Quinevere King Neutron, putri Nathan Ace Neutron bersama dengan Clementine Elouise King, kini sudah tumbuh menjadi seorang gadis dengan kepribadian yang kuat. Tak hanya menjadi putri seorang mantan mafia, tapi ia juga menjadi cucu angkat dari mafia bernama Bone. Hidup yang lebih dari cukup, tak membuatnya sombong, justru ia hidup mandiri dengan menyembunyikan asal usulnya. Quin tak pernah takut apapun karena ia sudah banyak belajar dari pengalaman kedua orang tuanya. Ia tak ingin menjadi pribadi yang lemah, apalagi lemah hanya karena cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pansy Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUKA MATAMU
“Kita pulang,” kata Quin.
Quin membantu Rea bersiap karena dokter sudah mengijinkan sahabatnya itu untuk pulang. Namun sebelum Quin benar-benar pulang, seorang dokter tampak memasuki ruangan.
“Dok,” sapa Rea.
Quin yang awalnya sedang fokus merapikan beberapa barang Rea pun mengangkat wajahnya.
“Hart!” Akhirnya Quin mengenali dokter yang merawat Rea, karena kali ini dokter tersebut tak mengenakan maskernya.
“Akhirnya kamu mengenaliku juga,” ujar Arthur tersenyum tipis.
Arthur Hart Smith adalah putra sulung Anzel Zeyn Smith. Sudah sekitar empat tahun Quin tak bertemu, meskipun mereka adalah saudara sepupu. Saat ini ia sedang melanjutkan kuliah spesialisnya, sekaligus magang di salah satu rumah sakit di Kota London itu.
Plakkk
“Mengapa tak menyapaku sejak awal?” Quin yang kesal pun memukul bahu Arthur.
“Aku hanya ingin mengujimu, tapi ternyata ingatanmu memang pendek. Payah sekali!” ujar Arthur.
“Hei, hei! Berani sekali kamu mengataiku payah. Begini-begini aku lulusan terbaik,” kata Quin dengan bangga. Ia harus membanggakan dirinya di depan Arthur karena Arthur adalah sepupunya yang sangat cerdas.
Arthur mengusap pucuk kepala Quin. Meskipun usia mereka hanya berbeda satu tahun, tapi Arthur selalu menganggap Quin seperti adik kecilnya yang perlu dimanja.
“Ya, kamu memang selalu yang terbaik. Jadi, mau apa sebagai hadiah?” tanya Arthur.
Quin mengetukkan jari telunjuknya ke pipi seraya berpikir, “Bagaimana kalau rumah mewah, mobil mewah, atau jalan-jalan keliling dunia.”
Pletakkk
Arthur langsung menyentil dahi Quin, “minta sama Daddymu saja kalau itu.”
Quin dan Arthur pun tertawa bersama, menyisakan Rea dengan tatapan bingung saat melihat keduanya yang terlihat begitu dekat, pasalnya Quin tak pernah menceritakan tentang sahabat atau kenalannya.
“Quin …,” Quin pun menoleh saat Rea memanggilnya. Dia baru tersadar bahwa di ruangan tersebut tak hanya ada dirinya dan Arthur.
“Ya ampun, maafkan aku, Re,” Quin menarik tangan Arthur lalu berjalan mendekati Rea, “Kenalkan, ini Arthur, sepupuku.”
Arthur, itulah nama yang dikenal oleh orang-orang, sementara untuk keluarga dan orang-orang terdekat, mereka akan memanggil nama tengahnya, yakni Hart.
“Arthur,” Arthur mengangkat tangannya untuk bersalaman dengan Rea.
“Rea,” Rea pun menyambut tangan Arthur. Hanya saja ia bingung, bagaimana bisa Quin memiliki sepupu seorang dokter, bahkan wajahnya terlihat tampan, layaknya pangeran-pangeran yang sering ia lihat di film disney.
Namun, ia buru-buru melepaskan tangannya, sebelum sepupu sahabatnya itu merasakan detak jantungnya yang begitu cepat, serta kegugupannya.
“Aku akan menyelesaikan administrasi, jadi aku titip sahabatku dulu,” pinta Quin pada Arthur.
“Hmm,” Arthur menganggukkan kepala sebelum Quin akhirnya pergi meninggalkan ruang perawatan tersebut.
Kini di dalam ruang perawatan hanya menyisakan Rea dan Arthur. Keduanya hanya diam karena mereka tak terlalu saling kenal dan tak ada bahan juga untuk diperbincangkan.
Ingin sekali Rea bertanya tentang siapa sebenarnya Quin. Pasalnya Quin bisa membayar semua biaya perawatan dirinya, bahkan ruang tempat ia dirawat pun adalah kelas atas, yang tentu tak murah harganya. Pikiran-pikiran buruk mulai berkecamuk di dalam kepalanya.
Rea tak ingin banyak bicara dan berinteraksi dengan sepupu Rea. Arthur juga sepertinya hanya diam menatap ke arah ponselnya, tak ingin berinteraksi dengannya. Rea cukup bernafas lega karena itu.
Pintu akhirnya terbuka, menampakkan wajah Quin. Hal itu membuat Rea lebih lega karena kini kecanggungan dan kesunyian di dalam ruangan tersebut menghilang.
“Kita pulang sekarang, Re,” ajak Quin.
“Aku akan mengantarmu,” kata Arthur.
“Bukankah kamu harus bekerja?” tanya Quin.
“Hari ini jadwalku sudah selesai dan hanya ada shift lagi besok malam, jadi aku bisa mengantarmu,” kata Arthur.
“Baiklah kalau begitu, lumayan numpang mobil Pak Dokter,” ujar Quin sembari bercanda.
Lagi dan lagi Arthur mengusap pucuk kepala Quin, membuat Rea semakin tak enak hati berdekatan dengan keduanya. Ntah mengapa ia merasa berbeda jauh, ada sesuatu yang mulai membatasi antara dirinya dengan Quin.
Kini ketiganya ada di dalam mobil. Arthur dan Quin di kursi depan, sementara Rea berada di kursi belakang. Tanpa perintah, Arthur menjalankan mobilnya dan mengarahkannya menuju ke apartemen Quin.
“Kamu tahu apartemenku?” tanya Quin.
“Tentu saja aku tahu,” jawab Arthur, “Uncle dan Aunty yang memberitahukannya padaku. Mereka sangat kuatir padamu, Quin.”
“Lalu mengapa kamu tak pernah mengunjungiku?” tanya Quin lagi.
“Malas,” jawab Arthur setengah bercanda.
Quin mencebikkan bibirnya dan menatap kesal ke arah Arthur.
“Maaf, maaf, sebenarnya aku baru satu bulan di sini dan belum sempat berkeliling,” Arthur akhirnya memberikan alasan mengapa ia belum mengunjungi Quin.
“Uncle dan Aunty bilang kamu akan melanjutkan pendidikan master-mu di Oxford, benarkah?”
“Ya, aku mendapatkan beasiswa.”
“Pintarnya,” lagi dan lagi Arthur mengusap pucuk kepala Quin sambil tersenyum, “mengapa kamu tidak mengambilnya di Belgia, bisa dekat dengan kedua orang tuamu, atau ke Swiss, ada Grandpa dan Grandma di sana?”
“Aku kan cari gratisan,” ungkap Quin dan kembali tertawa.
“Orang tua-mu lebih dari mampu kalau hanya menguliahkanmu, Quin. Bahkan mungkin mereka bisa memberikan apapun yang kamu mau,” kata Arthur lagi.
Deghhh
Rea yang duduk di kursi belakang, tak ikut bicara, tapi terus mendengar bagaimana keduanya berbicara. Ia mulai mengambil kesimpulan bahwa Quin dan Arthur bukanlah orang sembarangan.
Apa selama ini ia hanya berpura-pura di depanku? Apakah ia juga salah satu dari mereka? - batin Rea.
Jujur, Rea cukup takut dengan yang namanya orang kaya. Keluarganya hancur tak bersisa karena perbuatan orang-orang kaya yang begitu egois dan memandang semua dari harta. Takut? Ya, Rea mulai ketakutan dan ada sesuatu di dalam hati dan pikirannya yang mengatakan bahwa ia harus pergi.
“Quin …,” gumam Rea sangat pelan, hingga Quin tak akan mungkin mendengarnya.
Pikiran Rea begitu kacau, bahkan ingatan masa kecil dan masa remajanya seakan kembali datang dan berputar-putar di kepalanya. Ia memegang samping kepalanya hingga tanpa sadar tangannya memegang handle pintu.
Ceklekkk
Quin menoleh ke belakang karena mendengar suara pintu terbuka. Wajahnya langsung pias saat melihat Rea mengeluarkan tubuhnya dari mobil.
“Rea, apa yang kamu lakukan?!” teriak Quin.
Arthur yang juga kaget pun langsung menghentikan kendaraannya, untung saja mobil di belakangnya tak terlalu dekat. Namun, kejadian begitu cepat, hingga Rea sudah terjatuh di jalan dengan pelipis dan beberapa bagian tubuh yang terluka.
“Rea, buka matamu!” Quin menepuk pipi Rea perlahan, hingga Rea membuka mata.
“Kita bawa ke rumah sakit, Quin,” ujar Arthur. Jiwa sosialnya kembali muncul saat melihat seseorang yang terluka di hadapannya.
Arthur dengan sigap namun perlahan, menggendong Rea, sementara Quin membukakan pintu belakang. Keduanya kembali masuk ke dalam mobil dan Arthur memutar untuk kembali membawa mobilnya ke rumah sakit.
“Quin ….,” gumam Rea pelan.
“Jangan banyak bicara, kamu akan baik-baik saja,” kata Quin. Ingin ia bertanya mengapa dan mengapa Rea melakukan hal seperti tadi, tapi melihat keadaan Rea yang tidak baik-baik saja, jadi mengurungkan niat Quin.
“Ma-af,” Rea kembali berbicara dengan pelan, sambil mengangkat sebelah tangannya dan memegang pipi Quin. Dan tiba-tiba tangan tersebut jatuh dan Rea pun memejamkan matanya.
“Rea! Bangun, buka matamu.”
🌹🌹🌹