Mentari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Tari dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
"Apa maksudmu bilang 'baru celup'?Kamu mau bilang aku lemah, ya?"
Bukannya merasa senang karena sudah menyelesaikan tugasnya sebagai suami, Teguh malah jadi tersinggung mendengar ucapan istrinya. Kata-kata Tari tadi menusuk harga dirinya sebagai pria.
"Ini bukan soal itu, Mas," jawab Tari dengan nada santai. "Permainannya baru saja dimulai. Aku sendiri baru mau menikmati, eh, kamunya sudah selesai saja. Kalau begitu, gimana kalau kita lanjut ke ronde kedua?"
Tari mengucapkannya dengan begitu ringan, tanpa rasa malu sedikit pun. Bagi Tari, rasa malu bukanlah sesuatu yang perlu ada di antara suami istri. Lagipula, ia merasa punya hak untuk mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangganya.
Ia menarik napas panjang sambil memandang Teguh yang tampak salah tingkah. Sudahlah, nafkah lahirnya dari Teguh seringkali kurang, bahkan nyaris tidak ada. Kini, ia merasa nafkah batinnya pun tidak terpenuhi dengan baik.
Di kepalanya, Tari bertanya-tanya, Apa yang sebenarnya aku pertahankan di sini? Jika nafkah lahir dan batinku saja tak terpenuhi, apa artinya semua ini?
"Ah, itu kamu aja yang terlalu besar nafsunya. Udah, nggak ada ronde-ronde kedua, aku capek. Lagian Joninya udah nggak kuat lagi," seru Teguh sambil melepaskan dirinya dari sang istri.
Bruk!
Teguh langsung merebahkan tubuhnya di samping Tari. Tanpa pikir panjang, ia menarik selimut, membalikkan badan, dan tidur memunggungi istrinya.
Groookkk!
Hanya butuh beberapa menit, dengkuran kasar keluar dari mulut Teguh. Tari hanya bisa memandangi punggung suaminya dengan tatapan kosong.
"Haah... lagi-lagi seperti ini," gumam Tari dengan suara pelan. Ia menggeleng kecil, berusaha menekan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.
Tari memandang langit-langit kamar sambil menghela napas panjang. Kenapa laki-laki bisa seegois ini? pikirnya. Hatinya mendidih karena kecewa, sementara gejolak di dalam dadanya terasa semakin menyiksa.
Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa marah dan sakit hati itu sulit dibendung. Selalu begini... nggak pernah ada pengertian. Apa aku benar-benar hanya pantas menerima ini?
Bagaimana tidak, setelah ia dipancing sedemikian rupa oleh sang suami, setelah ia mulai menginginkannya dan mulai menikmati, eh suaminya udah selesai aja. Siapa yang gak kesel coba!
Mana dengan egoisnya sang suami langsung meninggalkannya tidur sambil ngorok lagi.
Sungguh, ingin rasanya Tari mencekik suaminya sampai mampus!
"maunya enak sendiri, gak pernah mikirin bagaimana tersiksanya aku menahan gejolak ini, dasar suami zolim! Ku doakan kamu jadi kere selamanya!" dalam hati Tari terus misuh- misuh, bahkan tidak sadar telah mendoakan keburukan untuk suaminya.
Tari sangat kesal karena harus berusaha dengan sangat keras untuk meredam keinginannya yang belum tuntas.
Ia menatap langit-langit kamar dengan mata yang masih menyala penuh emosi. Perasaan itu begitu menyesakkan, membuatnya harus berjuang keras untuk meredam keinginan yang belum tuntas.
"Kenapa begini terus? Apa aku memang tidak pantas mendapatkan kebahagiaan sepenuhnya?" bisik Tari pada dirinya sendiri.
Setelah berjuang menenangkan gejolak di dadanya, akhirnya Tari berhasil mengendalikan diri dan tertidur lelap.
Namun, sekitar pukul tiga dini hari, suara alarm ponselnya yang keras membangunkannya.
"Apaan sih, berisik banget!" gerutu Teguh dengan nada kesal, sambil melirik Tari dengan tatapan tajam.
Tari hanya mendengus kecil sambil mengulurkan tangan untuk mematikan alarm. "Maaf," gumamnya pendek, mencoba menahan rasa kesal yang mulai muncul.
Ia meraih handuk yang tergantung di sisi pintu kamar, lalu melangkah keluar menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, tetapi ia tak memperdulikannya.
Semangat thor