelelahan.
Setelah menutup panggilan, Alyssa menghembuskan napas berat dan merenggangkan tubuhnya sekali lagi. Dalam hatinya, ia lebih ingin tidur kembali sampai siang. Tapi, janji adalah janji. Dan Bella bukan tipe orang yang mudah memaafkan jika ditinggal begitu saja.
Dua puluh menit kemudian, Alyssa sudah siap berangkat. Ia mengenakan setelan training baby pink dan sepatu lari putih. Rambut panjangnya diikat ekor kuda, memperlihatkan wajah segarnya yang masih menyimpan kantuk. Penampilannya yang sederhana justru membuatnya tampak seperti mahasiswi muda.
Setelah memesan taksi online, Alyssa keluar dari apartemennya dan berjalan menuju lobi. Namun, belum sampai di sana, seseorang menabraknya dari belakang. Tubuhnya oleng, dan ia jatuh terduduk di lantai. Kedua tangannya menahan tubuh, namun rasa nyeri segera menjalar dari pergelangan kaki kanannya.
Pria yang menabraknya tampak terkejut. Ia tengah asyik bermain ponsel dan tak memperhatikan arah jalan. Begitu melihat siapa yang ia tabrak, sorot matanya langsung berubah. Begitu juga dengan Alyssa—kedua matanya membelalak saat mengenali wajah pria di hadapannya.
“Alyssa?! Astaga, maaf! Aku nggak sengaja! Sini aku bantu berdiri.” Pria itu mengulurkan tangannya dengan cemas.
Namun, tangan itu hanya ditatap oleh Alyssa. Datar. Tanpa niat sedikit pun untuk menyambutnya. Ia mencoba bangkit sendiri, walaupun nyeri masih terasa menyengat di pergelangan kakinya. Ia enggan bersentuhan dengan pria itu, seolah menyentuhnya saja bisa membangkitkan luka yang selama ini ia pendam.
Tanpa sepatah kata pun, Alyssa melangkah pergi. Pincang. Tapi tetap tegar. Pria itu sempat mematung. Lalu, dengan langkah cepat, ia menyusul Alyssa dan menyentuh ujung lengan wanita itu.
“Alyssa, tunggu. Kamu nggak apa-apa? Kayaknya kaki kamu terkilir. Aku antar ke dokter, ya?” suaranya lembut. Sangat lembut hingga hampir menyayat.
Alyssa menghentikan langkah, menatapnya dengan sorot mata yang dingin. Dingin, namun penuh luka yang terpendam.
“Ngga perlu. Kaki ku nggak kenapa-kenapa. Aku masih bisa jalan,” jawabnya pelan tapi tegas.
Bersamaan dengan itu, notifikasi dari aplikasi taksi online berbunyi. Mobil pesanan Alyssa telah tiba di depan lobi. Ia berbalik hendak pergi, tapi pria itu kembali mencoba menahan langkahnya.
“Sa, kamu mau ke mana? Mau aku antar?”
Alyssa menoleh. Kali ini, wajahnya tanpa ekspresi. “Maaf, kita nggak saling kenal. Jadi jangan sok akrab. Dan aku nggak pernah menerima ajakan dari orang asing.”
Pria itu membeku. Ia hanya bisa menatap punggung Alyssa yang menjauh cepat meski tertatih. Dalam diam, hatinya tercekat. Ada luka di sana—dan bukan hanya di kaki wanita itu.
“Nggak nyangka kamu berubah, Sa.” Gumaman lirih itu hanya bergema di telinga sendiri. Kemudian, ia melangkah pergi. Pelan.
Taman kota pagi ini tampak lebih ramai dari biasanya. Udara masih segar, meski matahari mulai merangkak naik.
Sebuah mobil berhenti di dekat gerbang taman. Seorang wanita turun dan langsung mengeluarkan ponselnya dari waistbag. Ia menelpon seseorang sambil berjalan masuk. Pandangannya menyapu sekitar, mencari sosok yang ditunggunya.
“Akhiirnya datang juga lo, Sa! Gue kira lo balik tidur lagi. Kalau iya, udah gue acak-acak tuh apartemen lo!” omel Bella begitu Alyssa sampai di depannya.
Alyssa hanya nyengir. Bingung harus merespons bagaimana. Alih-alih menjawab, ia menggandeng Bella dan menariknya pergi.
“Mau ke mana kita?” tanya Bella yang masih dongkol.
“Cari makan dulu, Bel. Lari jam segini udah panas,” ujar Alyssa sambil menunjuk ke arah penjual bubur ayam.
Mereka duduk setelah memesan. Alyssa langsung menyandarkan kepala di atas meja. Kantuk masih membelenggu.
“Emang sampai jam berapa tadi malam lemburnya?” tanya Bella.
“Jam sebelas nyampe apartemen. Tapi gue baru tidur jam satu,” jawab Alyssa sambil menguap.
Bella menatapnya iba. Lembur itu biasa, tapi lembur dengan bos mereka yang dikenal dingin dan galak, itu luar biasa. Tidak terbayang tekanan yang harus ditanggung Alyssa.
Tak lama, pesanan datang. Aroma kaldu yang harum membuat perut mereka keroncongan. Dalam waktu singkat, dua mangkuk bubur tandas tak bersisa.
“Kita mau ngapain sekarang? Lari udah nggak mungkin, panas begini,” ujar Alyssa sambil melirik matahari.
“Kita nyantai aja di bawah pohon sana. Daripada lo maksa terus sakit,” usul Bella.
Alyssa setuju. Mereka berjalan ke arah pohon besar di ujung taman. Namun, langkah Alyssa terhenti saat melihat seorang wanita paruh baya terduduk sambil memijat kakinya. Tidak ada yang menemani. Wajah wanita itu tampak menahan sakit.
“Ayo ke sana, Bel,” ucap Alyssa sambil menarik tangan temannya.
Sesampainya di depan wanita itu, Alyssa berjongkok.
“Permisi, Tante. Kaki Tante kenapa? Dari tadi saya lihat Tante memijat terus,” tanyanya dengan senyum tulus.
Wanita itu menoleh, menatap wajah muda di hadapannya. Cantik. Tapi yang lebih mencolok adalah sorot mata lembut penuh kepedulian.
“Oh, ini, Nak. Kaki Tante keram. Rasanya nyeri banget,” jawabnya lirih.
“Kalau begitu, mari Tante saya bantu duduk di bangku sana. Di sini nggak nyaman,” ajak Alyssa.
“Tapi Tante susah jalan, sakit banget.”
“Nggak apa-apa. Saya bantu papah, ya.”
Dengan bantuan Alyssa dan Bella, wanita itu dibantu berdiri dan dipapah menuju bangku kayu panjang. Alyssa memposisikan kaki wanita itu di atas bangku, lalu mulai memijat perlahan.
Kebaikan kecil, tapi bisa berarti besar bagi seseorang yang sedang kesakitan.
"Eh, jangan, Nak. Sudah nggak apa-apa. Makasih ya, sudah bantu Tante," ucap wanita itu, menolak dengan halus saat Alyssa hendak memijat kakinya. Ia merasa sungkan karena mereka orang asing.
"Nggak apa-apa, Tante. Cuma mijit ringan kok, nggak pakai tenaga juga," balas Alyssa, mencoba mencairkan suasana dengan gurauan agar wanita itu merasa lebih nyaman.
"Terima kasih ya, Nak. Oh iya, kalau boleh tahu, nama kalian siapa?"
"Saya Alyssa, Tante. Nah, kalau ini teman saya, namanya Bella." Alyssa menunjuk ke arah Bella yang berdiri di sampingnya.
"Wah, namanya cantik, secantik orangnya." Sebuah senyum hangat muncul di wajah wanita itu. Meski sudah berumur, tak tampak sedikit pun kerutan menghiasi wajahnya.
Alyssa membalas senyum itu lalu bertanya, "Kalau Tante, siapa namanya? Tante ke sini sendirian?"
Tangannya tetap memijat kaki wanita itu dengan lembut.
"Kalian bisa panggil Tante Sarah. Tante ke sini sama anak dan cucu, tapi mereka tadi ke mobil, ngambil ponsel yang ketinggalan. Mungkin sekarang mereka lagi cari Tante," jawab wanita itu yang baru sadar kalau tadi masuk ke taman lebih dulu tanpa menunggu keluarganya.
Sarah mengedarkan pandangan, berharap bisa melihat anak dan cucunya. Namun sejauh mata memandang, tak terlihat tanda-tanda mereka. Mungkin mereka mencari di ujung utara taman, sementara Sarah sekarang berada di sisi selatan. Entahlah.
Karena pijatan lembut dari Alyssa, kaki Sarah mulai terasa membaik. Ia menurunkan kakinya lalu menepuk pelan sisi bangku, memberi isyarat agar Alyssa dan Bella duduk di sampingnya.
"Kaki Tante sudah enakan," ujarnya sambil mengamit tangan kiri Alyssa dan menggenggamnya hangat.
"Terima kasih sekali lagi ya, sudah bantu Tante. Maaf, gara-gara Tante, waktu kalian malah terbuang." Wajah Sarah tampak menyesal.
Alyssa dan Bella menggeleng bersamaan. Mereka tidak merasa membuang waktu sedikit pun. Toh, mereka memang hanya ingin bersantai.
Alyssa membalas genggaman Sarah dan berkata, "Nggak kok, Tante. Kita ke sini cuma mau nyantai aja. Jadi nggak ada waktu yang terbuang gara-gara Tante."
Ia tersenyum lebar, berusaha menghilangkan rasa bersalah dari wanita itu.
"Ngomong-ngomong, kaki Tante beneran sudah nggak sakit lagi?" tanya Alyssa sambil melirik kaki Sarah.
Sarah mengangguk pelan. "Sudah nggak sakit lagi, kok. Terima kasih ya."
Tiba-tiba dari arah depan terdengar suara teriakan yang memanggil.
"Omaaaa!" Seorang remaja perempuan berusia sekitar 13 tahun berlari menghampiri Sarah dengan napas tersengal. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung memeluk Sarah sambil menangis.
Sarah menepuk punggung cucunya dengan lembut, lalu melepaskan pelukan itu perlahan.
"Arra, kenapa nangis, sayang?" tanyanya sambil mengusap pipi cucunya.
"Oma dari mana aja? Arra sama Daddy cari-cari dari tadi." Suara gadis itu masih terdengar tersendat karena tangis.
"Maaf ya, sayang. Tadi Oma masuk duluan. Baru jalan sebentar, kaki Oma keram. Untung ada kakak-kakak cantik ini yang nolongin Oma."
Baru saat itulah Arra menyadari kehadiran Alyssa dan Bella di samping Oma-nya. Saking khawatirnya, tadi ia langsung berlari begitu melihat Sarah.
"Makasih ya, Kak, udah bantu Oma saya," ucapnya sambil sedikit membungkuk sopan.
Alyssa dan Bella mengangguk sambil tersenyum.
"Sama-sama. Tapi inget ya, cantik, lain kali jangan tinggalin Oma sendirian. Kasihan kalau tiba-tiba kakinya sakit dan nggak ada yang nemenin. Oke?" ujar Alyssa, sambil berdiri dan mengelus lembut rambut Arra.
"Iya, Kak. Arra janji nggak bakal ninggalin Oma sendirian lagi," jawab Arra dengan wajah serius.
"Pintar," ujar Alyssa sambil mengacungkan jempol.
"Sayang, Daddy kamu mana? Kok kamu ke sini sendirian?" tanya Sarah, baru menyadari Arra datang sendiri.
"Arra sama Daddy tadi berpencar. Arra ke arah sini, Daddy ke sana." Arra menunjuk ke arah seberang taman.
"Ya sudah, kita harus cari Daddy kamu sekarang. Takutnya dia diculik tante-tante genit, bisa gawat," canda Sarah sambil tertawa.
Arra pun ikut tertawa. Alyssa dan Bella hanya tersenyum, tak ikut menertawakan.
Sarah kembali menatap Alyssa dan Bella.
"Terima kasih banyak, ya. Semoga lain waktu kita bisa ketemu lagi, supaya Tante bisa balas kebaikan kalian."
"Ya ampun, Tante. Ini Tante udah bilang makasih berapa kali, ya? Sampe nggak kehitung," gurau Alyssa sambil tertawa pelan.
Dia melanjutkan, "Kami nolong Tante dengan tulus, kok. Nggak perlu mikirin balasan apa pun."
Sarah merasa beruntung bertemu anak muda sebaik mereka. Di zaman sekarang, sulit menemukan anak-anak yang masih peduli pada orang lain.
"Kalau gitu, Tante pamit dulu, ya. Mau cari anak Tante, takut makin khawatir."
"Mau kami bantu, Tante?" tawar Bella, akhirnya membuka suara setelah lama diam.
"Nggak usah, Nak. Sudah ada Arra, kok. Eh, gimana kalau kita sarapan bareng? Tante traktir sebagai ucapan terima kasih."
"Aduh, maaf, Tante. Kami baru sarapan tadi. Masih kenyang. Maaf ya," jawab Alyssa, menolak dengan halus.
"Yah, sayang sekali. Tapi nggak apa-apa, kalau lain kali kita ketemu lagi, Tante pasti traktir makan enak. Tante janji."
"Iya, Tante. Kalau ketemu lagi, kami nggak bakal nolak, deh," jawab Alyssa sambil tertawa pelan.
"Ayo, Oma. Kasihan Daddy kalau kelamaan nyari kita," ajak Arra.
"Iya, kita cari Daddy kamu sekarang," sahut Sarah.
"Alyssa, Bella, makasih banyak ya. Tante duluan. Semoga kita bisa ketemu lagi."
"Iya, Tante. Hati-hati ya. Arra, jangan lupa jaga Oma, ya," ujar Alyssa sambil mengelus rambut Arra lagi.
Arra mengangguk dan langsung menggenggam tangan Sarah. Wanita itu tersenyum lalu melangkah pergi.
Sebelum benar-benar pergi, Arra menoleh dan melambaikan tangan. Alyssa dan Bella membalas lambaian itu sambil tersenyum.
Mereka masih berdiri di sana sampai sosok Sarah dan Arra hilang dari pandangan, lalu melanjutkan langkah menuju tujuan awal mereka di taman itu.