Aydin terhenyak, dunianya seakan tiba-tiba runtuh saat seorang gadis yang bahkan dia tak tahu namanya, mengaku sedang hamil anaknya.
Semua ini berawal dari sebuah ketidak sengajaan 3 bulan yang lalu. Saat diacara pesta ulang tahun salah satu temannya, dia menghabiskan malam panas dengan seorang gadis antah brantah yang tidak dia kenal.
"Kenapa baru bilang sekarang, ini sudah 3 bulan," Aydin berdecak frustasi. Sebagai seorang dokter, dia sangat tahu resiko menggugurkan kandungan yang usianya sudah 3 bulan.
"Ya mana aku tahu kalau aku hamil," sahut gadis bernama Alula.
"Bodoh! Apa kau tak tahu jika apa yang kita lakukan malam itu, bisa menghasilkan janin?"
"Gak udah ngatain aku bodoh. Kalau Mas Dokter pinter, cepat cari solusi untuk masalah ini. Malu sama jas putihnya kalau gak bisa nyari solusi." Jawaban menyebalkan itu membuat Aydin makin fruatasi. Bisa-bisanya dia melakukan kesalahan dengan gadis ingusan yang otaknya kosong.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUKAN TAK MAU MARAH, TAPI MALU
Dalam agama islam, karma itu tidak ada. Namun segala perbuatan baik, sekecil apapun, akan mendapatkan balasannya. Pun sebaliknya, perbuatan buruk sekecil apapun, juga akan mendapatkan balasan. Apa ini balasan untuk dirinya? Tanda tanya besar itu seketika muncul dibenak Ayah Septian. Apa Tuhan sedang membalas apa yang dulu pernah dia lakukan pada orang tuanya?
Demikianpun dengan menanggung dosa. Tidak ada yang namanya menanggung dosa orang lain. Meski Aydin terlahir dari perbuatan dosa kedua orang tuanya, tapi dia tetap suci, dia tidak menanggung dosa kedua orang tuanya begitu dia dilahirkan. Tapi kenapa semua ini seperti pengulangan? Kenapa kesalahannya dulu kembali terulang pada anaknya? Dan dari ketiga anaknya, kenapa harus Aydin?
Sama seperti Ayah Septian, Mama Nara terdiam beberapa saat. Inikah yang dulu dirasakan orang tuanya? Anak yang selalu menjadi kebanggaan, tiba-tiba melempar kotoran kewajah mereka. Bang Aydin anak yang penurut, tidak pernah neko-neko. Selalu membanggakannya dengan segudang prestasi. Rasanya masih belum bisa percaya, jika Bang Aydin menghamili seorang gadis? Perlahan, air mata wanita itu menetes.
"Maafkan Aydin, Mah." Aydin berlutut dihadapan sang mama sambil memegang kedua lututnya. "Maaf telah mengecewakan Mama dan Ayah," dia menoleh pada ayah, tepat disaat pria baya itu menyeka air mata. Perasaan Aydin hancur melihat kedua orang tuanya menangis. "Maaf," sekali lagi dia mengucapkan kata itu.
Aydin berharap dia akan dimarahi, dimaki, atau dipukulpun, dia tak masalah. Namun yang terjadi, kedua orang tuanya hanya diam membisu. Sesakit itukah luka yang dia torehkan hingga mereka tak mampu berkata-kata? Hanya tangis memilukan Mama Nara yang terdengar.
"Marah sama Ay, Mah," ujar Aydin sambil menggoyangkan lutut Mamanya. Tak mendapatkan respon, dia berbalik pada sang ayah, memegang kedua kaki pria baya tersebut. "Marah sama Ay, Yah." Dia meraih telapak tangan sang ayah lalu meletakkan dipipinya. "Pukul Aydin. Pukul, Yah. Lampiaskan kekecewaan Ayah." Setidaknya pukulan atau makian, bisa sedikit mengurangi rasa bersalahnya.
Ayah Septian kembali teringat saat dia dihajar Papa Satrio. Tapi tidak, dia tak ingin melakukannya sekarang. Dia memindahkan telapak tangan dari pipi Aydin ke kepala. Diusapnya lembut kepala sang anak sambil satu tangannya menyeka air mata. "Apa yang Abang rasakan saat ini?"
"Abang merasa bersalah, Yah. Abang telah mengecewakan Ayah dan Mama. Abang telah..." Aydin menangis, tak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Abang salah. Abang salah," lanjutnya sambil menunduk dalam.
"Setidaknya kamu tahu kalau kamu salah, Bang. Dan kamu ada keinginan untuk memperbaiki kesalahan."
Aydin mengangguk, "Abang salah, Abang khilaf. Dan Abang siap untuk bertanggung jawab."
Ayah Septian menepuk beberapa kali bahu Aydin. Memang bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Tapi setidaknya, putranya tahu dia bersalah dan siap tanggung jawab.
"Siapa gadis itu? Apa Ayah mengenalnya?"
Aydin menggeleng, "Namanya Alula. Dia...dia masih kelas 12."
Mama Nara memejamkan mata sambil meremat bantal. Setidaknya dia dulu masih cukup umur untuk menikah. Tapi ini? Semoga saja gadis itu sudah cukup umur, batinnya. Namun selain memikirkan tentang usia gadis itu, ada hal lain yang mengusik pikirannya. Yaitu tentang nasab Aydin. Cepat atau lambat, putra sulungnya itu akan tahu jika dia juga anak hasil perbuatan haram.
"Aydin akan membawanya kesini. Agar Ayah dan Mama bisa kenal dengan dia."
"Kapan?" tanya Ayah.
"Hari minggu."
"Berapa usianya, Bang?" tanya Mama Nara.
"De-delapan belas, Mah," jawabnya sambil menoleh kearah Mama Nara. Mama Nara langsung menghela nafas. Delapan belas tahun bukan usia yang diperbolehkan untuk menikah. "5 bulan lagi, 19 tahun."
"Apa Abang akan menunggunya 19 tahun baru menikah?" tanya Ayah Septian.
Aydin langsung menggeleng. "Ay tak mungkin membiarkan dia menanggung aib ini sendirian. Ay akan menikahinya secepatnya."
"Ayah setuju. Kesalahan yang kalian lakukan bersama, harus kalian tanggung bersama juga." Dia teringat Ayleen, putrinya satu-satunya. Selama ini, dia lebih memfokuskan dalam menjaga Ayleen. Pernah dia mendengar, jika orang tuanya melakukan kesalahan, hal itu bisa saja menimpa anaknya kelak. Fokusnya lebih pada Ayleen, menjaga jangan sampai putrinya itu hamil diluar nikah. Namun yang terjadi malah diluar prediksi, justru Aydin yang menghamili anak gadis orang.
"Apakah orang tua gadis itu sudah tahu?" tanya Mama Nara.
"Belum, Mah. Lula gak berani ngomong." Mama Nara teringat dirinya dulu. Dia yakin, apa yang dirasakan gadis bernama Lula itu, kurang lebih sama dengan apa yang dia rasakan dulu. "Dia bilang, Mamanya jahat."
Tiba-tiba saja, Mama Nara tersenyum tipis. Ternyata selain dia yang selalu dikatain bawel dan pelit oleh Alfath dan Ayleen, ada juga mama lain yang dikatain jahat oleh anaknya.
"Semua orang tua itu sayang pada anaknya," ujar Ayah Septian. "Kalau orang tua memberi hukuman, marah, atau ngomelin anak, itu karena sayang, bukan karena jahat. Orang tua hanya ingin yang terbaik untuk anaknya."
"Dan sekarang, kenapa Ayah dan Mama gak marah sama Abang? Kalian tidak sayang?" Aydin menatap kedua orang tuanya bergantian.
Ayah Septian langsung tersenyum diberi pertanyaan telak seperti itu.
"Bukan Ayah tak ingin marah, ingin sekali. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Tapi Ayah terlalu malu."
"Malu?" Aydin mengernyit bingung.
"Ya, Ayah malu. Malu karena hal yang terjadi pada kamu saat ini, dulu pernah terjadi pada Ayah." Ayah Septian menunduk dalam. Hari ini, untuk pertama kalinya, dia merasa benar-benar malu dihadapan anaknya.