Pewaris Terhebat

Pewaris Terhebat

Bab 1 Sampah Keluarga

Xander menaiki motor listrik tuanya yang terparkir di dekat tempat sampah, jauh dari mobil mewah anggota keluarga Voss yang lain. Beberapa kali ia melihat ke arah pintu, berharap Evelyn akan kembali datang dan memanggil namanya. Namun, semua itu tampak sia-sia.

Xander memacu motor listriknya dengan perlahan, melewati halaman dan taman yang cukup luas untuk sampai ke pintu gerbang. Pikirannya dipenuhi oleh sosok Evelyn, wanita yang begitu dirinya cintai bahkan sampai detik ini. Namun, di saat yang sama, harga dirinya hancur, begitupun dengan kepercayaan dirinya.

"Apa ini adalah takdir yang harus aku hadapi?" Ucap Xander sambil menoleh kembali ke arah kediaman keluarga Voss yang mulai mengecil.

"Aku selalu ditakdirkan menjadi pecundang." Ucap Xander kembali.

Xander menghembus napas panjang dan dalam, melewati pintu gerbang sekaligus cibiran para penjaga.

Sebelum bertemu dengan Ethan, ia tinggal di apartemen kecil dan bekerja sebagai pelayan restoran di kota tetangga dengan gaji pas-pasan.

Hampir setengah hidupnya dihabiskan di salah satu panti asuhan di sana. Mungkin ke tempat itulah ia akan kembali.

Namun, haruskah ia meninggalkan Evelyn begitu saja tanpa berjuang lebih dahulu?

Xander merasa pilihan kedua adalah pilihan yang tepat. Ia sangat mencintai Evelyn dan tidak ingin wanitanya menjadi milik pria lain.

Mungkin saat ini dirinya hanya sampah tak berguna, tetapi ia berjanji tidak akan menyerah.

Ia harus kembali ke kantor perusahaan tempatnya bekerja. Namun, belum lama Xander menjalankan mobil, di tengah jalan ia melihat siaran televisi dari salah satu toko elektronik yang cukup terkenal di kawasan itu.

Wajah Avery yang baru saja menghinanya, muncul dalam siaran televisi. Tidak hanya wanita itu, tetapi juga Evelyn dan seorang pemuda yang semakin dibencinya sejak beberapa saat lalu.

Xander sengaja memelankan kendaraan nya agar bisa menangkap dengan jelas siaran tersebut.

"Saya dengan bangga mengumumkan bahwa Evelyn dan Mason sedang merencanakan tanggal pernikahan mereka." Ujar Avery dengan bangga di siaran televisi tersebut.

Evelyn tampak tersenyum malu mendengar ucapan ibunya. Itu membuat Xander semakin geram.

"Tega sekali!" pikirnya.

"Setelah semua pengorbananku, waktu yang kami habiskan bersama, dan dia masih bisa tersenyum seolah semuanya tidak berarti. Seolah dia yang meminta dijodohkan. Seolah aku bukan suami nya lagi!"

Pemuda itu kehilangan kendali. Dia ingin berteriak, tapi jalanan terlalu ramai.

Hampir saja ia keluar badan jalan jika tidak segera mengerem motor listrik nya itu. Beruntung tindakannya tidak membuat kecelakan beruntun.

Semua ini gara-gara berita pernikahan yang baru saja ia saksikan.

"Sial!" Xander mengumpat sambil memukul stang motor.

Siaran televisi yang baru saja ditonton Xander, membuat pikiran pemuda itu kacau. Wajah mereka terus muncul bergantian hingga membuat Xander muak.

"Brengsek!" Amarah Xander tak juga reda. "Mason sialan!"

Terlepas merasa kacau, ia tetap melanjutkan perjalanan. Namun, sepanjang jalan menuju tempatnya bekerja, pemuda itu sama sekali tidak fokus dan terus terpikirkan dengan siaran televisi yang baru saja ditonton.

Ketika hendak memarkirkan kendaraannya, terdengar suara tabrakan yang membuat semua kaget.

"Brakk!!!"

Xander tanpa sengaja menabrak mobil milik sang atasan hingga menimbulkan kegaduhan.

Alarm mobil mewah yang masih tampak mengkilap itu menjerit dan membuat pemiliknya keluar dari dalam gedung.

"Setan! Kamu nggak tahu ada mobil parkir di sini?" Maki David, sang atasan.

Tindakan David mengundang perhatian banyak orang. Terutama mereka yang sedang berjalan di sekitar restoran tempat Xander bekerja paruh waktu. Tidak jarang dari mereka yang memutuskan berhenti demi ingin tahu apa yang sedang terjadi?

"Maaf, saya benar-benar nggak sengaja, Pak." Ucapnya menyesal.

"Dasar mental miskin. Kebiasaan kamu, ya. Sehabis bertindak bisanya cuma minta maaf. Pantas kamu masih miskin saja.

"Kalau maaf bisa bikin menyelesaikan masalah, nggak akan ada penjara di dunia ini. Mulai saat ini, kamu nggak perlu datang lagi. Kamu dipecat!"

Xander yang mendengar itu merasa sangat tertampar tertampar. Bagaimana tidak, setelah dia diceraikan oleh istrinya kini ia dipecat juga dari pekerjaan satu satunya.

"Eh, apa? Tolong jangan pecat saya, Pak. Saya benar-benar nggak sengaja dan akan mengganti semua biaya kerusakan," pinta Xander memelas.

Namun, wajah bengis sang atasan lebih mengerikan daripada wujud raksasa dalam tokoh pewayangan.

"Kamu pikir berapa biaya perbaikan yang dibutuhkan? Mau kerja seumur hidup juga nggak akan bisa membayar harga perbaikan mobil itu!" Maki David membuat orang-orang di sekitar mereka berkumpul dan menimbulkan kerumunan. Mereka kini menjadi pusat perhatian.

"Saya pasti akan menggantinya, tapi tolong jangan pecat saya, Pak!" Xander masih memohon belas kasihan.

"Heh, sampah!" David mempermalukan pemuda itu di depan banyak orang.

"Kamu tetap dipecat. Jangan lupa bayar biaya perbaikan mobil yang kamu tabrak! Aku akan membuatkan tagihan."

"Memang berapa harga perbaikan yang harus saya bayar, Pak?" Suara Xander mencicit. Seperti tikus yang baru saja berhadapan dengan kucing di ujung jalanan kumuh ibu kota.

Xander tahu bahwa mobil dia tabrak merupakan mobil mewah keluaran terbaru. Membayangkan berapa ganti rugi yang harus dibayar pun, ia tak mampu.

Apalagi jika dirinya sampai kehilangan pekerjaan. Bagaimana ia akan hidup ke depan?

"Dari mana kamu akan mendapatkan uang sebanyak itu? Nggak akan sanggup kan? Makanya otak dipakai kalau kerja!"

Penghinaan yang diterima Xander membuat pemuda itu tersulut amarah. Dia tak lagi peduli urusan pekerjaan dengan David.

Tak masalah jika ia dipecat. Asalkan dia tidak lagi mendengar hinaan dari laki-laki itu.

"Aku pasti akan menggantinya. Tunggu saja!" tegas Xander.

"Kamu kira duit tinggal petik dari pohon? Dari mana kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Jangan mimpi! Ini bukan negeri dongeng."

Xander tak lagi memedulikan ucapan David. Xander mendongak ke langit sesaat, melihat bagaimana rintik hujan turun. Seseorang pernah mengatakan bahwa hujan adalah saat yang tepat untuk berdoa. Tak ada salahnya dia mencoba, pikirnya.

Dengan pikiran kalut, dia kembali menaiki motor listrik nya dan memacu kendaraannya.

FLASHBACK

Malam itu, langit di atas Skyline City dipenuhi bintang. Di dalam acara keluarga Voss yang megah, suasana riuh oleh suara tawa dan obrolan. Lampu kristal menggantung di langit-langit ballroom, memancarkan cahaya keemasan yang memantul dari dinding kaca dan marmer putih.

Di tengah ruangan, sebuah meja panjang penuh makanan mewah menarik perhatian. Lobster yang disusun indah, steak daging premium yang mengilap oleh lelehan mentega, dan berbagai hidangan eksotis dari seluruh dunia memenuhi meja. Anggur terbaik dituangkan tanpa henti ke dalam gelas kristal oleh pelayan yang mengenakan seragam hitam putih yang elegan.

Para anggota keluarga besar Voss, mengenakan pakaian formal terbaik mereka, berkumpul di sekitar meja.

"Keluarga, rekan-rekan, dan teman-teman," suaranya menggema di ruangan, menghentikan percakapan.

"Malam ini kita merayakan sebuah pencapaian luar biasa. Perusahaan kita tidak hanya tumbuh, tetapi melampaui semua ekspektasi. Keuntungan tahun ini meningkat lima kali lipat dari tahun sebelumnya!"

Suara tepuk tangan menggema, diikuti dengan sorak-sorai. Para tamu mengangkat gelas mereka, bersulang untuk kesuksesan yang mereka raih. Musik orkestra yang dimainkan di sudut ruangan kembali mengalun lembut, menambah suasana mewah yang terasa hampir sempurna.

Namun, kesempurnaan itu mulai goyah saat pintu besar ballroom berderit terbuka. Semua mata tertuju ke arah pintu.

Seorang pria melangkah masuk. Penampilannya sangat kontras dengan tamu lainnya. Dia mengenakan pakaian biasa.

"Xander, apa yang kau lakukan di tempat ini?"

Semua kepala menoleh ke arah sumber suara. Evelyn Voss, wanita yang selalu menjadi pusat perhatian di setiap acara, berdiri dengan anggun di tengah ballroom. Gaun merah panjangnya memeluk tubuhnya dengan sempurna, sementara belahan atas yang terbuka memancarkan aura kecantikan yang tak tertandingi. Kulitnya bersinar di bawah cahaya lampu kristal, membuat para tamu, baik pria maupun wanita, tak bisa mengalihkan pandangan.

Namun, keindahan Evelyn tampak diliputi kemarahan. Tatapannya tajam menusuk ke arah seorang pria yang baru saja memasuki ruangan. Xander, pria tinggi berdiri diam beberapa langkah dari pintu. Ekspresi wajahnya tenang, bahkan sedikit tersenyum, meskipun perhatian seluruh ruangan kini tertuju kepadanya.

Evelyn adalah lambang kesempurnaan yang membuat setiap pria terpana—dan Xander tahu, ia beruntung memiliki wanita ini sebagai istrinya.

Namun, keberuntungan itu terasa seperti ironi. Pertemuan mereka dua tahun lalu adalah sebuah kebetulan yang mengubah hidup Xander. Malam itu, ia menyelamatkan Evelyn dari dua pria berbahaya di sebuah gang gelap. Tanpa disadari, aksi nekatnya menarik perhatian ketua keluarga Voss, yang perlahan mulai membuka hati untuk menjodohkan cucunya dengan seorang pria yang bahkan tidak memiliki nama besar di belakangnya.

Sejak kematian Ethan setahun lalu, tekanan terhadap Xander semakin besar. Evelyn sering menerima desakan dari keluarganya untuk mengakhiri hubungan mereka. Banyak yang percaya bahwa keputusan Ethan adalah kesalahan besar yang perlu diperbaiki.

Namun, Evelyn bertahan. Meski hatinya mulai lelah, ia tetap memberi Xander kesempatan untuk berubah. Evelyn menginginkan seorang pria yang bisa berdiri sejajar dengannya, seseorang yang bisa membuat keluarganya berhenti memandang rendah. Namun, sejauh ini, Xander tidak menunjukkan perubahan apa pun.

"Kau sangat cantik malam ini, Evelyn," puji Xander dengan tulus.

Evelyn, berbalik perlahan. Namun, bukannya senyuman yang diberikan, wanita itu hanya menyilangkan kedua tangan di depan dada, tatapan sinis menghujam tajam.

"Untuk apa kau datang?" suaranya terdengar dingin.

Xander menghentikan langkahnya, masih dengan senyuman kecil.

"Bukankah aku sudah mengatakan agar kau tetap berada di rumah?" lanjut Evelyn, nadanya semakin meninggi.

Xander menghela napas pelan, mencoba menahan emosi. "Apa kau lupa jika aku juga bagian dari keluarga ini? Lagipula, aku ini suamimu. Aku harus ada di tempat kau berada," jawabnya dengan suara tenang.

Sambil tersenyum kecil, Xander mengulurkan tangannya, bermaksud merapikan helaian rambut Evelyn yang terjatuh di pundaknya. Namun, Evelyn menepis kasar tangannya.

"Jangan berani menyentuhku, terlebih di depan keluargaku!" seru Evelyn, membuat beberapa kepala di ruangan menoleh ke arah mereka.

"Kita hanya suami istri di atas kertas, bukan di kehidupan nyata," lanjut Evelyn tanpa ragu.

"Bagiku kau tetap malapetaka yang sengaja dibawa kakek tua itu padaku. Enyahlah!"

Xander menatap Evelyn, senyum di wajahnya sepenuhnya hilang. Namun, ia tidak menyerah begitu saja. Ia melirik ke sekeliling, menyadari bahwa semua mata keluarga Voss kini tertuju pada mereka.

"Luna! Bagaimana penampilanku malam ini? Aku membeli pakaian ini khusus untuk acara malam ini. Cukup mahal menurutku, tapi aku rasa ini sangat pantas untuk acara seperti ini. Apa aku terlihat tampan?"

Kata-kata itu, yang semula dimaksudkan untuk mencairkan ketegangan, justru memicu gelak tawa dari para tamu. Tawa mereka terdengar keras, dan penuh ejekan.

Kenyataannya Xander adalah pria paling tampan di antara pria di ruangan ini. Namun, hal itu sama sekali tidak berguna jika tidak ditunjang oleh kekayaan dan kedudukan.

Di dalam masyarakat yang menuhankan uang, ketampanan bagi seorang pria haruslah ditunjang dengan kekayaan dan kedudukan.

Evelyn memutar mata dengan kesal, melirik Xander sekilas. Jujur saja, Xander memang sedikit lebih tampan dan berbeda malam ini, tetapi itu tidak berarti apa pun untuknya. Pria menyedihkan di dekatnya tetaplah sumber malapetaka dalam hidupnya selama dua tahun terakhir.

"Diamlah!" bentaknya dengan suara tertahan.

Xander terkejut, namun segera menahan diri. Ia hanya menatap Evelyn dengan senyum tipis.

"Kau membuatku menjadi bahan tertawaan keluargaku!" lanjut Evelyn, nadanya semakin tinggi. "Tidak bisakah kau berhenti menjadi sumber masalah dalam hidupku?"

"Baiklah, aku mengerti," jawabnya, suaranya tetap rendah, berusaha menunjukkan pemahaman meski ia merasakan ketegangan dalam dada.

Dengan langkah cepat dan terburu-buru, Evelyn berbalik dan kembali duduk di kursi yang terletak di dekat meja. Tubuhnya terlihat kaku, wajahnya tertunduk sejenak, sebelum ia menyilangkan kedua tangan di depan dada dengan jelas menunjukkan ketidakpeduliannya.

Ia menoleh ke sisi lain, berusaha menghindari tatapan sinis dari anggota keluarga Voss yang sudah sejak tadi memandang mereka. Rasa malu dan frustrasi merasuki setiap inci tubuhnya.

Wanita itu sudah bosan. Sudah bosan dengan cibiran karena ia terjebak dalam pernikahan dengan laki laki sampah itu.

Revan, sepupu Evelyn, tiba-tiba berdiri dari kursinya. Dengan jari telunjuknya yang teracung tajam ke arah Xander.

"Apa kau benar-benar tidak bisa berpikir dengan baik?!" serunya dengan nada penuh amarah.

"Saat ini kau memakai pakaian sampah itu ke acara istimewa keluarga Voss. Jika saja aku jadi kau, aku lebih baik bertelanjang semalam di luar sana daripada mempermalukan diriku seperti ini!"

Namun, belum sempat Xander membuka mulut, suara lain kembali terdengar, jauh lebih tajam. Victor, cucu tertua keluarga Voss, berdiri dari kursinya dengan senyuman sinis yang menghiasi wajahnya.

"Bagaimana mungkin sampah itu bisa berpikir jika dia tidak memiliki otak!" ejek Victor dengan tawa.

"Entahlah!" Selene, kakak sepupu Evelyn, tiba-tiba berdiri dan menatap Xander dengan pandangan jijik. "Kau benar-benar membuat suasana hatiku menjadi buruk! Aku tidak akan mengizinkanmu untuk mengacaukan acara malam ini. Pergi dari sini sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran!"

Avery, ibu Evelyn, menggebrak meja dengan keras. Wajahnya yang masih cantik meski usianya mendekati setengah abad tampak merah karena amarah.

"Apa yang sebenarnya ada di kepala ayahku saat ingin menikahkan cucu kesayangannya dengan seorang pria sampah sepertimu! Sejak awal aku tahu kau hanya akan menjadi aib bagi keluarga ini!" Bentak Avery sambil menatap Xander dengan pandangan penuh permusuhan.

"Kau bahkan tidak pantas menginjakkan kaki di tempat rumah kami, apalagi berada di acara istimewa ini!" Tambahnya, suaranya bergetar karena emosi.

Xander menatap sekeliling dengan senyum tipis di wajahnya, seolah cibiran-cibiran yang dilontarkan anggota keluarga Voss tidak memiliki dampak apa pun padanya. Dengan langkah santai, ia berjalan mendekati Evelyn yang duduk di meja utama, lalu menarik kursi kosong di sebelah istrinya.

Victor, cucu tertua keluarga Voss, berdiri. Jari telunjuknya terarah langsung ke Xander, suaranya menggema penuh kemarahan. "Apa yang kau lakukan, hah? Apa kau tidak dengar aku baru saja mengusirmu? Tidak ada siapa pun yang menginginkanmu di sini!"

Xander menghentikan gerakannya sejenak, menatap Victor dengan tenang tanpa menunjukkan tanda-tanda terganggu. "Aku berhak berada di sini karena aku bagian dari keluarga Voss," jawabnya ringan, lalu kembali bersiap duduk.

Victor menggeram marah, langkahnya maju satu langkah. "Aku juga berhak mengusirmu karena aku adalah keluarga asli Voss. Orang asing sepertimu tidak memiliki hak apa pun di sini!"

Namun, Xander tetap duduk di kursi, mengabaikan seluruh ucapan Victor. Alih-alih bereaksi, pria itu hanya mencari posisi duduk ternyaman dan menatap makanan yang tersaji di meja dengan senyum lebar, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kebodohanmu pasti sudah sampai di tahapan paling gila!" Victor mendesis, lalu menjatuhkan tubuhnya kembali ke kursi dengan wajah penuh amarah. "Pergilah sebelum aku mengusirmu dengan kekerasan!"

Xander memutar wajahnya, menatap Victor dengan tenang. "Jika kalian tidak mengundangku datang, anggap saja aku sedang menemani Evelyn selama acara ini berlangsung," ujarnya ringan, mengangkat bahu. "Aku janji tidak akan membuat kekacauan."

Sikap santai Xander membuat suasana semakin panas. Selene, kakak sepupu Evelyn, berdiri dengan wajah penuh ketus. Tatapan matanya penuh rasa jijik yang bahkan tidak berusaha ia sembunyikan.

"Evelyn, segera usir suami tidak bergunamu dari sini sekarang juga!" perintah Selene, suaranya lantang.

Evelyn memalingkan wajah, berusaha menghindari kontak mata dengan siapa pun. Ia tahu situasi ini akan menjadi lebih buruk, dan ia merasa terperangkap di antara dua kubu—keluarganya yang penuh tekanan dan Xander yang selalu tidak peduli pada omongan orang lain.

Selene melipat tangan di depan dada, mendesak lebih jauh. "Kau tahu, sejak awal aku sudah bilang pria ini hanya akan menjadi aib bagi keluarga kita! Atau apa kau takut mengusirnya karena ini mungkin satu-satunya cara dia bisa mendekat padamu? Apa kau tidak sadar, Evelyn?" katanya dengan nada tajam.

Selene tersenyum sinis, mengingat bagaimana selama ini ia selalu merasa Evelyn mendapat perhatian lebih dari Ethan, kakek mereka. Kehadiran Xander yang penuh masalah menjadi kesempatan sempurna baginya untuk merendahkan sepupunya itu di depan keluarga besar.

"Jika kau hanya diam, kau sama saja tidak bergunanya dengan pria sampah itu!" serunya tajam. "Evelyn, jangan membuat kami menunggu! Cepat perintahkan sampah itu pergi dari tempat ini sekarang juga!"

Desakan Selene memicu anggota keluarga lainnya untuk ikut bersuara. Satu per satu mulai bergabung, menyuarakan ketidaksenangan mereka terhadap keberadaan Xander.

"Jika kau tidak mengusirnya, maka kau dan ibumu juga akan kami usir," Declan, pemimpin keluarga Voss, berkata dengan nada tegas. Wajahnya menunjukkan ketidaksabaran yang jelas.

"Kau benar-benar membuat malu keluarga Voss, Evelyn!" marah Declan.

Selene melipat tangan di depan dada, berdiri dengan angkuh. "Apa kau sangat mencintai sampah itu sampai kau tidak ingin dia jauh-jauh darimu?" katanya dengan nada penuh ejekan.

Evelyn menatap jengkel ke arah Xander yang duduk dengan tenang, seolah tidak peduli dengan kekacauan yang ia sebabkan. Melalui sorot matanya, Evelyn seakan berteriak tanpa kata, "Lihatlah! Apa yang sudah kau lakukan padaku?"

Avery, ibu Evelyn, yang sejak tadi menahan amarah, akhirnya meledak. Ia berdiri dengan cepat, mendekati Xander. Dengan gerakan cepat dan penuh emosi, ia mendaratkan tamparan keras di wajah pria itu.

Plak!

"Kau benar-benar sampah tidak berguna!" Avery berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan.

"Kau sudah membuat hidup putriku menjadi sangat menderita. Hanya karena kedatanganmu ke tempat ini, aku dan putriku hampir diusir dari acara keluarga kami sendiri. Apa kau tidak pernah berpikir sejauh itu?"

Xander perlahan berdiri dari kursinya. Ia menunduk sedikit untuk menatap Avery yang hanya setinggi dadanya.

Dengan suara pelan dan penuh penyesalan, ia berkata, "Maafkan aku, Bu."

Avery langsung menunjuk pintu keluar dengan penuh kemarahan. "Aku bukan ibumu! Enyahlah!" serunya.

Kemudian ia berpaling ke arah Evelyn. "Evelyn, cepat usir dia! Jangan mengotori kejutan yang sudah kita persiapkan pada keluarga Voss dengan kehadiran sampah ini!"

Desakan itu membuat Evelyn tidak punya pilihan lain. Ia menatap Xander dengan ekspresi dingin yang nyaris tanpa emosi.

"Pergilah, Xander. Aku tidak membutuhkanmu berada di acara ini, begitu pun juga di hidupku lagi," katanya dengan nada jengkel.

Xander terdiam sejenak, memandang Evelyn dengan senyuman kecil yang penuh kepahitan. "Baiklah! Aku akan menunggumu di rumah. Bersenang-senanglah."

Ruangan dipenuhi dengan suara tawa dan bisikan-bisikan yang jelas ditujukan kepada Xander.

Keluarga Voss mencibirnya terang-terangan tanpa mencoba menyembunyikan ejekan mereka. Bahkan para pelayan pun tak segan-segan tersenyum meremehkan saat melihatnya.

Xander melirik pantulan dirinya di kaca besar yang menghiasi dinding aula.

"Tidak ada yang salah dengan penampilanku malam ini," pikirnya.

Setelan yang ia kenakan, meski tidak sekelas dengan keluarga Voss. Ia bahkan meluangkan waktu untuk memastikan rambutnya tertata rapi. Namun, semua usahanya tampak sia-sia.

"Sepenting itukah kedudukan dan uang bagi mereka?" Gumam Xander dalam hati. Pandangannya kembali tertuju pada refleksinya di kaca.

"Jika aku memiliki banyak uang, apa mereka akan tetap menghinaku seperti sekarang?"

Berandai-andai tidak mengubah apa pun, tapi pertanyaan itu terus menghantuinya.

Ketika ia akhirnya mencapai pintu keluar, langkahnya terhenti oleh kehadiran seorang pria yang berjalan masuk dari arah berlawanan. Pria itu mengenakan setelan mahal yang menandakan statusnya. Di belakangnya, beberapa penjaga berperawakan besar mengikuti dengan langkah mantap.

Xander menatap pria itu dengan bingung. Wajah itu tampak familier, meski ia tidak bisa mengingat di mana ia pernah melihatnya.

Pria itu berhenti beberapa langkah di depan Xander, memandangnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan penuh kebencian.

Lalu, dengan nada merendahkan, ia berkata, "Menyingkirlah dan jangan menghalangi jalanku, makhluk bodoh!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!