Diambang putus asa karena ditinggal sang kekasih saat hamil, Evalina Malika malah dipertemukan dengan seorang pria misterius. Adam Ardian Adinata mengira gadis itu ingin loncat dari pinggir jembatan hingga berusaha mencegahnya. Alih-alih meninggalkan Eva, setelah tahu masalah gadis itu, sang pria malah menawarinya sejumlah uang agar gadis itu melahirkan bayi itu untuknya. Sebuah trauma menyebabkan pria ini takut sentuhan wanita. Eva tak langsung setuju, membuat pria itu penasaran dan terus mengejarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Berhenti Kerja
Doni menghempas tangan Ina dengan kasar. "Gara-gara kamu, brenggsek! Gara-gara taruhan kamu untuk menaklukkan Eva jadi aku ketiban sial! Dasar perempuan brenggsek!"
Adam sudah tak peduli lagi. Ia bergegas membawa Eva ke dalam mobil. Setelah menutup pintu, ia berteriak pada Barata. "Ayo, kita ke rumah sakit!" Namun Eva masih dalam gendongannya.
Gadis itu ingin turun tapi pria itu tetap menggenggam tubuhnya. Eva mau protes tapi tak mampu. Sebenarnya ia ingin menangis karena itu gadis itu tak sanggup untuk bicara. Menahan tangis lebih parah lagi. Ia tak ingin Adam melihat dirinya lemah tapi tak bisa.
Akhirnya tangisnya pecah pelan-pelan. Serasa kalah dan dikhianati itu menyakitkan. Apalagi pria yang dulu nyata-nyata bilang cinta padanya, ternyata hanya pura-pura belaka. Dirinya hanyalah bagian dari sebuah pertaruhan.
Melihat Eva menangis dengan isak yang begitu menyayat hati, pria itu jadi iba. Diraihnya kepala Eva dalam dekapan hingga gadis itu bisa merebahkan kepalanya di dada bidang suaminya. Hangat. Tidak ada yang bisa menenangkan tangisnya kecuali dekapan pria ini. Tangan Eva bergerak dan memeluk tubuh sang pria. Rasanya begitu damai karena selama ini ia kehilangan pelukan hangat itu sudah sekian lama. Sejak ibunya meninggal setahun lalu. Dan kini ia mendapatkannya kembali.
Di rumah sakit, Eva diperiksa. Dokter menyarankan untuk rawat inap untuk sementara waktu. "Istri Bapak sepertinya syok dan stres, karena itu sempat kram perut. Usahakan agar dia tidak banyak pikiran dan makan makanan sehat."
"Baik, dok."
Keduanya melirik Eva yang sudah terbaring di ranjang rumah sakit. Gadis itu sudah berhenti menangis.
"Mungkin besok sudah boleh pulang," sahut dokter pria itu.
"Terima kasih, dok."
Dokter pun pamit bersama dengan seorang suster. Adam mendekati Eva. Gadis itu belum tidur tapi sepertinya sedang melamun.
"Kamu mikirin apa, sih?" Adam mendorong dahi Eva dengan telunjuknya pelan. Ia sedikit emosi, tapi ia kembali teringat pesan dokter untuk tidak membuat Eva stres.
Gadis itu langsung merengut. "Aku sudah berusaha menghindar tapi mereka cari gara-gara terus."
"'Kan sudah ku masukkan penjara?"
"Terima kasih, Pak." Mata Eva mulai sayu karena tadi dokter memberinya obat tidur. "Aku sebenarnya tidak berniat memenjarakan siapa pun, tapi mereka bener-bener keterlaluan ...." Ia mendengus pelan.
"Sudah, kalau begitu kamu di rumah saja!" ucap Adam tegas.
"Mmhh ... tidak mau ...," rengek gadis itu.
"Kamu tidak bisa menjaga kehamilanmu! Kalau nanti ada orang lain yang mengganggumu lagi, bagaimana!?" Nada suara Adam mulai naik, tapi ia tak bisa tidak memarahi gadis itu karena riskan untuk kehamilannya.
"Mmhh ... Pak, aku ingin bekerja ...." Eva mulai membujuk sambil merajuk. Ia meraih lengan baju Adam.
"Sekarang kehamilanmu aman, tapi kalo kamu kelelahan terus keguguran, bagaimana? Apa kamu bisa memberi jaminan!?" Adam berusaha berkata dengan hati-hati tapi tetap saja ia kesal.
"Pak ...." Eva masih merengek.
"Sudah! Berhenti! Apa sih yang kamu cari dari bekerja? Aku bisa memenuhi kebutuhanmu, apalagi?"
"Aku punya kebutuhan lain yang aku inginkan. Memangnya tidak boleh?"
"Kebutuhan apa?" Adam sampai bingung dengan kekeraskepalaan Eva untuk tetap bekerja.
Mata sayu itu menatap Adam. "Kalau Bapak menceraikan aku, bagaimana?"
"Kamu tidak mau mengurus anakmu?" Mata Adam melebar.
"Tidak. Bukan begitu ...."
"Ya sudah. Selesai masalahnya! Tidak ada kompromi lagi!" ucap Adam kembali tegas.
Gadis itu masih merengut walau tampak pasrah.
Adam melihat Eva dengan iba. Ia mulai memikirkan sesuatu yang bisa membuat Eva senang. "Aku dengar, kamu bekerja sebagai operator mesin ya?"
"Iya."
"Bagaimana kamu yang lulusan SMA bisa membetulkan mesin operator pabrik dengan mudahnya?"
"Lihat aja perintahnya. Kalo gak ada, ya ... cukup utak-atik aja bagian menunya dilayar. Lihat internet juga bisa. Ada videonya. Lihat aja nomor seri produknya pasti ada tutorialnya."
"Tapi tetap aja, tidak semua orang bisa karena tutorial di internet biasanya untuk operasionalnya bukan untuk membetulkan mesin."
"Kan dari sana bisa tahu masalahnya?"
"Hanya orang yang mengerti ini yang bisa mengerjakannya. Berarti kamu belajar otodidak ya. Terus, kamu kerja double?"
"Iya, Pak. Sambilan kalo Pak Rustam gak ada."
"Tapi aku lihat gajimu hanya untuk satu jabatan."
"Ya, siapa yang mau mengakui aku teknisi, Pak? Aku kan cuma lulusan SMA."
"Tapi tetap saja, kamu bekerja untuk dua pekerja. Sejak kapan kamu mulai bekerja double begini?"
Bola mata Eva sedikit fokus. "Sekitar delapan bulan yang lalu."
"Ok, nanti aku tambahkan gajimu sebagai teknisi yang delapan bulan itu, biar gajimu tambah."
Eva melongo. "Yang bener, Pak?"
"Iya, nanti aku suruh asistenku kirim ke rekeningmu."
Eva langsung berusaha duduk. "Wah, terima kasih, Pak!"
Adam buru-buru berdiri dan menahannya. "Sudah, kamu tidur saja. Kamu butuh istirahat 'kan?" Pria itu menaikkan selimut ke tubuh istrinya ketika Eva kembali berbaring. Bahkan kini gadis itu mulai menguap.
"Lihat, kamu sudah ngantuk."
"Iya. Kenapa ya? Padahal belum malam." Eva mulai menutup matanya. "Padahal ... aku lapar." Sebentar kemudian gadis itu sudah tertidur.
"Ah, aku lupa. Ini 'kan jam makan siang. Malah sudah lewat lagi." Adam memeriksa jam di lengan kanannya. "Dia belum makan siang. Apa aku belikan saja sekalian makan siangku?" Pria itu kemudian pergi keluar mencari kantin.
***
Adam pikir ia akan bernapas lega bila Eva tinggal di rumah. Ternyata tidak. Ia baru menyadarinya ketika ia ditelepon pembantu di rumah kalau gadis itu memanjat pohon mangga yang memang ada di belakang rumah. Tentu saja Adam panik. "Cepat telepon damkar, jangan sampai dia turun sendiri!"
"Bagaimana kalau dia turun sebelum petugasnya datang, Pak?"
"Tahan!!" teriak Adam kencang saking paniknya.
"I-ya, Pak, iya."
Adam bergegas turun ke lantai satu lewat lift sambil menelepon supirnya. "Barata, bawa mobil ke lobi. Aku ingin pulang!"
"Baik, Pak."
Di rumah, Eva bingung. Ia sudah menjatuhkan beberapa buah mangga, tapi ketika turun, para pembantu berteriak ramai-ramai agar ia tidak turun. "Kenapa?"
"Berbahaya, Bu. Ibu 'kan lagi hamil!" teriak salah seorang pembantu dari bawah sana.
"Iya, tapi aku bisa turun sendiri, kok. Biasa itu." Eva dengan santai menurunkan kakinya yang tanpa mengenakan apa pun, tapi para pembantu itu sudah heboh di bawah.
"Jangan!!" Uning yang tampak panik, mengangkat kedua tangannya.
Apalagi ketika Eva sedikit terpeleset saat menginjak batang pohon mangga yang besar. Untung saja ia sigap berpegangan pada batang kayu di sebelahnya. "Eh, maaf ...."
"Ah!!"
"Ibu!!"
"Astaga!"
Mereka semakin panik.
"Pokoknya jangan turun, Bu! Jangan turun! Nanti Pak Adam marah," teriak Uning menyatukan kedua tangan, memohon.
"Tapi aku sudah mengambil mangganya, kenapa aku gak boleh turun?" Eva tampak tenang tak terpancing ketakutan para pembantu di bawahnya. Malah sebaliknya, ia bingung kenapa para pembantu ini begitu panik saat ia mau turun dari pohon.
"Bahaya ibu, nanti jatuh. Nanti ibu bisa keguguran." Terang Uning lagi. Ia bingung kenapa gadis itu menanggapinya biasa saja.
"Lalu bagaimana? Aku mau turun, ini ...," keluh Eva mulai kesal. Teriakan para pembantu itu membuat dirinya malah tak bisa berkonsentrasi untuk turun.
"Tunggu sebentar, Bu. Tunggu bantuan datang!" Rinah akhirnya ikut bicara.
"Iya, Bu. Benar," ucap Surti. Pembantu paling muda.
Chef Aldi yang keluar dari dapur ikut terkejut. "Kenapa dia ada di sana?" tanyanya pada seorang satpam.
"Dia sedang hamil, katanya. Terus ambil mangga muda dengan manjat sendiri."
"Tapi 'kan kalian bisa membantunya turun dengan membawa tangga?"
"Ck, masalahnya, salah seorang pembantu udah telepon Pak Adam duluan dan Pak Adam minta mereka telepon damkar. Jadi kita harus menunggu damkar datang, baru bisa menurunkan ibu Eva."
"Ya ampun ...."
Bersambung ....
tapi aku nggak mau kalo cuma sekedar like👉🏻👈🏻
semoga semakin semangat updatenya akak othor!!🙏🏼💪🏼💪🏼
lagian siapa juga yang tahu klo Eva istrimu...
makanya dari awal lebih baik jujur,ini pake bilang sodara lagi
padal aku dari kemarin uda ngumpulin bab, biar bisa d baca maraton, taunya pas baca langsung hbis😭😭
"berharap ada adegan kissing nya"
pas scroll eeh malah ketemu iklan habib jaffar, langsung baca istigfar karena tau yg ku pikirkan itu dosaaaaa😭🤣🤣
ini masalahnya di keyboardmu apa emang kebijakan dari mt/nt?
sekedar nanya aja nggak ada maksud lain mak🙏🏼🙏🏼
nggak!
bapak gay?
anjroot, mau ku tabok kamu ev?!😭😭
adaaa aja gebrakannya ke' nasti sama iwabe