Nada memiliki Kakak angkat bernama Naomi, mereka bertemu saat Nada berumur tujuh tahun saat sedang bersama Ibunya di sebuah restauran mewah, dan Naomi sedang menjual sebuah tisu duduk tanpa alas.
Nada berbincang dengan Naomi, dan sepuluh menit mereka berbincang. Nada merasa iba karena Naomi tidak memiliki orang tua, Nada merengek kepada Ibunya untuk membawa Naomi ke rumah.
Singkat cerita, mereka sudah saling berdekatan dan mengenal satu sama lain. Dari mulai mereka satu sekolah dan menjalankan aktivitas setiap hari bersama. Kedekatannya membuat orang tua Nada sangat bangga, mereka bisa saling menyayangi satu sama lain.
Menginjak remaja Naomi memiliki rasa ingin mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tua Nada. Dia tidak segan-segan memberikan segudang prestasi untuk keluarga Nada, dan itu membuat Naomi semakin disayang. Apa yang Naomi inginkan selalu dituruti, sampai akhirnya terlintas pikiran jahat Naomi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evhy Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 35
**
Kenzo dan beberapa panitia lain, memberikan informasi bahwa mereka harus bersiap untuk pulang ke rumah siang ini.
"Ayok kita akan pulang hari ini, lihat lagi barang bawaan kalian, takutnya ada yang tertinggal!" teriak Bagas memakai speaker.
"Siap!" jawab mereka dengan serempak.
Semua pun sibuk dengan kegiatannya masing-masing, memasukan barang ke dalam tas, ada yang heboh mencari sepatu mereka, dan ada yang melepaskan tenda masing-masing.
Setelah beberapa saat, suasana di perkemahan semakin ramai dengan suara obrolan dan tawa kecil. Ada yang masih sibuk memastikan barang-barangnya lengkap, sementara yang lain mulai membantu teman-teman yang terlihat kesulitan.
Kenzo memperhatikan sekeliling untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Dia melihat Nada yang tampak kesulitan melipat tenda sendirian. Tanpa pikir panjang, dia menghampirinya.
"Butuh bantuan?" tanya Kenzo dengan senyum tipis.
Nada mengangguk sambil tertawa kecil. "Iya nih, kayaknya aku nggak bakal selesai sampai sore kalau sendirian."
"Tenang aja, aku bantu," kata Kenzo sambil mulai membantu merapikan tenda.
Di sisi lain lapangan, Bagas masih sibuk mengatur logistik. Dia memeriksa daftar barang kelompok untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. "Masa sih kita kehilangan panci lagi? Tahun lalu juga kejadian!" keluhnya sambil menggelengkan kepala.
Tiba-tiba, suara teriakan terdengar dari arah hutan kecil di dekat perkemahan. Semua orang langsung terdiam, menoleh ke arah sumber suara. Ternyata itu suara Jeno, salah satu peserta.
"Hei! Ada yang lihat powerbank gue? Kayaknya jatuh waktu ngecas tadi malam!" teriaknya panik.
Beberapa anak mulai tertawa, sementara yang lain menggelengkan kepala. "Dasar Jeno, powerbank aja bisa hilang," celetuk Aqillai sambil tersenyum lebar.
Namun, sebelum ada yang sempat mencarinya, langit yang tadinya cerah mulai berubah menjadi mendung. Awan kelabu menutupi matahari, dan angin dingin berhembus perlahan.
Bagas kembali mengambil speaker-nya. "Ayo, cepat! Kita harus selesai sebelum hujan turun. Jangan sampai basah kuyup di jalan!"
Semua orang langsung bergerak lebih cepat. Tenda-tenda mulai dirapikan, barang-barang dikumpulkan, dan satu per satu panitia memastikan semuanya siap untuk berangkat.
Semua orang masuk ke dalam bus, mereka mengacak bus yang akan ditumpangi, dan itu sudah persetujuan Kenzo. Kenzo tetap memilih bersama Nada, dan Nada memilih satu bus bersama Jeno dan Aqilla.
Setelah memastikan semuanya siap, rombongan mulai berjalan menuju titik kumpul di tepi jalan utama, tempat bus telah menunggu. Hujan mulai turun perlahan, membuat semua orang sedikit panik untuk mempercepat langkah. Kenzo, yang berjalan di bagian belakang, memastikan tidak ada yang tertinggal.
"Jangan lari, nanti malah ada yang terpeleset!" seru Kenzo sambil melihat ke arah Nada dan Jeno yang terlihat tergesa-gesa.
Begitu sampai di bus, semua barang dimasukkan ke dalam bagasi. Bagas, sebagai penanggung jawab logistik, memastikan semuanya tercatat. "Oke, panci aman. Powerbank Jeno... yah, itu masih hilang," katanya dengan nada bercanda, membuat semua orang tertawa kecil.
Bus pun mulai melaju. Di dalam, suasana ramai dengan cerita-cerita pengalaman selama perkemahan. Aqillai memimpin permainan tebak-tebakan, membuat suasana bus dipenuhi tawa. Sementara itu, Kenzo duduk di dekat jendela, memperhatikan hujan yang semakin deras.
Nada duduk di sebelahnya. "Capek banget ya, tapi seru," katanya sambil bersandar di kursinya.
Kenzo tersenyum. "Iya, perkemahannya nggak bakal terlupakan. Apalagi bagian lipat tenda tadi."
Nada tertawa kecil. "Makasih, ya. Kalau nggak ada kamu, aku mungkin masih di sana sampai sekarang."
Bus terus melaju, dan perlahan suasana mulai tenang. Beberapa anak tertidur kelelahan, sementara yang lain masih mengobrol pelan. Bagas berjalan ke depan bus untuk memastikan jadwal tiba di sekolah.
"Harusnya dua jam lagi sampai," katanya kepada sopir.
Namun, jalanan mulai sedikit macet karena genangan air di beberapa titik. Hujan belum juga reda. Meski begitu, semua tetap tenang, karena mereka tahu perjalanan ini akan segera berakhir.
Satu per satu peserta diturunkan di titik penjemputan masing-masing.
Aqilla dan Jeno dijemout di lingkungan sekolah, begitu pun Naomi dan Nada ikut turun bersama di sekolah.
"Lo yakin mau bareng sama Nenek lampir?" tanya Jeno berbisik pada Nada.
"Dia Naomi, Jen."
"Pokonya itu, gue enggak yakin Lo bakal pulang dengan aman."
Nada menyikut perut Jeno, ucapannya begitu menakutkan di telinga Nada.
Kenzo menghampiri Nada, dan bertanya mengenai penjemputan.
"Sudah dijemput?"
Nada menggelengkan kepala. "Belum, Naomi juga masih ada."
Nama yang disebut langsung memutar bola matanya, dia benar-benar jengah dengan Nada. Dia tidak bisa leluasa menyakiti Nada saat berkemah, karena Kiki selalu mengawasi dirinya.
"Mau pulang bareng?" tanya Kenzo.
"Terus yang lain gimana?"
"Aku udah kasih tugas buat Bagas sama Kiki, buat antar mereka sampai rumah."
"Lah, terus kamu pulang naik apa?"
"Aku bawa mobil."
Jeno menahan senyum kala mendengar percakapan Nada dan Kenzo menggunakan bahasa lembut.
"Cie aku- kamu, sejak kapan?" goda Jeno.
Nada mengerutkan keningnya. "Sejak apanya?"
"Ya sejak kapan kalian ngomong bahasa formal gitu? Emang sejak kapan yang dimaksud apaan tuh?"
Nada menggaruk kepalanya dia merasa canggung dan pipinya memanas kala Jeno menggodanya.
"Cie Nada!"
"Apaan sih, Jen. Udah sono balik tuh supir Lo udah jemput."
Jeno balik badan dan benar saja supirnya sudah menjempit, begitu pun Aqilla yang pamit pada Nada, dia tidak banyak bicara karena merasa lelah sekali.
"Terus Lo gimana?" tanya Jeno.
"Ya gue baliklah sama keluarga gue."
"Ck, gini aja deh." Jeno menghampiri Ksnzo, lalu membisikkan sesuatu yang Nada saja tidak daat mendengar percakapan mereka.
"Oke, Ken?" tanya Jeno.
Kenzo menganggukkan kepala, dan menjawab dengan deheman. Nada benar-benar dibuat penasran oleh Jeno dan Kenzo.
"Oke kalau gitu, bye Nada!" Jeno melambaikan tangan sambil berlari menuju mobilnya lalu hilang di lingkungan sekolah.
Nada menoleh menatap Kenzo. "Tadi Jeno ngomong apaan?"
Kenzo hanya mengangkat kedua bahunya seakan tidak tahu apa-apa. Nada menghela napas pasrah jika Kenzo bungkam.
Tak lama oramg tua Nada sampai di lingkungan sekolah, Nadia langsung keluar dari mobil dan berlari ekcil menghampiri Naomi.
"Naomi!" seru Nadia.
Naomi memeluk Nadia, dan tak luput dari pandangan Nada. Nada berdiri terpaku, melihat interaksi antara Naomi dan Nadia. Rasanya seperti jarak yang selama ini dia abaikan semakin nyata di depan matanya. Naomi dan Nadia terlihat begitu dekat, seolah tidak ada ruang untuk dirinya di antara mereka.
Kenzo yang memperhatikan Nada dari samping mencoba mencairkan suasana. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya pelan.
Nada tersenyum kecil, tapi jelas dipaksakan. "Aku nggak apa-apa kok. Capek aja, mungkin."
Namun, pandangan Nada tidak lepas dari Naomi yang masih berbicara akrab dengan Nadia. Dia merasa hatinya semakin berat. Mama semakin terlihat lebih peduli pada Naomi,pikir Nada, tapi dia tidak berani mengungkapkan isi hatinya. Percuma saja yang ada Nada akan dicap anak tidak tahu diri.
Setelah beberapa saat, Nadia menyadari Nada hanya berdiri diam. "Nada, ayo masuk mobil," panggil Nadia dengan senyum lembut. Padahal dia menutupi kekesalannya pada Nada di depan Kenzo.
Nada berpamitan kepada Kenzo, dan Kenzo menganggukkan kepala, pria itu memutuskan untuk mengikuti mobil milik Nadia.
Nada berjalan pelan ke arah mobil tanpa berkata apa-apa. Begitu masuk, dia memilih duduk di kursi belakang, membiarkan Naomi duduk di depan bersama Nadia.
Sesampainya di rumah, Nada langsung masuk ke kamarnya tanpa menunggu pembicaraan lebih lanjut. Nadia lebih asyik berbincang dengan Naomi, menanyakan kabar dan kepedulian pada Naomi. Nada seakan menjadi angin lalu di sana.
---
Di dalam kamarnya, Nada duduk di tepi tempat tidur, memegang boneka kecil yang diberikan Nadia beberapa tahun lalu. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh juga. Dia merasa semakin terlupakan, dan merasa Naomi lebih berarti bagi Mamanya dibanding Nada anak kandungnya sendiri.
Saat itulah ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Kenzo muncul di layar.
"Hei, kamu nggak apa-apa? Kalau ada apa-apa, cerita aja."
Nada terdiam, menatap pesan itu. Dalam hati, dia merasa sedikit lega. Setidaknya ada yang memperhatikannya. Tapi dia tidak tahu harus menjawab apa, jadi dia hanya mengetikkan:
"Aku baik-baik aja. Makasih, Kenzo."
Tapi hatinya tahu, dia tidak benar-benar baik-baik saja.