Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Biggest Fear
...****************...
Gevan berdiri di tengah ruangan, napasnya memburu, dadanya naik turun menahan amarah. Matanya menatap tajam ke arah wanita di depannya—istrinya, Araya. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras.
“Kamu masih terus menemuinya?” suaranya terdengar rendah, Gevan menatap tajam bagian leher gadis itu, yang mana meninggalkan hickey yang dapat ia lihat dengan jelas.
Araya, yang sejak tadi menyilangkan tangan di dadanya, hanya mendengus dingin. Matanya penuh perlawanan. “Kenapa? Kamu mau melarang? Jangan sok mengatur, bajingan. Sejak awal, aku gak pernah mau menikah denganmu.”
Biasanya laki-laki itu acuh apa yang Araya lakukan di luar sana. Tapi sepertinya, Gevan mengetahui apa yang ia perbuat dengan sang kekasih sore tadi. Hanya se batas ciuman yang mungkin sedikit berlebihan, keduanya tidak pernah menyentuh terlalu jauh sejak menjalin hubungan di belakang Gevan.
Ucapan Araya bukan pertama kali ia dengar, tapi tetap saja menyakitkan bagi Gevan. “Araya—”
“APA?!” Araya menyeringai sinis. “Sejak awal kamu yang memaksa, aku gak pernah mencintai kamu! Dan aku gak akan pernah bisa!” Bentaknya.
Ia nyaris gila karena laki-laki ini, Gevan merebut kehidupannya begitu saja.
Sesuatu dalam diri Gevan terasa hancur. Delapan tahun, ia berusaha. Delapan tahun, ia mencintai wanita ini. Ia memberikan segalanya—kebebasan, kemewahan, kesabaran. Tapi Araya tetap menolaknya.
Selama ini bagi Gevan melihat Araya di sisinya sudah cukup, ia bisa melihat Araya setiap hari di mansionnya sekalipun gadis itu terus mengumpatinya setiap mereka bertemu. Gevan bisa menerima itu.
Tapi, ia tidak bisa rela saat Araya mulai memberikan tubuhnya kepada laki-laki lain.
“Aku bisa kasih semuanya, Araya…” ujar Gevan rendah menatap dalam netra yang paling ia sukai itu. “Kamu hanya perlu menerima aku…”
“Menerima?” Araya tertawa pahit. “Akan lebih baik mati kalau aku mati daripada hidup selamanya dengan laki-laki seperti kamu!”
Seketika, ruangan itu menjadi sunyi. Kata-kata itu menikam Gevan lebih dalam dari apa pun. Mata hitamnya berkilat marah. Tangannya mengepal kuat. “Ulangi.”
Araya justru mendongak menantang. “Aku lebih baik mati, Sialan! Dengar itu?”
Dada Gevan bergemuruh. Tiba-tiba semua kenangan tentang Araya yang mencoba bunuh diri di mansion ini berkelebat di benaknya. Dia yang berlari panik setiap kali Araya mencoba menenggelamkan diri. Dia yang khawatir setengah mati saat Araya sudah tak sadarkan diri. Dia yang selalu menyelamatkan, tapi tak pernah bisa memiliki.
Tangan Gevan mencengkeram leher Araya.
Araya terbelalak. “Gevan—“
Tapi laki-laki itu sudah kehilangan kendali. Matanya gelap, saraf-saraf di tangannya menegang, jari-jarinya menekan kulit halus istrinya.
“Kenapa…? Kenapa kamu gak bisa sedikit saja melihatku?" suaranya serak, penuh keputusasaan.
Araya meronta, tangannya mencakar lengan Gevan, mencoba melepaskan diri. Air matanya menetes, bukan karena takut, tapi karena ia tetap benci laki-laki ini sampai detik terakhirnya.
Gevan melihat itu. Dan kesadarannya benar-benar hancur.
Tangannya meraih pisau di atas meja. Sekali hunus, bilah tajam itu menembus perut Araya.
Araya tersentak. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar. Matanya melebar, menatap Gevan seakan tak percaya.
Gevan menahan tubuh istrinya yang melemas, bibirnya gemetar. “Aku mencintaimu, Araya…” ucapnya lirih. “Tapi aku lelah…”
Saat gadis itu kehilangan kesadaran sepenuhnya, Gevan menyempatkan ini mengecup bibir itu lama.
Darah mengalir, membasahi lantai marmer putih.
Dan dari balik pintu, sepasang mata kecil menatap kejadian itu tanpa suara.
Ghariel, tepat di hari kelahirannya yang ke tujuh tahun, ia berdiri dengan tubuh gemetar. Kedua tangannya menutup mulutnya sendiri, menahan isakan yang hendak pecah.
Papa… membunuh Mama? Batin anak itu.
“HAH..”
Araya langsung duduk terbangun dengan napas memburu. Tubuhnya terasa dingin, keringat membasahi pelipisnya. Dadanya naik turun cepat, seolah paru-parunya menolak bekerja dengan normal. Jantungnya masih berdegup tak karuan, seperti baru saja kembali dari kematian.
Tenggorokannya tercekat. Tangannya terangkat perlahan ke lehernya sendiri, mencoba merasakan sesuatu yang seharusnya tak ada di sana—bekas cekikan. Tapi kulitnya mulus, tak ada luka, tak ada rasa nyeri.
Yang ia lihat bukanlah narasi novel, tapi seolah ingatan pendek yang terasa sangat nyata. Seolah ia benar-benar mengalaminya langsung.
Sebuah tangan hangat menyentuh bahunya.
“Araya?”
Suara itu…
Ia menoleh, dan di sana, dalam temaram cahaya lampu tidur, wajah Gevan menyambutnya. Laki-laki itu masih dalam posisi setengah duduk, matanya yang penuh kantuk perlahan menjadi lebih fokus saat menyadari istrinya terbangun dengan ekspresi ketakutan.
“Kamu mimpi buruk?” tanyanya pelan, suaranya berat, khas seseorang yang baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya.
Ini, malam kedua mereka berbagi kamar. Hanya tidur bersama, tanpa melakukan apapun.
Araya menelan ludah, berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal. “Aku… Aku hanya bermimpi.”
Gevan diam sejenak, lalu tangannya terulur, menyelipkan helaian rambut yang menempel di pipi istrinya ke belakang telinga. Sentuhan itu seharusnya terasa menenangkan, tapi malah membuat Araya bergidik.
Gevan menatapnya dalam. “Mimpi apa?”
Araya menelan ludah. Seharusnya ia mengatakan sesuatu. Seharusnya ia tertawa kecil dan mengabaikannya. Tapi bibirnya terasa kelu.
Bagaimana mungkin ia mengatakannya?
“Aku…”
Sejenak, bayangan Gevan yang tersenyum gila dengan tangan berlumuran darah kembali melintas di kepalanya.
Araya langsung merasakan tubuhnya merinding.
Gevan yang ada di hadapannya sekarang berbeda. Mata laki-laki itu penuh perhatian, bukan kehampaan. Wajahnya terlihat lelah, bukan gila.
Araya menggigit bibirnya, lalu menggeleng. “Tidak ada. Aku hanya terlalu lelah.”
Pantas saja Ghariel tidak bisa memperlakukan Viena dengan baik. Anak itu ternyata melihat sendiri bagaimana sang ayah membunuh ibunya. Batin Araya.
Teringat sesuatu, Araya melihat kalender di atas meja. Di mimpi itu, kejadian saat di mana Gevan membunuh Araya terjadi di malam hari saat Ghariel berulang tahun ke tujuh, meninggalkan trauma bagi anak itu
Dan Araya, melihat tanggal yang sama di sana.
Apa karena itu ia memimpikannya? Hari ini, harusnya adalah kematian Araya yang asli.
Tapi ia berhasil tetap hidup karena tak memicu perseteruan dengan Gevan. Ia sudah memutuskan hubungan dengan Romeo sebelum keduanya terlalu jauh, dan hubungannya dengan Gevan cukup membaik.
Gevan menatapnya beberapa saat, seolah mempertimbangkan jawaban yang ia berikan. Tapi pada akhirnya ia hanya menghela napas, lalu membawa Araya untuk kembali berbaring.
“Tidurlah,” katanya pelan. “Aku di sini.”
Araya tersenyum tipis, diam-diam ia bernafas lega karena sudah membuat pilihan yang benar.
“Emm, besok bukankah Ghariel berulang tahun?” Tanya Araya menatap suaminya itu. Sebenarnya sudah terhitung hari ini, karena hari sudah menunjukkan pukul satu malam.
Gevan terdiam sebentar, “Kamu masih tidak menyukai nama yang aku beri untuk dia?” Tanyanya balik. Araya masih tetap pada panggilan Gharielnya.
“Bukan gitu,” Araya menggeleng pelan, “Aku cuman udah nyaman manggil dia Ghariel, gak papa kan?”
Sebenarnya nama Rayvandra tidak terdengar buruk, apalagi Gevan memberikan nama itu seolah menunjukkan bagaimana ia begitu mencintai sang istri. Tapi Araya suka dengan nama Ghariel, yang biasa di sebut saat ia membaca novelnya.
Gevan mengangguk tak mempersalahkan, “jadi, kamu ingin apa untuk besok?”
Sepertinya Gevan sama sekali tak berminat pada ulang tahun putranya, pertanyaan itu juga seharusnya ditujukan pada Ghariel, bukan Araya.
“Kamu sibuk?”
Gevan langsung menggeleng.
“Mungkin kita bisa menghabiskan waktu seharian dengan Ghariel? Dia pasti senang menghabiskan waktu dengan keluarganya.” Saran Araya.
Keluarga? Gevan rasanya akan lebih senang di banding sang Putra hanya sekedar mendengar Araya mengucapkan itu.
Benar, Araya dan putranya, mereka adalah keluarganya.
...****************...
tbc.