NovelToon NovelToon
Young & Free

Young & Free

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Persahabatan / Romansa
Popularitas:667
Nilai: 5
Nama Author: Rucaramia

Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Memangnya Boleh?

Kedua mata itu menatap lurus ke arah Dizza, bahkan tidak dialihkan selama lebih dari tiga puluh detik.

“Apa?” tanya Dizza yang aneh atas tingkah laku Edzhar yang tidak biasa. Meski begitu dia berusaha bersikap santai untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya dengan menyesap lemon ice-tea nya. Edzhar meneleponnya satu jam yang lalu dan pria itu mengajaknya untuk bertemu di sebuah kafe yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Dizza. Tetapi setelah mereka duduk berhadapan, tidak ada kata yang menjelaskan maksud pertemuan yang terjadi diantara mereka berdua sekarang. Malah Edzhar hanya memandanginya saja—sesuatu yang sejujurnya membuat gadis itu jadi salah tingkah.

Si pemuda tidak menyahut, dia hanya terus saja memandangi Dizza dalam diam, bahkan ice kopi susu yang pria itu pesan sama sekali belum tersentuh.

“Kalau kau tidak bicara juga, aku akan melemparmu dengan sepatu,” kata Dizza akhirnya.

Dan untungnya ancaman sederhana itu cukup utnuk membuat kedua mata Edzhar mengerjap, dia menundukan kepalanya sebentar lalu memandang Dizza lagi, tetapi kali ini disertai dengan pertanyaan yang dia sampaikan dengan super hati-hati dan penuh selidik. “Kau jadian dengan Levin?”

Seketika Dizza menyemburkan ice-tea miliknya dan langsung tersedak akibat pertanyaan Edzhar yang sama sekali tidak pernah dia duga. Edhzar bergegas menghampiri dan memukul punggulnya pelan sembari menarik dua lembar tisu dari meja dan menyodorkannya kepada Dizza. “Kau baik-baik saja, Dizza?” tanya pemuda itu agak panik setelah batuk-batuk Dizza mulai mereda.

Dizza menganggukan kepala, menatap pria itu dengan tatapan horror meski masih dengan agak tersendat. “Darimana kau mendengar berita itu?”

Edzhar menelengkan kepala, kerutan muncul di keningnya kala dia mencoba mengingat jawaban dari pertanyaan yang dilayangkan oleh Dizza terhadapnya. “Daneth,” sahut pria itu. “Daneth mengatakan padaku kalau Levin menembakmu di pelataran parkir kemarin sore.”

Dizza memberenggut, sekarang semua orang di kampus pasti sudah tahu kejadian memalukan itu.

Ya, segalanya berawal dari sore kemarin—sebuah sore yang Dizza pikir akan berjalan sebagaimana biasanya—saat itu dia baru saja selesai dengan kelasnya dan segalanya betul-betul sangat normal. Dizza bahkan sempat mengobrol dengan beberapa teman sekelasnya mengenai tugas kampus mereka yang kemungkinan akan menumpuk di liburan semester. Dizza baru saja melakukan perpisahan dengan rekannya saat kegaduhan tiba-tiba saja terjadi.

Awalnya Dizza cuek bebek saja, dan tidak mau ambil pusing dengan apapun yang terjadi di sektiitarnya sampai dia mendapati Levin sudah berseringai lebar di depannya. Kedua mata Dizza melebar dan dia mengerang dalam hati ketika sadar apa yang sedang sahabatnya itu lakukan—semua ini adalah buntut dari perkataan Levin soal keyakinannya bahwa ada hal lain di balik persahabatan mereka.

Lelaki berambut gondrong itu menyodorkan buket bunga mawar berwarna merah, dan dengan lantang menyatakan perasaannya kepada Dizza di depan semua orang. Dan saat itu apa yang ada di kepala Dizza adalah rasa malu yang amat sangat. Dia nyaris tidak tahu harus bagaimana kecuali satu tindakan responsive yakni untuk menyeret Levin pergi bersamanya.

Dizza menahan marah saat orang-orang menyoraki mereka sepanjang jalan. Dalam hati merutuki Levin yang memasang cengiran lebar seolah Dizza sudah menerima pernyataan cintanya padahal yang ingin Dizza lakukan justru adalah kebalikannya. Tindakan Levin yang diluar nalar itu benar-benar membuat Dizza terkejut bukan main.

Ketika mereka berdua sudah menjauh dari keramaian barulah Dizza memuntahkan semuanya, kekesalan dan juga kemarahannya.

“Sahabat adalah cinta yang tertunda, Dizza.” Lagi-lagi Dizza mendengar kalimat itu, mengatakan alasan yang sama seperti sebelumnya.

“Bagimu mungkin begitu, tetapi aku tidak tidak punya pemikiran yang sama denganmu. Tolong jangan paksakan pemikiranmu kepada orang lain. Kita adalah sahabat dan selamanya akan seperti itu, mengerti?”

Levin tampak sangat kecewa dan juga marah saat itu. Wajahnya bertekuk tetapi pemuda itu menganggukan kepala. “Maaf sudah membuatmu malu kalau begitu.”

Tidak nyaman dengan keadaan mereka sekarang, pada akhirnya Dizza juga mengucapkan maafnya karena merasa bahwa dia pun juga sudah menyikapi Levin dengan cara yang tidak baik dan sama keterlaluannya. “Kalau begitu kau juga harus memaafkanku karena aku tidak bisa menerima perasaanmu.” Dizza menghela napas sebelum melanjutkan. “Aku tahu kalau kau sangat peduli padaku melebihi siapapun. Tetapi gadis yang cocok denganmu bukanlah aku dan aku juga merasa bahwa gadis yang sebenarnya kau sukai itu bukan aku.”

Anehnya Levin tidak mendebat dirinya sama sekali, sehingga Dizza punya kesempatan untuk melanjutkan perkataannya. “Kau harusnya menyatakan cintamu itu kepada Kimber, bukan aku.”

“Tapi aku lebih menyukaimu,” sanggah Levin kemudian.

“Suka sebagai teman masa kecil, tidak lebih dari itu. Kurasa kau hanya salah mengira soal itu,” tegas Dizza.

“Tapi Dizza, sahabat adalah—”

“Entah darimana mulanya kau bisa dapat konsep aneh macam itu, Levin. Tapi kau juga tidak harus mengatakannya padaku karena aku tidak mau tahu. Tetapi yang jelas pemikiran itu tidak berlaku sama kepadaku.” Sekali lagi Dizza berucap dengan tegas, yang membuat wajah Levin memucat. Dia menarik napas dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. “Yah, mungkin itu bisa terjadi pada sebagian orang, tetapi tidak untuk kita. Mengerti?”

Levin menganggukan kepala. “Sekarang coba pikirkan kembali kekeliruan yang sudah kau buat, Levin. Kau akan membuat Kimber sedih atas kejadian ini. Jadi jelaskan padanya apa yang terjadi hari ini kepadanya.”

Kejadian itu terhenti sampai disana, dan hingga saat ini Dizza belum bertukar kata dengan Levin sama sekali.

“Halo, Dizza. Kau masih disini kan?”

Suara Edzhar mengembalikan Dizza ke alam nyata. “Tentu saja.”

“Lalu bagaimana? apa jawaban dari pertanyaanku sebelumnya?” desak Edzhar.

“Jawaban apa?”

Kening Edzhar berkerut. “Apa kau jadian dengan Levin?”

“Kenapa sih kau sangat ingin tahu soal itu?” ungkap Dizza bertanya balik.

Kerutan di kening Edzhar makin bertambah, dan pemuda itu melontarkan pertanyaan ulang. Kali ini bahkan dengan nada yang jauh lebih mendesak dari pada sebelumnya. “Apa kau benar-benar jadian dengan Levin? Apa kau menerima perasaannya?”

“Tentu saja tidak,” sahut Dizza yang malah jadi tidak sabar. Dia menjawab dengan cepat karena sebal dengan desakan Edzhar.

“Syukurlah…”

“Eh?” Dizza memandang bingung pemuda yang duduk di depan mukanya sekarang. Kerutan di wajah Edzhar menghilang sempurna dan dalam satu waktu dia menandaskan isi gelasnya. “Aku mau pesan minum lagi,” kata pria itu kemudian yang lalu berdiri dan melangkah menuju ke konter minuman.

Dizza memandangi punggung Edzhar yang menjauh dari sisinya.

Sahabat adalah cinta yang tertunda.

Seketika kata-kata yang dia dengar dari mulut Levin muncul dibenaknya. Mempengaruhi suasana hatinya sekarang dan berpikir bahwa barusan bukankah Edzhar terlihat jadi riang dan sumringah seolah mensyukuri bahwa hubungan diantara dia dan Levin tidak berubah ke arah romansa. Benarkah?

“Jangan memikiraknnya Dizza! Itu tidak masuk akal!” Dizza mencoba menghalau pikiran itu, tetapi pikiran yang lain malah justru masuk ke dalam benaknya. Seperti ternyata Edzhar memiliki bahu yang lebar, punggung yang tegap dan rasanya memang sangat nyaman ketika Dizza pernah bersandar padanya. Hangat dan…

Ribuan kupu-kupu beterbangan di perut Dizza, menggelitiknya, menimbulkan rasa aneh di perut dan juga pada dadanya. Jantungnya tiba-tiba saja berpacu ketika Edzhar sudah berdiri di depan konter dan menoleh padanya hanya untuk sekadar tersenyum.

Sejak kapan senyuman Edzhar terlihat begitu manis?

Lalu ketika Edzhar kembali padanya, Dizza tidak bisa memalingkan mata. Pemuda itu tiba-tiba saja menjadi satu-satunya yang berwarna di pandangan Dizza.

Sahabat adalah cinta yang tertunda? Diam-diam Dizza memahami maksud perkataan Levin terhadapnya. Tetapi perasaan itu tidak tertuju kepada Levin, melainkan pada sahabatnya yang lain.

“Memangnya boleh jatuh cinta pada sahabat sendiri?” gumam Dizza.

1
Tara
there is no sich thing friends between man n woman..in the end they Will falling love eventually. or break up n never see each other again😱🤔
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱
Rucaramia: omg, sorry to hear that 🥹
that's right, there is no 'friendship' between woman and man.
don't hate to much about love, and i hope u find your love my dear ✨️
total 1 replies
Rubby
Kayaknya ini bakal jadi cerita yang ringan + gemesin deh, tumben kak Ruca pake POV cowo. Semangat terus ya kaaaaaa
Rucaramia: makasih banyak review-nya kak Rubby 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!