Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Bab 31. Kebenaran
Ketukan ringan terdengar di pintu.
“Leon,” suara Eric dari luar. “Kau belum tidur?”
Leon menoleh ke arah pintu, lalu duduk tegak. Suaranya terdengar lelah tapi tetap cukup keras menjawab, “Masuk saja, Ric.”
Pintu terbuka pelan, dan Eric muncul dengan sebuah cangkir kopi di tangan. Ia menutup pintu kembali dan menatap sahabatnya yang masih mengenakan sebagian kostum cosplay Minato dengan napas berat dan mata kosong.
“Kelihatannya kau butuh ini.” Eric mengangkat satu lagi cangkir di tangannya. “Kopi hitam, tanpa gula.”
Leon tersenyum tipis. “Kau selalu tahu apa yang kubutuhkan.”
“Kau selalu kelihatan lebih waras setelah dua teguk kafein,” Eric menanggapi dengan nada ringan, lalu melangkah menuju balkon kamar hotel yang menghadap panorama kota malam. Leon mengikuti di belakang, membawa kopinya.
Udara malam sejuk menyapu wajah mereka saat keduanya duduk berdampingan. Lampu kota berkelap-kelip jauh di bawah sana, gemerlap yang kontras dengan kekacauan di kepala Leon.
Beberapa detik hanya diisi diam. Lalu Eric membuka suara, “Kau belum tidur?” tanya Eric lagi memastikan ia tidak menggangu waktu istirahat Leon.
Leon menggeleng pelan. “Nggak bisa. Sejak kejadian tadi sore ... pikiranku nggak berhenti memutar ulang semuanya.”
“Sharon?” tebak Eric pelan, mengangkat alis.
Leon mengangguk, lalu menyeruput kopi perlahan. “Bukan cuma dia. Tapi juga anak-anak itu. Xaviera dan Xaviero.”
Eric menoleh cepat. “Anak-anak itu? Kenapa?”
Leon menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosinya. “Ada sesuatu tentang mereka yang ... terasa familiar, Ric. Terlalu familiar.”
Ia memandangi langit gelap di atas sana, seolah mencari petunjuk dari bintang yang tersembunyi.
“Sejak melihat Sharon dan dua anak itu, ada yang bergetar dalam kepalaku. Sesuatu yang seperti ... potongan puzzle yang nyaris cocok, tapi belum sepenuhnya masuk ke tempatnya.”
“Seperti ingatan?” tanya Eric hati-hati.
Leon mengangguk perlahan. “Iya. Aku mulai ingat sesuatu. Tentang seorang wanita yang datang padaku, marah ... terluka. Dia bilang dia hamil dan anak itu milikku.” Leon menelan ludah, tangannya menggenggam erat cangkir. “Wajah wanita itu dulu selalu kabur dalam ingatanku. Tapi malam ini … wajah itu mulai jelas. Dan wajah itu—mirip Sharon," ucapnya sedikit terbata sambil menatap hamparan langit yang hitam pekat tanpa ada satu pun bintang menghiasinya.
Eric tak langsung menanggapi. Ia memandangi Leon dengan ekspresi khawatir. “Apa kamu yakin itu bukan hanya imajinasimu? Kau baru saja bertemu Sharon. Bisa saja itu cuma ilusi karena pikiranmu campur aduk," pancing Eric berusaha perlahan membuka pikiran Leon.
“Aku tahu bagaimana rasanya delusi, Ric. Ini bukan itu.” Leon menatap sahabatnya, sorot matanya tajam. “Aku bahkan ingat percakapan kami. Kata-katanya. Kemarahannya. Keteguhannya saat bilang dia hanya ingin aku tahu bahwa anak itu ada. Bahwa aku ayahnya.” Suara Leon terdengar serak. Emosinya campur aduk. Bahkan dadanya terasa sesak kala mengingat kata-kata itu.
Eric menghela napas pelan, mencoba mencerna semuanya. “Tapi kalau memang Sharon wanita itu ... Lantas kau mau apa?"
Leon diam beberapa saat, lalu menjawab lirih, “Aku nggak tahu. Tapi yang jelas, saat itu ... aku adalah orang yang jahat. Dan kalau mereka benar-benar anakku … aku sudah meninggalkan mereka selama enam tahun, Ric.” Suaranya bergetar, dan ia menunduk menahan emosi. “Tuhan... aku bahkan nggak tahu nama lengkap anak-anakku.”
Eric memejamkan mata sesaat. Hatinya ikut tercekat. "Leon, kalau boleh, aku ingin menceritakan satu hal padamu?"
"Apa itu?"
"Ini ... mengenai masa lalumu. Masa sebelum kau kehilangan separuh ingatanmu," ucap Eric pelan. Sepertinya ini sudah saatnya untuk ia menceritakan perihal siapa Sharon sebenarnya.
Eric menatap cangkir di tangannya, mengaduk kopi yang sudah mulai dingin. Ada kegamangan dalam gerak tubuhnya, seolah apa yang hendak ia katakan akan mengubah segalanya.
“Leon .…” Eric memulai, suaranya pelan dan hati-hati. “Sharon bukan orang asing dalam hidupmu. Bahkan sebelum hari ini, dia sudah pernah muncul. Dan seharusnya, kalau kau tidak kehilangan ingatan waktu itu … kau pasti ingat.”
Leon menoleh cepat, napasnya tertahan. “Apa maksudmu?”
Eric memandang sahabatnya dalam-dalam, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Sharon ... dia wanita yang pernah kau habiskan malam bersamanya. Waktu itu, sekitar enam setengah tahun yang lalu. Sebelum semua kekacauan terjadi. Sebelum kecelakaan yang merenggut sebagian ingatanmu.”
Leon mengerutkan dahi. “Aku ... aku sempat berpikir itu mungkin. Tapi ... teruskan, Ric.”
“Dia bukan seperti wanita-wanita lain yang sering menghampirimu,” lanjut Eric. “Sharon bukan tipe yang mencari perhatian atau mengincar hartamu. Dia perempuan baik-baik, Leon. Lalu kau yang mendekatinya duluan. Dia sedang hancur lalu kau mengulurkan tangan. Sampai akhirnya kalian habiskan malam bersama.”
Leon mengusap wajahnya, pikirannya berputar keras.
“Beberapa minggu setelah itu,” Eric melanjutkan, “Sharon datang ke kantor LXR Holdings. Ia minta bicara denganmu secara pribadi. Aku bahkan sempat lihat di rekaman cctv bagaimana saat itu dia menunggumu berjam-jam hanya demi bisa bicara empat mata.”
Saat ditugaskan mencari Sharon, Eric pun tentu membutuhkan lebih sekadar informasi siapa itu Sharon. Ia ingin melihat bagaimana wanita yang berhasil membuat hidup Leon kacau balau dalam sekejap. Mengetahui Sharon pernah datang ke kantor, ia pun segera mengecek rekaman cctv. Dapat ia lihat kesabaran dan keteguhan Sharon saat menunggu Leon keluar bertemu dengannya.
Leon menatap kosong ke depan. “Dan aku ... menolaknya?”
Eric mengangguk perlahan. “Awalnya, namun dia dengan sabar menunggu. Hingga akhirnya ia berhasil bertemu denganmu. Kalian lantas berbicara. Tentang kehamilan. Tentang kemungkinan besar anak itu adalah milikmu. Tapi waktu itu ... kau kejam, dingin, dan keras. Mungkin karena egomu. Atau karena kau terlalu terbiasa dipermainkan wanita yang hanya mengincar nama dan hartamu jadi kau tak percaya dengan kata-katanya."
Leon menutup mata, wajahnya menegang.
“Kau bilang padanya, kau tidak percaya. Dan kau menuduhnya berbohong. Menyamakannya dengan wanita-wanita yang hanya datang untuk cari keuntungan. Sharon tersinggung. Tapi dia tidak menangis. Dia hanya bilang: dia datang bukan untuk memohon. Dia datang karena anak itu pantas tahu siapa ayahnya.” Suara Eric melembut. “Lalu dia pergi. Tanpa jejak. Dan tidak pernah kembali.”
Leon membeku. Tangannya mengepal di lutut. “Dan aku membiarkannya pergi?”
Eric tidak menjawab. Diamnya adalah konfirmasi paling menyakitkan.
"Setelah dia menghilang, kau baru merasakan kemungkinan anak yang Sharon kandung itu benar anakmu sebab kau mengidam seperti orang hamil. Lantas kau memintaku mencari tahu di mana dia. Lalu ...."
“Lalu … aku kehilangan ingatanku?” tanya Leon perlahan, seperti mencoba menyatukan potongan-potongan itu.
“Beberapa bulan setelah itu,” Eric membenarkan. “Kecelakaan itu terjadi. Dan sejak saat itu, semua tentang Sharon seolah terhapus dari benakmu. Aku … aku ingin bilang, tapi dokter menyarankan untuk tidak memaksa ingatanmu kembali terlalu cepat. Mereka bilang kalau kau memang punya trauma, paksaan hanya akan memperparah.”
Leon menggeleng pelan. Air matanya mulai menggenang. “Dan kau menyimpan semua ini sendirian?”
“Aku menunggu waktu yang tepat. Tapi waktu itu tak pernah datang.” Eric menunduk. “Sampai hari ini. Sampai kau sendiri mulai mengingat. Karena itu, aku putuskan … ini sudah waktunya.”
Sunyi menggantung di antara mereka. Hanya suara angin yang berbisik dari balik balkon.
Leon mengusap wajahnya dengan kasar. “Sharon datang bukan untuk menjebakku. Tapi aku ... menyakitinya.”
Eric menepuk bahu sahabatnya. “Kau memang salah. Tapi sekarang, kau punya kesempatan untuk menebusnya.”
Leon menatap jauh ke arah lampu-lampu kota yang bergemerlap seperti bintang. Tapi tak satu pun bisa menenangkan jiwanya yang kini bergolak.
Ia tahu … hidupnya telah berubah selamanya.
“Besok pagi,” ucap Leon pelan, “aku harus bertemu Sharon. Apapun yang terjadi.”
Eric mengangguk. “Kau harus siap, Leon. Karena kali ini, kau bukan cuma menghadapi seorang wanita. Tapi juga dua anak yang mungkin selama ini memendam kecewa karena tak pernah merasakan hadirmu sebagai seorang ayah."
Mendengar kata-kata itu, membuat dada Leon seketika sesak. Tungkai lemas. Eric sampai harus memapahnya kembali ke kamar. Hingga matanya menangkap keberadaan obat-obatan yang sudah beberapa waktu ini tak lagi ia konsumsi. Leon mengerutkan keningnya. Ia mulai berpikir, ingatannya justru mulai kembali dan terlihat terang setelah ia berhenti mengonsumsi obat-obatan itu.
"Eric, lakukan satu hal untukku!"
"Apa?" tanya Eric penasaran.
"Periksa kandungan obat itu. Segera!"
"Apa?!"
Bersambung...
gawat kl sampai aki2 yg hobinya selingkuh sampai berhasil nyari tau masalalu leon dsn berdampak sama kembar