Hara, gadis perfeksionis yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan itu baru saja mengalami putus cinta dan memutuskan bahwa dirinya tidak akan menjalin hubungan lagi, karena menurutnya itu melelahkan.
Kama, lelaki yang menganggap bahwa komitmen dalam sebuah hubungan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, membuatnya selalu menerapkan friendzone dengan banyak gadis. Dan bertekad tidak akan menjalin hubungan yang serius.
Mereka bertemu dan merasa saling cocok hingga memutuskan bersama dalam ikatan (boy)friendzone. Namun semuanya berubah saat Nael, mantan kekasih Hara memintanya kembali bersama.
Apakah Hara akan tetap dalam (boy)friendzone-nya dengan Kama atau memutuskan kembali pada Nael? Akankah Kama merubah prinsip yang selama ini dia pegang dan memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Hara?Bisakah mereka sama-sama menemukan cinta atau malah berakhir jatuh cinta bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizca Yulianah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia Yang Selebar Daun Teh
Seminggu lebih sudah berlalu sejak kejadian-kejadian aneh yang terus mampir di hidup Hara, membuatnya sedikit keluar jalur dan menimbulkan kelelahan akut yang menguras tenaga.
Kama dan bahasa bunganya sudah tersingkir di pojok pikiran Hara, tertumpuk oleh begitu banyaknya pekerjaan yang tak henti-hentinya datang.
Hara adalah bagian dari tim audit, tim yang rumornya harus tahan banting di segala cuaca, segala mood, segala musim dan di segala situasi.
"Akhirnya..." Hara memekik girang sembari meregangkan otot-otot punggungnya. "On time" melihat jam tangannya dan tepat pukul lima kurang lima menit. Dan seluruh pekerjaannya beres, mejanya rapi, komputer telah off.
"Pleaseeeee...Ajarin gua caranya hidup teratur!!!" Teriakan putus asa dari Sinta terdengar sangat menyayat hati. Wajahnya yang menatap layar komputer sudah kusut masam. Dengan make up yang sudah mulai longsor di sana sini.
"Lembur lagi?" Hara yang merasa iba itu hanya bisa memberikan penghiburan yang sebenarnya sama sekali tidak menghibur.
"Gue besok mau resign!!" Rengek Sinta.
"Iya iya besok gue bantuin bikin surat resign-nya" Hara yang sudah terbiasa dengan keluhan-keluhan Sinta itupun memilih untuk tidak memberikan nasehat apapun.
"Gue heran deh sama lo, bisa banget gitu selesai tepat waktu" Sinta memutar kursinya menghadap Hara. Wajahnya yang cemberut menahan tangis terlihat lucu.
"Tau gini gue gak mau deh jadi budak corporate" Rengekan demi rengekan terus meluncur mulus dari bibir Sinta.
Siklus akhir bulan ini selalu menjadi momok bagi tim audit, pasalnya mereka harus menyelesaikan laporan keuangan bulanan, dan triwulan jika mereka bertepatan dengan jatuh temponya.
Double kill para anak-anak tim audit menyebutnya, setelah mereka menyelesaikan laporan bulanan, mereka masih harus memasukkan dan menyesuaikan kembali ke dalam laporan triwulan. Dan biasanya Hara juga pasti ikut lembur dalam penyelesaian laporan triwulan.
"Udah pulang aja, besok laporan lo gue cek paling akhir deh" Hara akhirnya luluh juga melihat penderitaan Sinta. Tak tega demi melihat kantong mata Sinta, efek lembur seminggu penuh.
"Beneran nggak papa nih bu assisten manager?" Sinta yang seolah mendapat angin surga itu pun memasang tampang sungkan.
"Iya ntar gue yang ngomong ke bu Inggar"
"Makasih ya bu assisten manager" Sinta berdiri dan menghambur ke arah Hara.
"Apaan sih" Hara yang tidak berniat menolak pelukan Sinta itupun cuma bisa tersenyum.
"Kalau ada beginian baru deh manggilnya bu assisten manager" Omel Hara bercanda.
"Tapi seriusan, gue bener-bener terima kasih banget. Tau lagi deh kalau bukan lo assmen gue, udah abis mungkin gue, bolak balik di kasih wejangan kali" Sinta sudah melepaskan pelukannya dan kini menatap Hara dengan serius. Wajahnya yang semula kusut sayu kini terlihat sedikit berwarna segar.
"Tenang aja, gue bukan orang yang gak tau balas budi, gue akan selalu jadi orang yang mendukung lo, apapun keputusan gila lo" Sinta mengepalkan kedua tangannya, menunjukkan keteguhan hati.
"Beneran nih?" Sangsi Hara tak percaya.
"Suer!" Sinta menunjukkan jari telunjuk dan jare tengahnya yang membentuk huruf V. "Gue akan selalu ada di pihak lo meskipun lo mau bakar nih tempat, gue akan dukung seribu persen" Janjinya kemudian.
Hara dan Sinta kemudian sama-sama terbahak.
"Ya udah gue duluan ya, keburu macet" Pamit Hara, saat melihat Sinta yang masih akan membereskan meja serta tumpukan kertas di mejanya.
"Hmm" Sinta mengangguk tanpa menoleh. "Tiati" Teriaknya kemudian.
Hara yang sedang menunggu lift datang itu merasa bahagia, pasalnya ini adalah akhir pekan. Setelah seminggu ini sibuk mengerjakan laporan hasil dari meeting bu Inggar dan bu Helena, dan Nael juga, akhirnya dia bisa bernapas lega. Laporan itu selesai sebelum tenggat waktunya di hari selasa pekan depan.
"Hara... Hara" Sebuah panggilan terburu-buru membuat Hara menengok. Bu Inggar sedang setengah berlari menghampiri Hara, dengan tangan yang penuh membawa tas juga map berkas.
"Ya bu?" Hara menatap bingung, tidak biasanya bu Inggar harus menyusulnya begini, biasanya juga lewat telepon.
"Lupa bilang" Bu Inggar terlihat kerepotan dengan segala barang bawaannya. "Meeting yang sama Pak Nael minta di jadiin besok, bisa kan?"
Hara mengerutkan keningnya, "besok?" terlihat ragu-ragu.
"Iya katanya pak Nael ada date, jadi dia minta besok"
"Tapi saya kan urusannya sama Nisa bu?" Hara semakin terlihat bingung, apa hubungannya Nael, meeting, besok, dan kencan.
"Loh saya belum bilang ya?" Bu Inggar terlihat mengingat-ingat. "Kata pak Nael laporannya nanti kamu urusan sama dia"
"Tadi siang saya telepon Nisa katanya sama dia urusannya, bahkan kami sudah bikin janji temu hari selasa" Hara kekeh mempertahankan jadwalnya dengan Nisa, masih tak ingin bertemu Nael untuk sementara.
"Gitu ya? Ya udah kalau kamu udah konfirm sama Nisa. Mungkin Pak Naelnya juga..." Omongan bu Inggar terputus saat mendapati ponsel di sakunya bergetar.
"Hara tolong sebentar" Bu Inggar mengangsurkan map berkasnya kepada Hara. "Ada telepon"
Hara dengan sigap menerima barang bawaan Bu Inggar, sekilas dia melirik map tersebut, rupanya Bu Inggar sebagai manager rela membawa pulang pekerjaannya demi tidak melembur di kantor.
"Ya Pak Nael?" Suara nyaring bu Inggar membuat hati Hara terkesiap. Bulunya meremang, akibat desiran aneh di perut yang kemudian menjalar ke seluruh tubuh saat nama Nael di sebutkan.
"Oh tapi tadi Hara bilang dia sudah konfirm ke Nisa dan ada meeting di hari selasa" Hara rasa-rasanya sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan ini dan bagaimana hasilnya.
Nael orang yang keras kepala dan kaku, kalau dia bilang begini maka dia akan melakukan apapun agar hasilnya begini. Entah jalan yang di tempuh itu benar atau salah. Tujuan akhirnya lah yang menjadi fokusnya.
"Oh gitu..." Bu Inggar mengangguk-angguk. "Baik deh kalau gitu" Pungkas bu Inggar.
Dari nada suaranya saja membuktikan bahwa tebakan Hara sudah sembilan puluh persen benar, sisanya hanya bergantung pada keajaiban yang tiba-tiba membuat Nael berubah.
Entahlah ya kan? Siapa tau memang Nael berubah semenjak mereka putus.
"Ok ok" Bu Inggar masih saja mengangguk-angguk dan kemudian tersenyum, "Namanya anak muda, wajarlah"
Hara menajamkan pendengarannya, tapi tak terdengar apapun.
"Iya selamat sore" Bu Inggar mematikan sambungan teleponnya, dan kembali menghadap Hara. "Kamu nggak apa-apa?" Tanyanya bingung.
Hara yang tergeragap itu pun tidak bisa menjawab. Hanya melolong menatap Bu Inggar.
"Kamu pucat, keringat kamu banyak juga" Tanya bu Inggar khawatir melihat wajah Hara yang sekarang pias.
"Oh nggak bu" Hara menggeleng kuat-kuat, ternyata reaksi tubuhnya tidak bisa berbohong, nyata menampilkan bahwa hatinya masih tidak baik-baik saja jika berhubungan dengan Nael.
"Kata pak Nael meeting-nya tetap besok, nanti detail waktunya dia hubungi kamu sendiri" Bu Inggar mengambil kembali map berkas dari tangan Hara yang masih saja melolong pucat.
"Nggak ganggu weekend kamu sama pacar kamu kan?" Bu Inggar merilekskan bahunya. "Siapa itu namanya?" Bu Inggar mengingat-ingat, dia dengar selentingan gosip dari Amir yang menjadi kurir paket.
"Rama? Pama?" Bu Inggar menyebutkan selintasan nama-nama.
"Kama" Hara spontan membenarkannya, namun masih tidak sadar apa yang dia ucapkan.
"Ah iya Kama" Bu Inggar menjentikkan jarinya. "So sweet banget sih pacar kamu, bela-belain kirim bunga sendiri kesini" Bu Inggar menepuk pelan punggung Hara.
Hara yang benar-benar tidak bisa konsentrasi itu hanya mengangguk-angguk saja. Pikirannya masih penuh oleh Nael, dirinya memang bisa bertahan tanpa Nael sejauh ini karena sibuk, tapi untuk bertemu lagi setelah pertemuan mereka yang terakhir dengan Nael yang begitu cuek dan dingin, Hara tak yakin bisa menahan diri untuk tidak menangis kali ini.
Ting
Suara lift yang datang tidak mampu membuyarkan lamunan Hara, dia masih saja tetap terpaku di tempatnya.
"Loh nggak naik Ra?" Tanya bu Inggar yang sudah ada di dalam lift.
Hara yang seakan kehilangan rohnya dan hanya menyisakan raga tanpa pikiran itu menuruti kata bu Inggar dan masuk ke dalam lift yang sore itu lumayan lenggang. Mungkin karena akhir bulan, banyak para karyawan yang lembur.
"Jadi..." Bu Inggar menoleh ke arah Hara yang ada di sebelah kirinya. "Punya salah apa Kama sama kamu, sampai-sampai ke kantor sendiri nganterin buket bunga sebagus itu" Tanya Bu Inggar mengerlingkan mata.
"Salah ngembaliin uang saya, salah nelepon saya bilang mau mati" Hara yang tanpa pikiran itu menjawab spontan.
"Wah bucin banget ya?" Pekik Bu Inggar dengan lumayan keras. Membuat empat orang yang juga berada di dalam lift mendekat ingin juga mendengar gosip romansa perusahaan dengan tingkat stres yang tinggi ini.
"Saking takutnya kamu putusin kali, jadi segitunya" Kekeh bu Inggar kemudian.
Yang lain yang juga ikut mencuri dengar memasang wajah syok bercampur penasaran, siapa pacar dari ace-nya tim audit, Ananta Hara yang terkenal perfeksionis.
"Iya kali ya bu" Hara yang masih menjadi zombie itu asal menjawab saja.
"Kerjanya apa Kama?" Tanya bu Inggar lagi, masih saja abai dengan ekspresi Hara yang kosong.
"Polisi katanya"
"Wah keren kamu, bisa cari pacar polisi" Bu Inggar menepuk pundak Hara dengan lumayan keras. Membuatnya tersentak dan kembali sadar.
"Ya bu?" Hara bertanya heran.
"Good job Ra" Bu Inggar mengacungkan jempolnya.
"Iya terima kasih" Jawab Hara bingung, kenapa dia di beri jempol.
Sementara pasukan kepo di belakang Hara sudah sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Hot news!!!
Tau bu Hara dari tim audit yang dingin, cueknya minta ampun itu? Oh my gosh!!! Ternyata dia udah punya pacar dong, police pula!!!! Bisaan ya diem-diem begitu punya pacar anggota, gila gila gila!!! Pantes di deketin cowok-cowok kantor nggak mau, seleranya yang berseragam booooo
Dan seketika gosip pun tersebar. Menimbulkan bunyi notif pesan masuk berturut-turut di ponsel hampir seluruh karyawan Frank & Co.
...****************...
Kama yang sudah seminggu ini tak tenang dan ogah-ogahan menjalani hidup, sekarang sedang tidur malas-malasan di kamarnya.
Kehidupannya serasa jungkir balik setelah dia bertemu Hara, perkara demi perkara, seakan sedang cinta-cintanya menempel pada dirinya.
Tidak konsentrasi berkerja, tidak konsentrasi mengatur lalu lintas, dan bahkan salah menilang pengendara. Sungguh hidupnya amat berantakan.
Gelisah, itulah yang Kama rasakan seminggu terakhir ini. Rasa penasaran mencekik lehernya erat, membuatnya kehilangan kesadaran.
Bagaimana bisa di episode kambuhnya, dia malah menelepon Hara, dan bagian yang terparah adalah dia sama sekali tidak ingat apa yang dia ucapkan.
Kartu nama yang sudah tak berbentuk saking seringnya dia pandangi itu masih awet bertengger di bawah lampu tidur di nakas kamarnya.
Bimbang antara harus kembali mengunjungi psikater tersebut atau memilih menahannya sendiri seperti yang selama ini dia lakukan. Memakai topeng bernama tegar, kuat dan baik-baik saja.
Saat kegalauan hatinya tak kunjung menemukan jawaban, ponsel yang tergeletak begitu saja di bawah kakinya bergetar.
Dengan malas dia menarik ponsel dengan kakinya.
Nyonya Kamira calling...
Not the right time (bukan waktu yang tepat), Kama menghela napas jengah. Tenaganya sudah terkuras habis memikirkan Hara, dia tidak punya sisa tenaga lagi untuk di gunakan bermain keluarga cemara bersama omanya.
"Ya oma?" Jawabnya dengan suara malas dan serak.
"Slaap je, lief? (Lagi tidur sayang?)" Tanya omanya begitu mendengar suara cucunya yang tidak seceria biasanya.
"Iya" Kama memilih mengiyakan saja.
"Mau jalan-jalan sama oma nggak? Sudah lama kita nggak jalan-jalan" Suara Oma yang memang halus dan lembut itu nyatanya tak mampu mengembalikan semangat hidup Kama.
"Maaf oma Kama lagi capek banget, kayaknya weekend ini Kama pengen istirahat aja" Tolak Kama dengan halus.
"Oh gitu ya?" Oma terdengar sedikit kecewa. "Kamu sih di suruh kerja di kantor aja nggak mau" Mulai lagi dengan ceramah the heirs (pewaris) yang tentu akan memakan waktu yang lama.
"Kama pengen mandiri oma" Suara Kama yang sudah jengah tapi tetap berusaha sabar.
"Tapi oma nggak tega lihat kamu panas-panasan, belum lagi kalau ada penjahat lewat gimana? Belum lagi kalau ada perang, ada tembak-tembakan" Protes oma.
"Nangkepin penjahat itu ada bagiannya sendiri oma, dan lagi nggak ada perang di sini. Oma kebanyakan nonton sinetron kayaknya" Suara Kama semakin terdengar jengah.
"Halah di mata oma semua sama aja, pekerjaan kamu berbahaya" Pungkas Oma tak mau kalah.
Kama menghela napas memilih mengalah dan diam, tidak lagi mendebat oma, sebejat-bejatnya dia, masih belum masuk taraf durhaka kepada orang tua.
"Sebentar Kama" Suara oma terdengar buru-buru. "Ya masuk" Oma terdengar sedang berbicara kepada orang lain.
Kama hanya diam mendengarkan, batinnya menggerutu kenapa omanya tidak menyudahi saja panggilan ini jika memang dia sedang berkerja.
"Jadi meeting-nya dengan Nael?" Suara oma lamat-lamat terdengar, sedang berbicara dengan seorang perempuan. "Terserah kamu saja Nisa, baiknya bagaimana"
Kama ogah-ogahan mendengarkan pembicaraan yang tidak dia pahami itu. Memilih memejamkan mata, mencoba untuk tidur.
"Tapi lebih cepat lebih baik, bukannya Hara sudah menyelesaikan laporannya?" Suara oma kembali terdengar.
Kama yang sedang memejamkan mata itupun langsung terhenyak, bangun dari tidurnya dan terduduk.
Hara?
Apakah separah itu episode-nya kali ini sampai-sampai dia berhalusinasi mendengar suara oma menyebutkan nama Hara.
Kama semakin erat menempelkan ponselnya, kali ini berharap omanya semakin banyak bicara.
"Kenapa tidak kamu dan Nael saja yang bertemu Hara?" Suara oma kembali terdengar.
Kali ini Kama yakin seratus persen dirinya tidak salah dengar juga tidak sedang berhalusinasi. Itu benar nama Hara, tapi yang jadi masalah adalah apakah Hara yang di bicarakan omanya adalah Hara yang sama yang akhir-akhir ini mengisi kepalanya. Kama tidak ingin girang dulu, dunia ini memang tak selebar daun teh, tapi berapa persen kemungkinan di kota yang berpopulasi lebih dari tiga puluh juta jiwa itu dirinya akan terhubung dengan Hara secara berturut-turut?
Mungkin cuma 0,000001 persen.
"Kalian atur saja bagaimana untuk meeting besok" Pungkas oma dan setelah itu suara kembali hening.
Meeting? Besok? Hara?
Mendadak Kama ingin menguji nol koma sekian persen kemungkinan itu.
"Oma" Teriak Kama bersemangat.
"Omaaaa" Kama kembali berteriak karena tak kunjung mendapat jawaban.
"Kama?" Kali ini suara oma sudah mulai terdengar.
"Oma besok mau meeting?" Tanya Kama tak sabaran.
"Nee (tidak)" Jawab Oma bingung mendapati Kama mendadak bersemangat.
"Tapi tadi Kama denger oma besok mau meeting?" Kejar Kama.
"Oh itu" Oma melenguh panjang. "Sekertaris oma yang ada rapat dengan perusahaan akuntan. Oma nggak perlu ikut lah" Jawab Oma santai.
"Kenapa? Kan bos harus ikut oma, biar bisa memantau pekerjanya" Bahasa Kama semakin berantakan saat sedang buru-buru.
"Oma bisa terima laporannya di kantor, tanpa perlu ikut Kama" Oma berusaha menjelaskan.
"Mana bisa begitu oma, harus turun tangan langsung" Sanggah Kama tidak terima. Namun sebelum oma curiga dan bertanya aneh-aneh Kama sudah memutuskan.
"Kalau oma nggak bisa biar Kama aja yang wakilin" Spontan Kama.
"Meen je dat serieus? (Kamu serius?)" Tanya Oma heran, mendadak Kama mau ikut campur dalam urusan perusahaan.
"Iya Oma" Jawab Kama dengan mantap. "Kapan meeting-nya?" Kejarnya sebelum oma berubah pikiran.
"Nanti biar Nisa yang hubungi kamu" Oma yang tentu saja senang dengan keputusan Kama itu tidak akan membuang-buang kesempatan. Ketertarikan Kama dengan perusahaan adalah hal yang langka.
"Siap komandan" Kama berteriak semangat.
"Love you omah, bye" Kama langsung memutus begitu saja panggilan teleponnya tanpa menunggu jawaban oma.
Adrenalinnya membuncah demi membayangkan apakah besok dirinya dan Hara bisa bertemu.
We'll see
kasih kesempatan sama Kama dong,buat taklukkin Hara😁😁
menjaga pujaan hati jangan sampai di bawa lari cowok lain🤣🤣🤣
Nggak kuat aku lihat Kama tersiksa sama Hara🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
aku bakalan nungguin kamu yang bucin duluan sama Hara😁😁😁
tiba-tiba banget Pak Polici kirim buket bunga pagi' 😁😁😁😁😁
tapi kenapa tiba-tiba Hara telp ya????