Hilya Nadhira, ia tidak pernah menyangka bahwa kebaikannya menolong seorang pria berakhir menjadi sebuah hubungan pernikahan.
Pria yang jelas tidak diketahui asal usulnya bahkan kehilangan ingatannya itu, kini hidup satu atap dengannya dengan status suami.
" Gimana kalau dia udah inget dan pergi meninggalkanmu, bukannya kamu akan jadi janda nduk?"
" Ndak apa Bu'e, bukankah itu hanya sekedar status. Hilya ndak pernah berpikir jauh. Jika memang Mas udah inget dan mau pergi itu hak dia."
Siapa sebenarnya pria yang jadi suami Hilya ini?
Mengapa dia bisa hilang ingatan? Dan apakah benar dia akan meninggalkan Hilya jika ingatannya sudah kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
STOK 04: Status Janda Tidak Jadi Masalah
Beberapa hari berlalu setelah kejadian Raka pingsan, kini kondisinya sudah lumayan lebih baik. Ia juga bisa beraktivitas dengan baik. Tapi, tanpa sepengetahuan Hilya dan keluarganya, setiap malam sakit kepala yang dialami oleh Raka semakin sering dan juga rasa sakitnya semakin hebat.
Keringat dingin sampai keluar dari pori-pori kulitnya jika itu terjadi. Dan menjelang pagi ia pasti akan berganti pakaian lalu mencuci sendiri pakaian yang basah oleh keringat.
" Mas beneran nggak apa-apa. Kok pucet sih Mas, ke dokter aja yuk periksa."
Raka menggelengkan kepalanya pelan ketika Hilya mengatakan hal tersebut. Baginya semua yang sudah dilakukan Hilya bersama bapak dan ibunya sudah cukup selama ini. Dia tidak ingin merepotkan lebih banyak lagi.
" Hil, ada nggak ya yang bisa aku kerjain. Aku ini suami mu tapi aku belum pernah ngasih nafkah untukmu. Bahkan mas kawin yang kuberikan saat kita nikah aja sepertinya tidak pantas."
Hilya terdiam sejenak, mencoba memikirkan sekiranya apa yang Raka akan coba lakukan. Tapi melihat kondisi Raka yang seperti itu agaknya Hilya juga tidak bisa meminta pria itu mengerjakan pekerjaan yang berat atau kasar.
" Sementara ini bantuin aku aja Mas di kebun. Bentar lagi mau panen, nah pasti banyak yang harus dikerjain."
Raka menghembuskan nafasnya secara perlahan. Sepertinya memang tidak banyak yang ia bisa lakukan. Ia pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum kepada Hilya. Saat ini ia sedang membantu Hilya memberi pupuk di kebun. Walaupun perlahan dan tampak kaku namun kali ini Raka bisa melakukannya dengan sangat baik.
Brussshhhh
Hujan tiba-tiba datang. Raka meraih tangan Hilya dan membawa istrinya ke gubuk yang ada di sekitar kebun sayur itu. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan hari ini, langit tampak cerah tidak ada sedikitpun awan mendung. Maka dari itu mereka pun juga tidak membawa payung ataupun jas hujan.
" Yaah ujan," keluh Hilya sambil mengibas-ibaskan air yang sudah terlanjur mengenai baju dan juga hijabnya.
"Jangan khawatir, paling ini nggak lama. Duduk sini dulu aja Hil," ucap Raka. Ia menepuk bangku sebelah dirinya duduk di sana. Hilya tersenyum cerah dan mengikuti Raka yang duduk.
Kini mereka terdiam, keduanya bingung apa yang harus mereka bicarakan saat ini. Tapi beruntung suara hujan membuat suasana di tengah kebun itu menjadi tidak sepi dan tidak canggung pastinya.
" Hil, bagaimana kamu dulu, maksudku kamu dulu kuliah dimana dan kenapa kok kamu nggak milik kerja di perusahaan atau perkebunan? Kita menikah sudah dua bulan, tapi aku nggak tahu apapun soal kamu. Ya walaupun pernikahan kita ini tidak sepeti pernikahan pada umumnya."
Hilya sedikit merasa heran, selama ini tidak pernah mereka berbicara seperti ini. Mereka tidak pernah membicarakan tentang diri mereka.
" Aku dulu kuliah di Jogja. Ehmm, aku emang ngambil jurusan pertanian karena mau ngembangin perkebunan punya bapak dan ibu. Ini adalah satu-satu mata pencaharian mereka, dan dengan ini pula aku bisa kuliah. Aku juga mau perkebunan ini lebih berkembang dengan ilmu yang aku miliki. Gimanapun juga masih ada Hafiz kan, aku mau Hafiz bisa menggapai cita-citanya juga yang tinggi."
Raka takjub dengan apa yang dikatakan oleh Hilya. Usia Hilya baru 23 tahun, tapi pola pikir wanita itu sungguh luar biasa dewasa. Biasanya wanita seusia Hilya akan memilih perkejaan yang bergengsi, apalagi dia lulusan terbaik di salah satu universitas ternama di Yogyakarta. Pasti banyak perusahaan yang akan meminangnya.
" Emangnya apa cita-cita Hafiz?"
" Tentara, anak itu bercita-cita untuk masuk AKMIL, Mas."
Tara Tersenyum mendengar cita-cita Hafiz--adik dari Hilya itu. Dia sepeti mengingat sesuatu. Kata tentara dan jenis profesi itu seperti tidak asing baginya. Tapi lagi-lagi dia tidak bisa mengingat apapun.
" Waah cita-cita yang keren, semoga Hafiz bisa mewujudkan apa yang ia inginkan. Aamiin."
Rupanya saling berbicara seperti ini mengasyikan juga. Karena akhirnya Raka banyak mengenal Hilya dna juga keluarganya. Setidaknya jika suatu hari dia mengingat tentang siapa dirinya maka ia akan membalas budi atas semua kebaikan yang Hilya dan keluarganya berikan.
Tidak terasa obrolan mereka menjadi panjang, dan hujan pun berhenti. Hilya tampak senang, ia mengajak Raka untuk pulang ke rumah saja dan meninggalkan pekerjaan di kebun. Hilya masih khawatir jika Raka akan kembali sakit.
" Ujannya deres, untung kalian nggak basah," ucap Yani kepada Hilya dan Raka.
" Iya Bu'e tadi ngiyup (neduh) di gubuk."
Yani tersenyum melihat anak dan menantunya itu, tapi saat keduanya masuk ke kamar masing-masing, senyumnya tiba-tiba hilang. Ia tahu pernikahan ini hanya untuk menyelamatkan nama anaknya dan memberi tempat untuk Raka. Bahkan pernikahan mereka tidak didaftarkan pada kantor urusan setempat. Bagaimana mau di daftarkan jika Raka sama sekali memiliki kartu identitas diri.
Sungguh ini membuat Yani berpikir keras. Jika suatu hari nanti ingat siapa dirinya sesungguhnya, pastilah pemuda itu akan kembali ke kehidupannya. Dan bukankah nanti putrinya akan menjadi janda? Aaah, itulah yang menjadi beban pikiran Yani. Status janda selalu tidak baik dalam masyarakat.
" Aku rapopo Bu'e, mungkin kita emang diminta Gusti Allah buat nolong orang itu."
Seperti itulah ucapan Hilya waktu itu. Hilya, gadis yang hidup bersama kedua orang tuanya memang gadis yang baik dan tidak aneh-aneh. Maka dari itu banyak yang mengincar Hilya untuk dijadikan menantu. Dan kedatangan pemuda asing serta tidak dikenal membuat orang-orang yang menginginkan Hilya menjadi istri atau menantu mereka menjadi kecewa.
Efek dari pernikahan Hilya juga bukannya biasa-biasa saja. Beberapa orang yang awalnya memuji HIlya menjadi mencemooh. salah satu sepeti yang dilakukan oleh Anjar--istri dari kepala desa setempat.
Cekleek
" Nduk, ada yang mau Bu'e omongin," ucap Yani kepada putrinya.
Hilya mengangguk lalu duduk berhadapan dengan Yani. Kesepuluh jarinya saling bertaut dan meremass satu sama lain. Hilya memiliki sebuah firasat bahwa Ibunya itu akan membicarakan perihal Raka.
" Apa rencanamu ke depannya nduk? Maksud ibu, setelah Raka kembali mengingat dirinya?"
" Ehmm, ya nanem kentang lagi, atau cabe, atau apalah yang jelas musimnya cocok buat nanem."
Yani membuang nafasnya kasar. Dari jawaban anak perempuannya jelas sekali bahwa Hilya berpikir dengan sangat sederhana dan tidak peduli akan dirinya.
Yani sangat paham anaknya adalah anak yang cerdas. Jadi ia pasti paham kemana arah pembicaraan sang ibu.
" Nduk bukan itu yang Bu'e maksud."
" Bu'e, jika Mas Raka mengingat semuanya dan pergi ya itu emang udah seharusnya. Lagi pula dari awal kan emang Hilya setuju menikah. Dan jika nanti Mas Raka menjatuhkan talak sehingga Hilya berstatus janda ya ndak ada masalah. Bu.e jangan khawatir tentang hal-hal yang tidak perlu. Semua akan baik-baik saja hmmm."
Hilya meraih tangan Yani dan menggenggamnya erata. Air mata Yani luruh. Diluar dia memang terlihat tegar ketika anaknya dihujat tapi ketika melihat sang putri rasa sesak di dadanya meluap.
" Bu'e, Hilya baik-baik saja. Jangan menangis. Kalau omongan tetangga kebangetan, Bu'e tinggal pergi aja. Jangan didengerin."
" Ya nduuk, kamu udah gede. Bu'e yakin kamu tahu yang terbaik buat dirimu sendiri."
Nyuuut
Dibalik ruangan tersebut, rupanya Raka mendengarkan semua yang diucapkan oleh ibu dan anak itu. Dadanya terasa ngilu sepeti disayat tajamnya bilah bambu. Ia baru sepenuhnya menyadari bahwa Hilya sungguh-sungguh tulus dalam menolongnya.
Selama ini dia acuh dengan omongan para tetangga. Tanpa ia sadari itu membuat keluarga Hilya merasa sakit hati.
" Aku berjanji, jika ingatanku kembali, aku tidak akan meninggalkanmu Hilya."
TBC
banyak typo 🤭