Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 27 - Tawanan Pesantren
~💠💠💠~
Keesokan harinya...
Suasana di lapangan terasa lebih ramai dari biasanya. Para santri berkumpul di pinggir lapangan, duduk berkelompok atau berdiri sambil bersandar di pagar. Mereka berbicara, tertawa, dan bersorak dengan penuh semangat.
Di tengah riuhnya suasana, Miska berdiri di salah satu sudut lapangan dan diam-diam memperhatikan.
Awalnya, Miska hanya datang karena iseng. "Cuma mau lihat sebentar. Gak ada salahnya, kan?," gumamnya.
Namun, saat ia tiba di lapangan dan melihat Rehan di antara para pemain, sesuatu dalam dirinya terasa berbeda.
Tanpa ia sadari, ia berdiri agak lama di sana. Dan tanpa Miska sadari pula, Rehan melihatnya.
Seulas senyum muncul di wajah santri itu, meskipun ia berusaha menyembunyikannya dengan fokus pada pemanasan.
Dan...
Pertandingan pun dimulai!
Ppprittttt!!!
Wasit meniup peluit dengan durasi yang cukup panjang.
"Pertandingan dimulai!."
Dua tim berhadapan di tengah lapangan. Tim A, yang mengenakan rompi biru, dipimpin oleh Rehan. Sedangkan Tim B, dengan rompi merah, memiliki seorang kapten bernama Fariz.
Bush!
Bola dilempar ke udara.
DOR!
Rehan pun melompat tinggi dan berhasil merebut bola lebih dulu!
Gerakannya cepat dan terarah. Ia lalu menggiring bola dengan lincah dan melewati dua pemain lawan yang berusaha menghadangnya.
"Oper ke sini!," seru salah satu rekannya.
Namun, Rehan justru memilih untuk menyerang langsung. Ia pun melompat dan—
DUNK!
Bola melesak masuk ke dalam ring dengan mulus! Sorak-sorai pun pecah di lapangan.
"WOAH! REHAN GOKIL!."
Miska yang melihat itu, hanya menyilangkan tangan di depan dada sambil bergumam, "Hmm… lumayan juga.
Sepanjang pertandingan, Rehan terus bermain dengan apik. Larinya cepat, umpan-umpannya akurat, dan setiap kali ia mencetak angka, para santri pun bersorak mendukungnya.
Sesekali, tanpa sadar, ia melirik ke arah Miska. Bukan karena ia ingin pamer… Tapi karena ia ingin tahu apakah Miska menikmatinya.
Di sisi lain, Miska tetap berdiri di tempatnya. Ekspresinya datar, meski matanya mengikuti setiap gerakan Rehan. Seperti ada sesuatu yang menarik perhatiannya, entah itu permainannya, atau mungkin orangnya.
Setelah hampir satu jam bertanding, skor akhirnya menunjukkan kemenangan bagi Tim A.
Rehan dan timnya berpelukan, merayakan kemenangan mereka dengan penuh semangat.
Para santri di pinggir lapangan bertepuk tangan, beberapa bahkan berlari menghampiri mereka untuk memberi selamat.
**
Suara sorak-sorai dari lapangan masih menggema, tetapi Miska tidak lagi fokus pada lapangan pertandingan.
Kini, tatapannya terpaku pada sosok Novi yang berjalan tertatih di kejauhan, menuju toilet dengan langkah yang tergesa-gesa.
Dahi Miska pun berkerut karena merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa pikir panjang, ia pun berbalik dan mengikuti Novi.
Miska melangkah dengan cepat, melewati koridor panjang menuju toilet yang terletak agak jauh dari area utama pesantren.
Saat ia tiba, pintu toilet sedikit terbuka. Dan di sana—
Novi terduduk di lantai sambil bersandar pada dinding dengan wajah yang pucat pasir juga keringat dingin yang membasahi dahinya.
Kedua tangannya memegangi perutnya yang kini tampak lebih besar dari sebelumnya. "Aw! Sakit...," rintih Novi.
"Novi!," seru Miska yang langsung berlari mendekat, lalu berjongkok di sampingnya.
"Kamu kenapa?," tanyanya panik.
Namun, Novi tidak menjawab. Wajahnya menegang, matanya terpejam erat seakan menahan rasa sakit yang begitu besar.
"Aaah...!," tiba-tiba Novi meringis kesakitan, bahkan tangannya mencengkeram keras lantai toilet.
"Novi? Hei! Bicara sama gue!," seru Miska sambil membelalakkan matanya.
Novi pun menggigit bibirnya karena menahan rasa sakit yang jelas semakin hebat.
"M-Miska… a-aku…" Suaranya lemah dan terputus-putus.
Miska menelan ludahnya dengan kasar. Instingnya berkata sesuatu yang buruk sedang terjadi. Dan saat itu juga, pemikiran itu menghantamnya seperti petir.
Novi akan melahirkan!
"Novi, kamu mau melahirkan, ya?," tanya Miska dengan berusaha tetap tenang.
Novi pun mengangguk lemah, tapi air matanya semakin deras mengalir di pipinya. "Aku takut… Miska, aku takut…" katanya dengan suara yang bergetar.
Miska pun mengutuk dalam hatinya. Ini gila. Ini bukan hal yang bisa ia tangani sendiri, pikirnya.
Lalu, matanya berputar mencari sesuatu, apa saja yang bisa membantunya. Namun, toilet ini terlalu sepi dan tidak ada siapa pun.
Hanya Miska dan Novi. Dan kenyataan bahwa bayi itu akan segera lahir.
"Dengarkan aku, Novi. Kita harus cari bantuan," tegas Miska.
"Tidak! Tidak boleh! Kalau ketahuan, aku akan diusir… aku akan… Aaah... Sakit...!."
Kini Miska tertegun. Ia paham ketakutan itu. Tapi ini bukan soal aturan lagi. Ini soal nyawa. Kemudian, Miska beranjak hendak menghubungi seseorang.
Namun...
Tiba-tiba, Novi mencengkeram lengannya dengan kuat. "Jangan!," serunya. "Jangan kasih tahu siapa pun!."
"Novi, kamu serius? Kamu bisa mati di sini kalau tetap kekeh kayak gini."
"Aku mohon, Miska…" pohon Novi seraya menatapnya dengan mata yang penuh ketakutan. "Jangan bilang siapa-siapa."
Posisi Miska saat ini sangat bimbang. Jika ia memberi tahu seseorang, Novi akan selamat, tetapi juga akan kehilangan segalanya.
Tapi jika ia tetap diam, resikonya terlalu besar.
Apa yang akan di lakukan Miska selanjutnya??
BERSAMBUNG...