Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 19
Entah sudah berapa lama Tiara menangis. Mata sembabnya pun kini sudah terasa perih. Tapi tak seperih rasa dalam hatinya. Dia benar-benar tak menyangka kedua kakaknya sampai hati menyuruh beberapa orang menculiknya dari villa keluarga Irwan kemudian membawa paksa dirinya ke Perancis.
Terdengar ketukan beberapa kali, kemudian pintu kamar yang tengah ditempatinya terbuka. Andre berdiri di ambang pintu dengan ekspresi muram dan rasa bersalah. Sesaat kemudian dia melangkah masuk mendekati Tiara yang masih sesenggukan sedang duduk mendekap bantal di tempat tidur.
Kini wajah sembab gadis itu terlihat murka. Dilemparnya bantal di tangannya ke arah wajah Andre yang tak berani menangkis apalagi menghindar.
"Mau apa kau?! Pergi! aku tak mau melihatmu, juga Pierre. Kalian keterlaluan! Bagaimana mungkin kalian sanggup melakukan hal seperti ini pada adik kalian sendiri?!", Tiara tak bisa menahan amarahnya.
Rasa kecewanya begitu dalam. Belum juga selesai masalah yang menimpa Arya, kini dia dipisahkan jauh dari suami dan kakak perempuannya.
Andre hanya bisa menunduk, tak mampu menyusun kata-kata pembelaan diri. Kemudian dia sadar, bahwa dia memang tak pantas membela diri. Apapun alasannya, perbuatannya bersama Pierre memang keterlaluan. Tapi sungguh, mereka benar-benar tak punya cara lain lagi.
"Tiara.. aku.. maafkan aku. Maafkan kami. Kami terpaksa melakukan ini demi kebaikanmu", ucap Andre lirih dengan kepala menunduk.
"Hah, kebaikan apa yang kudapat dari semua ini?! Kalian membawaku pergi jauh dari suamiku dan juga Mbak Intan. Bahkan kalian melakukannya seperti penculik, mengabaikan perasaanku yang takut setengah mati ketika orang-orang suruhan kalian memaksaku untuk ikut mereka. Tak peduli betapa keras aku memohon dan dengan ketakutan akan apa yang mungkin mereka lakukan padaku, mereka tak menghiraukanku sedikitpun"
Tiara merasakan pilu dan kekecewaan yang begitu dalam.
Andre memejamkan matanya, air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya jatuh juga.
"Maafkan aku.. maafkan"
Kemudian dia berlalu dari ruangan itu meninggalkan Tiara yang masih tak mampu menghentikan tangisnya.
Saat Andre sudah di luar kamar, Pierre yang duduk di sofa segera berdiri menghampirinya.
"Bagaimana? Apa dia mau mendengarkanmu?", tanya Pierre tak sabar.
Andre hanya menatapnya lesu. Tak perlu kata-kata, Pierre sudah tahu apa yang terjadi. Kalau Andre saja tak berhasil membujuk Tiara untuk mendengarkan penjelasannya, apalagi dirinya.
"Ya Tuhan.. harus bagaimana? Kita tak bisa terus-terusan menyembunyikannya di sini. Lambat laun Père dan juga Gerard Vermont akan mengetahui keadaan sebenarnya"
"Apa tidak sebaiknya kita menghubungi Intan? Maksudku, kita bisa meminta bantuannya untuk memberi pengertian pada Tiara tentang apa yang sedang kita lakukan", usul Andre yang sebenarnya sudah mulai putus asa karena tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi adik mereka.
Pierre hanya melengos, seolah menunjukkan kalau ia malas bila harus bicara dengan Intan apalagi untuk meminta bantuannya.
"Kau pikir dia mau melakukan itu? Kau lupa? Kalau bukan karena dia dan sikap keras kepalanya, kita tidak akan berada di situasi ini"
Andre diam, tak langsung menanggapi sahutan Pierre. Dia memilih duduk di sofa kemudian bersandar.
"Pierre, kalau kau setuju, aku...", Andre menghela nafas kemudian menjauhkan punggungnya dari sandaran sofa seraya menatap Pierre.
"Aku akan menghubungi Intan. Menjanjikan pertemuan dengan Tiara dengan balasan dia bersedia bicara dengan Tiara tentang masalah ini"
Mendengar itu Pierre langsung ingin protes.
"Aku tahu, itu memang terkesan kita melakukan perbuatan buruk lagi kepada mereka dan akan kembali memancing kemarahan Intan. Tapi tolong ijinkan aku mencoba bicara dengan Intan sekali lagi. Suka atau tidak, nyatanya kita memang memerlukan Intan untuk menangani Tiara"
Pierre hanya menatapnya intens dengan ekspresi yang terlihat tengah menimbang-nimbang keputusan yang akan diambilnya.
"Baiklah, kau boleh bicara dengannya. Aku serahkan urusan Intan kepadamu"
Pierre akhirnya memutuskan, walau terpaksa.
"Sekarang yang aku inginkan hanya pulang ke rumahku. Sudah hampir seminggu aku belum bertemu anak dan isteri ku"
Ia kemudian berlalu keluar menuju mobilnya.
Andre menatap kepergian Pierre dari jendela kaca besar di hadapannya hingga mobil Pierre menghilang dari pandangannya. Andre menghela nafas. Ada rasa iri dalam hatinya. Saat-saat seperti ini, Pierre bisa kembali ke anak isterinya untuk sekedar melepas rasa penat dan jenuh karena masalah yang tengah mereka hadapi. Sementara dirinya? Bahkan seorang kekasih pun sekarang ia tak punya. Ia terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan dan keluarga besarnya. Kalaupun ada urusan asmara, tak pernah ada yang serius, setidaknya dari pihak dirinya. Entahlah, mungkin dia terlalu pemilih bahkan di usianya yang sudah kepala tiga.
Pikirannya kembali pada Intan. Adik tirinya itu yang sebenarnya jadi hambatan terbesar bagi mereka. Karena itulah Andre berpikir, kalau Intan sudah bisa diajak kompromi maka masalah ini akan lebih mudah diselesaikan.
Diambilnya ponsel dari atas meja dan menghubungi sekretarisnya.
"Carikan penginapan di sekitar Paris, yang nyaman dengan fasilitas bagus tapi tak banyak orang yang tahu"
"Aku belum tahu kapan perlunya, tapi segera. Nanti aku kabari lagi"
Andre menutup telponnya kemudian beranjak mendekati pintu kamar yang ditempati Tiara, mencoba mendengarkan apa yang bisa dia dengarkan dari situ. Sepertinya sudah tak ada suara tangisan lagi.
Setelah memesan makanan pada juru masak di dapur, Andre pun beranjak menuju kamar untuk menyegarkan diri. Urusan beberapa hari ini benar-benar menguras energinya. Dia perlu kepala dingin untuk menyusun rencana selanjutnya.
**********
Intan memarkir mobilnya di depan kantor. Suasana di situ terlihat lebih lengang setelah perusahaan itu kehilangan hampir semua kontrak besar dalam waktu bersamaan. Dan kini kelangsungannya tergantung pada segelintir proyek besar yang masih bisa dipertahankan dan sejumlah proyek kecil yang nilainya tak seberapa untuk perusahaan sebesar itu.
Intan melakukan panggilan telpon, masih di dalam mobilnya.
"Halo Zak, ini Intan. Aku di depan kantor dan perlu bicara denganmu sekarang. Penting"
"Nanti saja kuberitahu, dan tolong jangan sampai Irwan tahu"
"Baik, aku tunggu"
Setelah menutup panggilan itu, Intan memijat-mijat pelipisnya. Tak berapa lama terlihat Zaki keluar dari kantor dan menghampiri mobilnya.
"Masuk", pintanya.
Zaki sempat terdiam, kemudian memutuskan mengikuti perkataan Intan.
"Kita bicara sambil jalan saja",
Zaki hanya diam dengan raut bingung.
"Sebelumnya aku minta maaf. Tapi hanya kau yang bisa membantuku sekarang"
"Apa yang bisa saya bantu Mbak?"
"Aku perlu bicara dengan Arya secepatnya. Kudengar kau punya saudara di bagian Bareskrim, jadi...", Intan menghentikan kalimatnya kemudian melirik sebentar ke arah Zaki yang sepertinya masih menyimaknya dengan sungguh-sungguh.
"Maksudku, bisakah kau mengusahakan agar aku bisa bertemu dengan Arya sekarang?", tanyanya dengan wajah memelas
Zaki menghela nafasnya. Dia bingung harus menjawab apa.
"Hm.. anu Mbak, saya.. tidak bisa memastikan bisa atau tidak. Tapi mungkin tidak ada salahnya kita coba dulu. Hanya itu yang bisa saya janjikan"
Intan tersenyum, paling tidak Zaki tidak menolak permintaannya.
Dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai di tujuan dan mereka langsung menuju ke meja Rizal.
Rizal terlihat sedikit terkejut dengan kedatangan Zaki, apalagi dia datang bersama seorang wanita cantik.
"Assalamualaikum bang. Maaf, saya datang lagi"
"Ya. Ada perlu apa?", ucapnya pada Zaki seraya melirik sekilas ke arah Intan.
"Ah iya, kenalin Bang. Ini Mbak Intan, kakak iparnya Arya. Beliau pengen ketemu sama Arya, ada hal penting yang mau diomongin"
Rizal kembali melirik ke arah Intan yang kini juga tersenyum sungkan sambil berharap orang di hadapannya ini bisa membantunya.
"Maaf Pak, saya perlu bicara dengan Arya secepatnya karena saya sudah harus berangkat ke luar negeri siang nanti"
Zaki sontak mengerutkan dahinya. Dalam hatinya bertanya-tanya ada keperluan apa Intan pergi ke luar negeri di saat-saat genting seperti ini. Tidak mungkin untuk liburan kan?
"Maaf Bu, sepertinya saya tidak bisa membantu anda. Kunjungan untuk Arya sangat dibatasi mengingat kasus ini sudah dalam tahap penyidikan lanjut"
Sontak wajah Intan terlihat kecewa. Sebenarnya Rizal pun merasa tak enak melihat perubahan di wajah wanita secantik itu. Padahal sebelumnya dia melihat senyum yang sangat indah di sana.
"Apa tidak ada orang lain yang bisa saya ajak bicara pak? Saya sangat perlu untuk menemuinya, penting sekali pak", Intan memelas, membuat Rizal tambah tak enak hati.
Rizal menggeleng perlahan yang akhirnya membuat Intan hanya bisa menghela nafas.
"Ada Mbak, ada", ucap Zaki tiba-tiba.
Dia mengambil sebuah kartu nama yang ada di sela-sela tumpukan berkas di meja Rizal.
Intan bingung sekaligus merasa memiliki harapan karena ucapan Zaki tadi.
"Mbak silakan duduk dulu di kursi ruang tunggu. Nanti saya kabari", pintanya dengan wajah yang kini lebih cerah.
Rizal bingung dengan perilaku Zaki. Sementara Zaki hanya tersenyum lalu sedikit menjauh dari Rizal untuk melakukan panggilan telpon.
Rizal terus-menerus mengamati Zaki dari mejanya sampai Zaki selesai melakukan panggilan telpon itu. Zaki kemudian kembali ke meja Rizal.
"Bang, boleh numpang nunggu ya. Ada orang penting mau datang ke sini"
Zaki cengengesan kemudian pergi ke ruang tunggu untuk menemui Intan.
Di sana terlihat Zaki seperti menerangkan sesuatu pada Intan dan wajah Intan terlihat kaget. Tapi beberapa saat kemudian, wajah itu malah terlihat cerah dengan senyuman manisnya. Rizal sebenarnya penasaran, tapi gengsi untuk minta penjelasan dari Zaki. Akhirnya dia hanya bisa kembali ke pekerjaannya.
Beberapa saat kemudian, Zaki terlihat berdiri seolah sedang menyambut kedatangan seseorang. Kemudian dia mengajak orang itu dan juga Intan untuk menemui Rizal.
"Eh, hem... Tolong beritahu atasan kamu, saya ingin bicara dengan beliau sekarang juga", ucap orang penting itu.
Rizal kaget, kemudian wajahnya berubah kesal demi bertemu lagi dengan wanita angkuh dan menyebalkan di hadapannya.
Rizal sudah akan menyahut saat salah seorang staf di sana menghampiri mereka.
"Maaf Mbak, silakan langsung ke ruangan beliau. Sudah ditunggu", ucapnya sangat sopan.
Rizal semakin emosi melihat hal itu. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dan lihatlah, siapa yang sedang berjalan menjauh darinya dengan pandangan menyeret dan senyum kemenangan. Ya, dialah Armita Atmadja, anak salah satu orang penting yang bisa mendapatkan keistimewaan illegal bermodal nama ayahnya.
Rizal semakin geram melihat tingkah wanita itu. Dalam hatinya ia berjanji, bila suatu saat dia menempati jabatan penting di sini, dia tidak akan membiarkan orang-orang seperti itu semaunya mengobrak-abrik aturan di institusi ini.
Bagus...