"Kalau kamu tetap enggak izinin aku menikah lagi, ... aku talak kamu. Kita benar-benar cerai!"
Dwi Arum Safitri atau yang akrab dipanggil Arum, terdiam membeku. Wanita berusia tiga puluh tahun itu benar-benar sulit untuk percaya, Angga sang suami tega mengatakan kalimat tersebut padahal tiga hari lalu, Arum telah bertaruh nyawa untuk melahirkan putra pertama mereka.
Lima tahun mengabdi menjadi istri, menantu, sekaligus ipar yang pontang-panting mengurus keluarga sang suami. Arum bahkan menjadi tulang punggung keluarga besar sang suami tak ubahnya sapi perah hingga Arum mengalami keguguran sebanyak tiga kali. Namun pada kenyataannya, selain tetap dianggap sebagai parasit rumah tangga hanya karena sejak menikah dengan Arum, pendapatan sekaligus perhatian Angga harus dibagi kepada Arum hingga keluarga Angga yang biasa mendapat jatah utuh menjadi murka, kini Arum juga dipaksa menerima pernikahan Angga.
Angga harus menikahi Septi, kekasih Andika-adik Angga yang memilih minggat setelah menghamili. Yang mana, ternyata Septi mau dinikahi Angga karena wanita muda itu juga mencintai Angga.
Lantas, salahkah Arum jika dirinya menolak dimadu? Dosakah wanita itu karena menjadikan perceraian sebagai akhir dari pengabdian sekaligus kisah mereka? Juga, mampukah Arum membuktikan dirinya bisa bahagia bahkan sukses bersama bayi merah tak berdosa yang telah Angga dan keluarganya buang hanya karena ia tetap memilih perceraian?
🌿🌿🌿
Follow Instagram aku di : @Rositi92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4 : Kamu Mau Menikah Lagi, Mas?
Pintu kamar mandi di kontrakan mereka tinggal, berupa pintu plastik yang tak sampai dihiasi handle karena bagian tersebut rusak dan hanya disumpal menggunakan gulungan plastik.
Di dalam kamar mandi, di balik dinding sebelah pintu, Arum yang masih berpakaian utuh, melirik terjaga ke belakang. Penuh waspada, ia melirik plastik penyumpal untuk posisi handle yang perlahan ditarik dari luar. Tak ada lagi penyumpal di bagian sana. Hingga lewat sana, baik dari dalam maupun luar bisa melihat keadaan dengan leluasa. Kenyataan yang sudah biasa terjadi di setiap Arum di kamar mandi, di setiap ada Supri terlebih jika suasana juga sepi layaknya sekarang ini.
Dulu, saat pertama kali mengalaminya dan itu awal keluarga Angga tinggal bersama mereka karena sejak awal menikah, Arum dan Angga memang langsung tinggal di kontrakan, yang dengan kata lain, sudah sekitar empat tahun lebih kejadian tersebut terjadi, Arum memang langsung menceritakannya kepada sang suami. Namun, bukan perlindungan apalagi keadilan yang Arum dapatkan. Malahan, Arum dikira buruk sangka sekaligus tukang fitnah, hingga Arum yang tak mau terjadi keributan, memilih diam. Dulu, Angga bilang, enggak mungkin mas Supri begitu.
Semenjak itu juga, jika sedang ada Supri di kontrakan, untuk urusan mandi dan keperluan yang harus dilakukan di kamar mandi, Arum melakukannya di toilet pasar. Kontrakan mereka tinggal memang tak jauh dari pasar yang bersebelahan dengan keberadaan bank swasta Angga bekerja.
Saking seringnya Arum diintip oleh suami Anggun, Arum yang memilih diam, diam-diam menyimpan dendam. Selain itu, tak beda dengan kepada keluarga Angga lainnya, kepada Supri, Arum juga merasa jijik. Kini, Arum yang telanjur geram, selain Arum yang tak mungkin pergi ke toilet di pasar hanya untuk menumpang mandi, sengaja menaburkan isi botol kecil di tangan kanannya melalui lubang di sana dan ia pergoki sudah ada mata Supri. Sudah bisa kalian bayangkan, betapa hebohnya pria itu setelah isi botol yang berupa bubuk lada dan serbuk cabai level setan di tangan kanan Arum, mengenai mata dan juga bagian sekitar pria itu.
“Syukurin!” lirih Arum sengaja menutup botolnya lantaran masih ada sisa di sana. Buat jaga-jaga takutnya Supri belum insaf. Namun bisa Arum pastikan, mata pria itu bermasalah. Tak kalah bermasalah dengan otaknya yang hobi mengintip Arum. Baik ketika Arum sedang mandi, atau malah ketika Arum sedang di kamar, termasuk itu ketika Arum dan Angga tengah melakukan hubungan suami istri.
Supri tak hanya menjerit kesakitan. Karena di sela kesibukannya menjerit tersebut, pria itu juga tak hentinya bersin.
“Perih ... perih ... perih. Toloooong! Ngguuuun, ... Tolong, Nggun!”
Ulah Supri yang terus berteriak membuat seisi rumah bangun, meski Anggun tak sampai menghampiri. Wanita itu hanya berteriak, membangunkan Angga untuk memastikan. Gaya bos besar yang sampai detik ini menjadi andalan. Namun, tak hanya Angga yang menghampiri Supri, tapi juga dengan ibu Sumini dan anak-anak Supri. Kendati demikian, Arum sengaja abai. Arum tetap mandi, keramas menggunakan air hangat guna menenangkan sekaligus membuat tubuhnya lebih rileks. Arum mencoba membenarkan kewarasannya di tengah keadaan di sana yang lebih bahaya dari RSJ.
“Kok bisa?” ujar ibu Sumini kebingungan kenapa sang menantu kesayangan sambil begitu, kesakitan sampai guling-guling di lantai layaknya orang kesurupan.
Dalam diamnya, Angga yang awalnya turut bertanya-tanya, mulai menemukan titik terang. Serbuk yang ia yakini berupa serbuk lada dan cabai, sebagiannya menghiasi sekitar lubang handle pintu yang tutupnya sudah diganti dengan baju kotor Arum, dan ia bisa memastikannya itu diganti dari dalam, mengingat penyumpalnya yaitu gulungan kresek berukuran lebih besar di bagian luar, malah terkapar di depan pintu. Tak kalah mencolok, di dalam Arum tenang-tenang saja mandi, bahkan meski baru saja, ibu Sumini sibuk menggedor pintu.
“Lha aku harus gimana, Bu? Aku kan bukan malaikat yang serba bisa. Aku enggak bisa mendadak berubah jadi dokter buat mengobati suami mbak Anggun. Mbak Anggun dong suruh bangun, suruh ursin suaminya. Nanti saat ada waktunya dia beneran enggak bisa bangun dari kasur, baru nyesel, selama ini malas bangun dari kasur,” ucap Arum dengan santainya.
“Sudah, Bu. Jangan berisik. Nanti Aidan bangun,” tegur Angga akhirnya karena bisa ia pastikan, yang salah memang Supri. “Jadi, selama ini Arum benar. Kalau mas Supri tukang ngintip!” Kesalnya. Ia bahkan memilih pergi tanpa menolong lagi. Termasuk kepada anak-anak Supri yang mengeluh lapar, ia juga mendadak abai.
“Lho, Ngga? Kok kamu marah-marah ke Ibu?” protes ibu Sumini tak terima karena untuk pertama kalinya, Angga berani menegur bahkan sampai memarahinya. “Ini kamu jangan pergi. Ini tolongin dulu Mas Suprinya!”
“Kalau Aidan bangun dan sibuk nangis, siapa yang mau urus rumah dan urus segalanya, Bu?” balas Angga masih bersabar.
Mendengar itu, ibu Sumini langsung bungkam. Lain dengan Supri yang masih mirip orang kesurupan, teriak-teriak kesakitan sambil guling-guling di lantai.
“Ya Tuhan, ini Arum kurang ajar banget. Bisa-bisanya dia tabur mataku pakai bubuk lada dan cabai! Si Anggun lagi, suami kesakitan gini, masih saja alasan buat malas-malasan!” Batin Supri.
“Aku, urus rumah lagi? Enggak! Mulai sekarang aku enggak mau lagi!” Batin Arum masih menikmati mandinya.
“Syukurin kamu Mas! Picek-picek tuh mata. Punya mata enggak berguna!” batin Arun lagi, sementara maksud dari kata picek sama saja dengan buta.
“Pri, kamu kenapa, sih? Rum, kamu lagi ngapain, sih? Bantu kenapa?” ucap ibu Sumini yang akan langsung mengomel jika berbicara kepada Arum, meski sebelumnya ketika wanita itu berbicara kepada Supri, suaranya akan sangat lembut sarat perhatian.
“Ngga, ini tolongin,” ujar ibu Sumini lagi.
“Aku harus cek batu bata yang semalam dibakar, Bu. Nanti aku panggilin tukang ojek buat antar Mas Supri ke klinik.” Kali ini, Angga benar-benar cuek. Ia masuk ke kamar, meski pada kenyataannya, ia tak lantas pergi.
Ketika akhirnya Arum keluar dengan aroma segar yang menyertai pun, wanita itu tak kalah cuek. Arum melangkah begitu saja melewati kedua manusia bertubuh besar di depan kamar mandi yang sampai membuatnya harus melipir dengan sangat hati-hati hanya untuk bisa lewatnya. Anak-anak Supri sudah tidak di sana. Ketiganya tengah merengek kelaparan di ruang keluarga tempat mereka tidur. Kendati demikian, Anggun tampak tenang dan bisa Arum pastikan, kakak ipar jahanamnya itu malah tidur.
“Rum ....” Sampai detik ini, ibu Sumini masih rutin meminta pertolongan untuk Supri kepada Arum. Namun maaf-maaf saja, Arum sudah tidak peduli.
“Ya Alloh sakit banget.” Supri juga masih aktif merintih meski tidak sekencang saat awal-awal.
Dari semuanya, tak ada yang membuat Arum iba atau setidaknya patuh dan bergegas membantu layaknya biasa. Malahan, keadaan kini teramat membuat Arum bahagia. Ia bahkan mematikan kompor karena air untuk Angga mandi sudah panas, sambil menahan tawanya.
“Mas, airnya sudah panas. Mandi dulu, baru pergi. Beli sarapan di pasar, enggak usah sarapan di rumah,” ucap Arum lantaran sang suami masih di sana.
“Memangnya kamu enggak masak?” tanya Angga yang tengah mengoreksi isi tas kerjanya. Tas kerja yang biasa Angga bawa ke bank.
Arum melirik sinis sang suami. “Memangnya mau masak apa? Yang dimasak juga enggak ada. Hari ini aku mau bersih-bersih warung. Sekalian mau siapin tempat tinggal sendiri.”
“Siapin tempat tinggal sendiri bagaimana?” sergah Angga.
Arum yang sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk sambil fokus menatap Aidan tanpa sedikit pun melirik sang suami, berangsur menatap yang bersangkutan. “Masih tanya?” lirihnya menatap tak habis pikir Angga. Pria itu langsung kicep bahkan memalingkan wajah. “Terus, kejadian di depan kamar mandi tadi, Mas juga masih tanya? Apa perlu, aku melakukannya juga ke Mas biar Mas paham?” sewotnya masih berucap lirih.
“Demit intipnya masih guling-guling kesakitan di lantai. Andai yang jadi istri kamu beneran manusia, pasti sudah gila karena semua penghuni rumah ini termasuk kamunya, gi-la tingkat dewa!” lanjut Arum masih berucap lirih. Namun, kali ini Arum yakin, sang suami percaya Supri sering mengintipnya. “Setelah sekian purnama akhirnya percaya juga, kan?“ Kali ini Arum sengaja menyindir sambil melirik yang bersangkutan. Dan kembali, Angga tak berani menatapnya, menegaskan bahwa pria itu malu sendiri dengan ulah kakak iparnya. “Makanya Mas bilangin ke Mbak Mas. Jaga penampilan, sudah punya suami, biar suaminya enggak jelalatan apalagi jajan. Gini-gini, secapeknya aku, semarah apa pun aku ke Mas, aku masih berusaha menjaga penampilan dan memenuhi kebutuhan batin Mas. Meski yang ada justru tetangga yang mengucapkan terima kasih padahal mereka cuma bisa melihat sambil nahan nafsu! Ini aku masih pakaian tertutup, bayangkan kalau aku sampai sedikit saja buka tangan, apalagi dada dan pahaku.”
“Masih pagi, Rum. Jangan nyanyi kenceng-kenceng,” ucap Angga sambil keluar dari kamar.
“Mas, aku mau kamu mensyukuri karena kamu sudah punya aku, atau setidaknya kamu berterima kasih!” kesal Arum sampai keceplosan dengan suara lantang. Ia menyusul Angga yang ternyata membangunkan Anggun.
Arum menatap wajah-wajah di sana yang terlihat begitu tersiksa. Di kasur busa yang sudah sangat lepek, Anggun masih meringkuk nyaman sambil memberi Cantik ASI. Itu sudah jadi senjata andalan Anggun yang akan berdalih, sangat capek hanya karena memberi Cantik ASI. Sementara di sebelahnya, ketiga anaknya yang sudah besar tengah merengek kelaparan. Ketiganya masih kompak meminta makan.
“Kamu beneran enggak mau masak buat anak-anakku, Rum? Kebangetan banget kamu!” lantang Anggun emosi menatap marah anggun yang masih berdiri di belakang Angga. Keduanya sama-sama berdiri di bibir pintu kamarnya.
“Mas masih mau tetap diam?” tegas Arum memastikan sikap suaminya.
“Ya sudah kamu beliin mi terus masakin bentar mumpung Aidan belum bangun, Rum,” sergah Angga mengomel kepada sang istri.
Arum tak bisa berkata-kata seiring wanita itu yang menggeleng di tengah kenyataan dadanya yang terasa sangat pegal. “Lama-lama, aku malah bisa nikahin kamu sama Mbak kamu lho, Mas. Sudah sebagian besar penghasilan buat Mbak kamu, ... kasih sayang pun ....” Ngeri, hati Arum sampai sudah langsung menangis.
“Kamu begitu, gara-gara Angga mau menikah lagi apa bagaimana, sih, Rum?” sergah Anggun yang susah payah berusaha bangun. Ia menatap marah Anggun di tengah suasana kamarnya yang terbilang remang karena lampu di sana memang jauh dari terang.
Pernyataan Anggun barusan, sangat membuat Arum syok. Arum makin tidak baik-baik saja. “Kamu mau menikah lagi, Mas?”
Namun bisa Arum pastikan, kebenaran dari pernyataan Anggun nyaris seratus persen. Terbukti, Angga yang sudah sempat menatap bahkan menghadapnya, langsung tidak berani menatapnya. Angga sampai balik badan dan kembali memunggunginya.
lanjut rum. ... /Determined/