Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18. FOTO
..."Permainan apa yang sedang berlangsung...
...Sandiwara apa yang sedang dimainkan...
...Kau mengombang-ambingku...
...Layaknya perahu lusuh di tungku laut...
...Pusing, memuakan, marah...
...Tapi tetap ingin melihat ujungnya."...
Pekerjaanku tidak sebanyak yang kupikirkan. Rupanya Andre mengambil alih pekerjaanku selama aku tidak masuk, mengerjakan pekerjaan yang seharusnya bukan bagian dari pekerjaannya. Kurasa aku harus berterima kasih padanya nanti, mungkin mentraktirnya.
Sebuah tangan menaruh sekotak susu berukuran sedang ke atas mejaku saat aku fokus dengan apa yang kukerjakan. Kulihat pemilik tangan tersebut, menatapnya tidak percaya ketika ia memberikan sesuatu kepadaku. Seperti biasa, ia berada di sampingku dengan kursi beroda sebagai tempatnya duduk.
“Apa itu?” tanyaku seperti orang bodoh, jelas sekali itu susu, ‘kan.
“Apa karena lo sakit pikiran lo jadi kacau? Anak SD aja tahu kalau ini susu,” jawabnya yang membuatku menarik napas dalam, sabar Ayuni.
“Maksud gue untuk apa?” tanyaku mencoba menahan diri untuk tidak mengamuk setelah libur cukup lama untuk istirahat.
“Untuk lo tentu aja. Lo baru sembuh dari sakit dan harus kerja, dan yang lo butuhin sekarang adalah sekotak susu untuk membuat tubuh lo kuat,” jelasnya tak terduga, dan menggelikan seperti biasa.
“Untuk gue? Serius?” tanyaku skeptis, tahu kalau setiap perbuatan baik pria ini selalu ada ujungnya, traktiran.
“Apa gue keliatan bercanda sekarang? Kalau nggak mau, yasudah.” Ia mengambil kembali susunya, merasa kesal karena ucapanku—pura-pura.
“Ah, tunggu, tunggu. Oke, gue ambil. Makasih,” kataku setelah merebut kembali susu kotak pemberiannya.
Ia tersenyum dengan wajah konyolnya. Tiba-tiba ia mendekatkan dirinya ke arahku, berbisik seakan tidak ingin ada yang mendengarkan ucapannya. “Gue dengar dari Rini, kalau lo nyaris diculik lagi hari minggu kemarin, apa itu benar?”
Alisku bertaut ketika mendengar kabar itu. “Kayak mana bisa Rini ngasih tahu itu ke lo? Padahal nggak mungkin kalau Rini sampai bisa bilang itu?”
“Lo mau tahu kayak mana gue bisa buat Rini ngomong?” tantangnya.
Aku menganggukkan kepalaku.
“Gue ngikutin dia terus kemanapun, karena nggak sengaja denger dia ngobrol sama Dini. Pas gue tanya dia nggak mau jawab, jadi gue ikutin aja sampai dia bilang,” jawabnya yang membuatku mengasihani Rini karena harus berurusan dengan pria ini.
“Ternyata lo serem juga, ya,” gumamku.
“Jadi, itu bener?” tanyanya terkejut—berlebihan seperti biasa dengan cara dramatisnya.
Aku menceritakan kejadiannya, walau tidak seluruhnya. Aku mengatakan kalau tidak sengaja menelepon Bos Juna karena ketakutan, dan kelihatannya ia percaya. Tentu saja aku tidak ingin menjadi bahan gosip di tempat ini karena hubunganku dengan Bos Juna yang dekat. Itu tidak ada urusannya dengan mereka, kan.
Andre kesal karena kenapa bukan dirinya saja yang ditelepon, karena dengan begitu ia bisa berkelahi dan berpura-pura menjadi pahlawan. Pikiran macam itu, entah sekacau apa pikirannya hingga bisa sampai berpikir ke sana. Namun, terlihat kilatan amarah saat ia mendengar penjahat itu lagi, mungkin karena sebelumnya dirinyalah yang berkelahi dengan penjahat itu dan sempat kabur. Dendam bisa jadi.
“Lain kali lo telepon aja gue, jangan telepon Bos. Rasanya kesal kalau gue nggak tahu apapun yang terjadi sama lo,” katanya yang semakin lama semakin pelan hingga nyaris tak bisa kudengar.
Aku memerhatikannya. Wajahnya terlihat tidak senang, sikap konyol dan berisiknya seketika hilang begitu saja. Sepertinya ia merasa bersalah karena tidak tahu apapun padahal kami sudah menjadi teman dekat. Terkadang sikap khawatirnya benar-benar membuatku mengerti alasan kenapa aku bisa dekat dengannya di balik sikap menyebalkan dan sok dramatisnya itu.
“Ngomong-ngomong, keliatannya ada lubang di baju di ketiak kanan lo,” bisiknya. “Apa lo nggak malu?”
“Eh?! Apa iya?” Spontan aku mengangkat tangan kananku, melihat apakah benar ada lubang di bajuku. Sejak kapan?!
“Oke, Ayuni yang pergi!” seru Pak Yudi dari Tim Layanan Khusus, menunjukku entah karena apa.
“Eh?!” Aku melihat ke arah Pak Yudi, semua mata melihat ke arahku. “Pergi? Pergi kemana?” tanyaku bingung, karena tidak tahu apa-apa.
“Bukannya tadi udah ditanya siapa yang mau pergi untuk nemenin Bos ke pertemuan sama investor lusa nanti. Kamu nunjuk berarti kamu yang pergi sebagai asisten Bos, inget. Nanti saya kasih rinciannya,” jelas Pak Yudi dengan senyum kemenangan. Kurasa itu karena ia ataupun yang lain bebas dari Bos Juna yang bagi mereka cukup dingin dan pemarah.
“Andre!” seruku kesal, dan orang-orang yang mendengarkan hanya tertawa karena mereka tahu apa yang Andre lakukan padaku.
Dengan cepat aku melihat ke arah Andre, karena ia yang membuatku sengaja menunjuk diri dengan berbohong kalau pakaianku berlubang. Tapi, belum sempat marah ia sudah berpindah ke mejanya dengan senyum jahilnya. Baru juga masuk kerja, tapi dengan mudahnya menjadi bahan usilan pria itu.
Sepanjang hari aku merevisi artikel untuk majalah minggu ini. Aku menikmati pekerjaanku, walau hanya satu yang kusayangkan. Aku tidak melihat Bos Juna di kantor hari ini. Mereka mengatakan kalau Bos Juna tidak berada di kantor sejak beberapa hari lalu. Ia mengurus banyak hal di luar, bahkan mereka menunda memberikan laporan mengenai majalah yang akan terbit minggu ini karena tidak hadirnya Bos. Ada yang mengatakan juga kalau Bos Juna sedang bertemu dengan pimpinan besar Queen Magazine untuk mendiskusikan sesuatu.
Rini dan Dini tidak berhenti menggodaku tentang apa yang terjadi padaku dan Bos Juna, padahal mereka tidak sepenuhnya tahu mengenai ketidakhadiran Bos Juna pada janjinya minggu kemarin.
Tapi, menurut mereka berdua Bos Juna menungguku hingga ia tertidur saat menunggu Dini dan Rini pulang ke rumah. Mereka mengaku kalau terlambat pulang karena hujan lebat saat itu, dan terkejut ketika melihat Bos Juna yang tertidur di kursi dengan bersedekap. Entah aku harus percaya atau tidak. Namun, karena hal itu justru membuatku menjadi bahan bully-an mereka untuk digoda habis-habisan.
“Mbak, artikel yang saya kerjain hari jum’at kemarin dimana ya?” tanyaku pada Mbak Dewi yang juga masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Kalau nggak salah ada di meja Bos. Kamu cari aja di mejanya, sekalian kamu revisi lagi karena kata Bos kalimatnya terlalu panjang,” jawab Mbak Dewi tanpa menghentikan aktivitasnya.
“Oke, makasih, Mbak.”
Segera aku ke ruangan Bos Juna, dengan langkah cepat karena ingin segera menyelesaikannya mengingat jam pulang semakin dekat.
Hawa dingin dari pendingin ruangan menerjangku ketika aku membuka pintu. Mungkin karena tidak ada Bos Juna seharian dan tidak ada yang memasukinya, jadilah udara dingin tersimpan dengan baik dan menguap keluar ketika aku membuka pintu.
Kulihat beberapa kertas bergoyang akibat angin AC, terlalu dingin hingga membuatku ingin segera keluar dari ruangan ini. Kucari artikel yang kutanya ke Mbak Dewi tadi di atas meja kerja Bos Juna yang menumpuk banyak sekali berkas. Kurasa Bos Juna akan pusing ketika ia datang nanti dan mendapati mejanya penuh dengan kertas tak beraturan itu.
“Ini dia,” gumamku ketika menemukan yang kucari.
Akan tetapi, sesuatu di antara berkas di meja Bos Juna menarik perhatianku. Kusingkirkan berkas di atasnya, melihat apa yang menyembul di antara kertas yang kukira adalah bagian dari berkas atau artikel yang bertumpuk di meja ini.
Mataku membelalak saat kulihat dua lembar foto yang mengejutkanku. Membuat otakku bekerja dengan lambat untuk memeroses apa yang kulihat saat ini.
“Kenapa ini bisa ada di sini?” gumamku. Kuambil dua foto tersebut dan memandangnya seksama. “Fotoku?” sambungku.
Aku yakin, bahkan sangat yakin kalau foto-foto ini saat aku masih berada di bangku kuliah—semester akhir. Aku duduk di cafe ini, tempatku biasa menghabiskan waktu dengan dua temanku, dan saat itu aku sedang menunggu mereka berdua. Fotoku dan kakakku juga diambil di waktu yang tidak terlalu jauh dari foto satunya.
Kenapa foto-foto ini ada di sini?
Aku tidak ingat kalau aku pernah bertemu dengan Bos Juna sebelumnya saat aku kuliah. Kalau pun ia adalah kenalan kakakku, ia pasti tahu atau kakakku tahu kalau aku bekerja dengannya. Tapi, ketika pertama kali masuk kerja di sini, aku dan Bos Juna terlihat seperti orang asing, tidak saling kenal sama sekali.
Lalu ada apa dengan foto-foto ini? Apakah ada orang yang menaruh foto di atas mejaku saat aku tidak masuk, dan itu dilihat oleh Bos Juna kemudian diambil agar karyawan lain tidak lihat lalu menyimpannya untuk diberikan padaku nanti? Hanya itu praduga yang mampu otakku dapatkan untuk sekarang.
Oh, aku tidak mengerti apapun.
Aku tidak tahu harus bersikap dan berpikir bagaimana.
Mana yang harus kupercaya?