Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23. Gugatan Cerai Amara
Dante berdiri di ambang pintu, menyandarkan tubuhnya pada kusen dengan tangan menyilang di dada.
"Melodi yang indah. Tapi penuh rasa sakit.” Kata Dante.
Amara berhenti bermain, tetapi tidak menoleh.
"Jika kau hanya datang untuk komentar, aku ingin sendiri,” jawab Amara tak senang.
"Aku tidak percaya kau bisa bermain seperti itu kalau kau benar-benar ingin sendiri."
Amara akhirnya menoleh, menatapnya dengan dingin.
"Apa yang kau mau, Dante?"
"Kau,"
Kata itu membuat Amara terdiam, tapi dia segera mengalihkan perhatian, menaruh biolanya dengan hati-hati di meja.
"Aku bukan bagian dari permainanmu dengan Mia. Kalau kau menikmatinya, aku tidak peduli," kata Amara.
Dante tersenyum sinis. "Kau benar-benar tidak peduli? Karena dari cara kau menatapku tadi di taman, aku bisa merasakan sebaliknya."
Amara dengan tegas menyangkal, "Kau salah. Aku sudah melepaskan semua harapan untuk kita."
Dante mendekat, berdiri hanya beberapa inci dari Amara.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak pergi? Tinggalkan rumah ini. Tinggalkan aku."
"Kau tahu kenapa," jawab Amara pelan.
Hening sesaat. Dante menatap Amara dalam-dalam, mencoba membaca apa yang ada di pikirannya. Tapi Amara segera berbalik, berjalan menuju pintu.
"Amara,” Dante mencegatnya.
Ia berhenti, tetapi tidak menoleh.
"Berhentilah berbohong pada dirimu sendiri. Kau masih mencintaiku."
Amara berbisik dalam diam, "Dan itulah masalahnya," katanya.
Amara meninggalkan ruangan, meninggalkan Dante yang berdiri di sana dengan hati yang penuh kebingungan. Dia sudah memikirkan urutan apa yang akan ia jalankan berikutnya, untuk mewujudkan keinginan keluarga Mia dan Nyonya Laurent.
Keesokan harinya,
Amara duduk di sebuah kafe kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk rumah Laurent. Di depannya tergeletak dokumen-dokumen legal yang harus ia tandatangani. Gugatan cerai itu, meskipun terasa seperti luka yang ia torehkan pada dirinya sendiri, adalah satu-satunya jalan yang ia pikir bisa menyelamatkan semua orang yang ia cintai.
Di saat yang sama, Dante berada di kantornya. Ia memandangi layar laptopnya dengan pandangan kosong. Pesan dari pengacara Amara baru saja masuk ke inbox email-nya. “Gugatan cerai Amara Daisy,” demikian judul email itu. Tangannya gemetar saat membuka lampiran.
Amara Daisy menggugat cerai Dante Laurent.
Alasannya? Ketidakharmonisan rumah tangga yang tidak bisa diperbaiki.
Dante menggeleng tak percaya. Kata-kata itu terasa begitu formal, begitu dingin, begitu... bukan Amara.
Sementara di Kantor Pengacara, Amara duduk di kursi empuk di depan meja pengacaranya. Dengan tangan gemetar, ia menyerahkan tanda tangannya di halaman terakhir dokumen gugatan cerai itu. Pengacaranya, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh pengertian, menatapnya dengan lembut.
“Apakah Anda benar-benar yakin, Nona Amara? Ini langkah besar.”
Amara menatap keluar jendela, melihat dedaunan yang berjatuhan. Ada perasaan kehilangan yang tak tergambarkan. “Tidak ada pilihan lain,” katanya pelan. “Ini yang terbaik untuk Dante.”
“Apakah Anda ingin memasukkan klausul khusus? Mengenai hak asuh atau pembagian aset?”
Amara menggeleng. “Tidak ada. Saya hanya ingin dia bebas... dari semua kekacauan yang saya bawa ke hidupnya.”
Pengacara itu mengangguk pelan. “Baiklah, saya akan mengajukan gugatan ini hari ini,” katanya.
Malam itu, Dante kembali ke rumah lebih awal dari biasanya. Ia masuk ke ruang tamu dan menemukan dokumen gugatan cerai itu di meja. Amara duduk di sofa, matanya sembab.
“Jadi ini yang kau pilih, Amara?” Dante bertanya dengan suara bergetar.
Amara mencoba menegarkan diri. “Ini keputusan yang benar. Kita sudah terlalu banyak menyakiti satu sama lain, Dante.”
Dante melangkah mendekat, matanya menyala dengan emosi. “Bukan kita, Amara. Kau yang memutuskan semua ini tanpa memberiku kesempatan untuk memperbaiki apa pun. Kenapa kau menyerah?”
Amara menunduk, tidak mampu menatapnya. “Aku hanya ingin kau bahagia, Dante. Dan aku tahu kebahagiaan itu bukan bersamaku.”
Dante menggeleng, mendekat hingga mereka hampir berhadapan. “Aku tidak percaya itu. Katakan yang sebenarnya, Amara. Apa ini tentang nenekku? Tentang orang tua Mia?”
Amara berdiri, mencoba menjauh, tetapi Dante memegang lengannya. “Amara, tolong... aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Katakan padaku.”
Amara tetap bungkam. Ia tahu jika ia bicara, ancaman yang melayang di atas kepala mereka semua akan terwujud.
“Lepaskan aku, Dante,” katanya dengan suara hampir tak terdengar.
“Kalau kau ingin aku menandatangani surat itu, kau harus memberiku alasan yang sebenarnya,” Dante menantangnya.
Amara menarik napas panjang, menatap Dante dengan mata penuh luka. “Sudah ku katakan berulang kali, karena aku tidak pernah mencintaimu, aku hanya membodohi karena dendam, dan aku gagal” katanya pelan, tetapi setiap kata itu seperti duri yang menusuk dadanya sendiri.
Dante melepaskannya, terhuyung mundur. Kata-kata itu menghancurkannya, lebih dari apa pun yang pernah ia alami.
“Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya serak. “Kalau itu yang kau inginkan, aku akan memberikannya.”
Dante melangkahkan kakinya dengan kacau dan menjauhkan diri dari Amara.
Keesokan harinya, suasana di rumah Laurent semakin tegang. Dante bangun lebih awal dari biasanya, tidak bisa tidur setelah percakapan terakhirnya dengan Amara. Dia pergi ke ruang makan, tetapi tidak menemukan Amara di sana. Hanya ada Nyonya Laurent yang duduk dengan anggun di kursi kebesarannya, membaca koran pagi.
“Pagi yang tenang, bukan, Dante?” katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari surat kabar.
Dante tidak menjawab. Ia hanya menatap neneknya dengan pandangan dingin, tahu bahwa wanita itu pasti terlibat dalam situasi ini.
“Apa yang Nenek lakukan pada Amara?” tanyanya akhirnya, suaranya penuh tekanan.
Nyonya Laurent melipat korannya dengan santai, meletakkannya di meja, lalu memandang Dante. “Aku hanya memastikan bahwa kau tidak membuat keputusan yang buruk untuk masa depan keluarga kita.”
Dante menggebrak meja, membuat para pelayan yang sedang membereskan sarapan terkejut. “Keputusan buruk? Menikah dengan Amara adalah keputusan terbaik yang pernah kubuat!”
Nyonya Laurent mendengus. “Keputusan terbaik untukmu, mungkin. Tapi bukan untuk keluarga Laurent. Kau tahu, Dante, ada banyak hal yang tidak bisa kau mengerti. Amara bukan wanita yang tepat untukmu.”
“Cukup!” Dante berteriak, suaranya bergema di seluruh ruangan. “Aku tidak peduli dengan semua rencanamu, Nenek. Aku hanya ingin tahu apa yang kau katakan atau lakukan pada Amara sehingga dia memilih meninggalkanku.”
Nyonya Laurent tersenyum tipis, tetapi matanya berkilat penuh kemenangan. “Dia yang memutuskan, Dante. Aku hanya memberinya dorongan yang tepat.”
---
di hari yang sama pada siang itu, Amara duduk di ruangan yang sunyi di kantor pengacaranya. Ia memandang keluar jendela, berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di tengah badai yang menguasai hidupnya. Pengacaranya masuk dengan setumpuk dokumen.
“Kita hanya perlu tanda tangan terakhir di sini, Nona Amara,” katanya sambil meletakkan dokumen di depan Amara.
Amara mengambil pena, tetapi tangannya gemetar. Setiap helai dokumen itu terasa seperti pengingat atas cintanya yang kini terancam berakhir. Ia mencoba menguatkan diri, tetapi bayangan wajah Dante terus menghantuinya.
“Apakah kau yakin?” tanya pengacara itu, melihat keraguannya.
Amara mengangguk pelan. Saat ia menandatangani halaman terakhir, air matanya jatuh ke atas kertas.