Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Kelar Lebih Awal
...----------------...
"Kamu nyelidikin Lilis, ya?" cetus Lilis kepada Ryan.
"Enggak, lah. Ngapain nyelidikin istri orang?"
"Terus kamu tahu dari mana kalau Lilis lagi ada masalah?" Dengan polosnya Lilis bertanya.
"Keliatan dari muka kamu." Ryan tersenyum meledek setelah berkata seperti itu. Lilis pun berdecak kesal.
Semenjak mereka berkenalan, Ryan sering menyapa Lilis di tempat syuting. Bukan untuk mengejar perempuan itu lagi, melainkan hanya sebagai teman. Ryan berpikir, jika Lilis adalah orang baik yang bisa membantunya untuk mendapatkan hati Rara lagi.
Akan tetapi, terlebih dahulu Ryan harus mewujudkan misinya yang kedua pada distorsi waktu kali ini. Selain mengubah takdir Rara, Ryan juga ingin mengubah takdir temannya juga, yakni Lilis.
Pada kehidupan yang lalu, Lilis selalu diabaikan oleh suaminya. Lebih tepatnya, Liam—suami Lilis, tidak bisa jujur dengan perasaannya sendiri sehingga hati Lilis seringkali tersakiti.
Walaupun hubungan mereka akan bahagia pada waktunya, Ryan ingin membuat Lilis bahagia secepatnya. Lelaki itu akan menyadarkan Liam lebih cepat akan cintanya kepada Lilis.
"Kamu mau aku bantu mengatasi masalah kamu, nggak?" Ryan bertanya lagi membuat Lilis memicing curiga.
"Memangnya kamu tahu masalahnya apa?"
Ryan menarik kedua sudut bibirnya, lalu terdiam beberapa saat. Dia ingat jika waktu itu Lilis sedang bertengkar dengan suaminya lalu meninggalkan rumah, dan sekarang perempuan itu tinggal di rumah kakeknya.
"Kamu kabur dari rumah dan sekarang kamu merasa suami kamu seperti nggak peduli lagi sama kamu, kan?"
"Eh, beneran tahu ...." Lilis bergumam sambil membulatkan kedua matanya. Perkataan Ryan memang benar adanya. Padahal, Lilis tidak pernah memberitahukan hal tersebut kepada siapa-siapa. Walau mereka berteman, Lilis tidak mungkin bercerita tentang masalah rumah tangganya kepada Ryan begitu saja. Mereka berteman pun masih belum lama.
"Dari awal Lilis teh udah curiga, kamu teh beneran dukun, ya?" ucap Lilis dengan polosnya. Ryan pun tertawa. Perempuan itu akhirnya mengakui juga jika dia memang punya masalah.
"Kamu memang lucu dari dulu, tapi aku tetap mau bantu kamu."
Tawa Ryan mereda lalu menadahkan tangan kanannya di hadapan Lilis. "Pinjam ponsel kamu!" pintanya.
"Buat apa?"
"Pinjem bentar! Sebentar lagi kamu akan tahu bagaimana perasaan suami kamu yang sebenarnya," cetus Ryan dengan yakin.
Lilis mengerjap kaku, entah kenapa hatinya percaya dengan ucapan lelaki itu. Ia pun merogoh tas selempangnya lalu mengambil ponsel dari sana, kemudian langsung diberikan kepada Ryan.
Ryan menerima ponselnya, lalu langsung mencari nomor telepon Liam. Ryan langsung tahu nama kontak yang bertuliskan 'Ay' adalah suami perempuan itu. Tombol panggilan pun ditekan.
"Eh, kamu mau telepon siapa?" Lilis hendak merebut ponselnya, tetapi gagal karena Ryan langsung menghindar.
"Sssttt!" Ryan menyimpan telunjuknya di bibir, memberikan isyarat kepada Lilis agar tidak berisik lagi karena tanpa menunggu lama, panggilan itu diangkat oleh Liam.
"Lilis?" Terdengar suara Liam yang begitu khawatir. Sepertinya lelaki itu sedang menunggu panggilan dari nomor istrinya tersebut.
"Ck, dasar laki-laki munafik! Padahal khawatir banget, tapi masih nahan egonya sendiri." Ryan berkata dalam hati. Bibirnya mencebik dan kedua matanya berotasi malas. Sepasang suami-istri ini memang menikah bukan atas dasar cinta, tetapi ketika kini rasa cinta sudah terpatri di hati keduanya, sang suami masih saja abai dan tidak peka. Ryan sedang membantu mereka agar kesalahan itu tidak berlangsung lebih lama.
"Istrimu bersama saya. Jika kamu peduli dengan dia, datang ke alamat yang saya kirimkan sekarang!"
"Apa kamu bilang? Hei, kamu ...."
Ryan tak bisa mendengar lagi perkataan Liam di seberang telepon karena lelaki itu baru saja mengakhiri panggil secara sepihak.
"Beres, ayo, pergi!" ucap Ryan sambil menyodorkan ponsel Lilis.
Lilis malah bengong dan tersadar ketika Ryan menepuk pundak perempuan itu. "Malah bengong. Ayo, pergi ketemu suami kamu!" ajak Ryan lagi.
"Kamu mau mau bantuin mecahin masalah apa mau nambah masalah, sih? Ini namanya mancing masalah lagi. Bisa-bisanya kamu teh memprovokasi suaminya Lilis, hah?"
Lilis mengamuk, dia memukul bahu Ryan beberapa kali. Tentu saja lelaki itu dengan cepat menghindari.
"Kamu itu bodoh apa gimana? Justru dengan cara ini kamu bisa tahu bagaimana perasaan suami kamu yang sebenarnya. Jika dia tahu istrinya bersama dengan laki-laki lain, apa dia akan rela?"
Lilis bergeming sesaat. Pikirannya merambah ke mana-mana. Dia ingin mencobanya, tetapi sedikit tidak yakin jika suaminya peduli akan hal itu. Terlebih, Lilis sudah ingin menyerah untuk mengejar cinta suaminya itu.
"Jangan banyak mikir! Lebih cepat tahu, lebih baik. Daripada hati kamu lebih lama sakit. Aku punya keyakinan jika suami kamu juga mempunyai perasaan cinta yang sama, bahkan lebih dari yang kamu punya," ucap Ryan dengan sorot yang meyakinkan.
Lilis pun mencoba percaya. Sejak pertama kali bertemu dengan lelaki itu, ucapannya tidak pernah salah. Lilis curiga jika Ryan adalah titisan Jayabaya—Seorang Raja yang melegenda dari Pulau Jawa. Konon katanya, Beliau pernah meramalkan tentang masa depan Negara Nusantara dan ternyata banyak orang yang percaya.
"Oke, atuh, Lilis setuju. Tapi awas aja kalau salah. Lilis aduin sama miss Dania." Lilis mengancam dan Ryan tidak mau mendengarkan. Lelaki itu lekas menarik tangan Lilis, lalu membawanya ke parkiran. Tak lama mobil Ryan pun melesat membelah jalanan.
*****
Tak membutuhkan waktu lama, mobil Ryan terlebih dahulu tiba di tempat yang ditentukan. Sebuah taman yang tak jauh dari lokasi syuting Ryan.
"Ingat, ya, Lis! Kalau nanti suamimu datang, biarkan dia luapkan perasaannya terlebih dahulu. Kamu cukup diam. Jika sekiranya emosinya sudah mereda, kamu cukup peluk dia lalu katakan yang sejujurnya!"
Ryan memberikan instruksi kepada Lilis yang duduk di kursi taman. "Kamu yakin ini akan berhasil? Bagaimana kalau dia malah langsung menceraikan Lilis karena menyangka Lilis selingkuh sama laki-laki lain?"
"Hish, nggak mungkin. Dia itu cinta setengah gila sama kamu."
"Sok tahu!"
Ryan merasa gemas dengan sikap Lilis yang penakut dan tidak percaya diri. "Ikutin aja! Kenapa, sih? Bawel banget!" geram Ryan. Lilis pun mencebik kesal. Tak ayal hatinya menjadi galau.
Sorot cahaya dari lampu mobil yang datang membuat perhatian mereka teralihkan. Lilis tahu itu adalah mobil Liam. Ryan pun buru-buru pergi meninggalkan Lilis sendirian. Hingga mobil tersebut parkir di dekat Lilis lalu pengemudinya keluar, Ryan masih berdiri di tempat persembunyian.
Dari kejauhan, kedua mata Ryan tak lepas dari pasangan suami istri yang kini terlihat seperti bertengkar. Sang suami sedang berbicara sendiri seperti sedang meminta penjelasan kepada istrinya. Namun, istrinya hanya diam saja. Cukup lama Ryan hanya jadi penonton, tetapi dia tak mau menolong. Ryan yakin jika hubungan pasangan itu akan berakhir baik-baik saja.
Benar saja, lengkungan manis terukir di bibir Ryan ketika netranya melihat Lilis dan Liam berpelukan, sepertinya mereka sudah berbaikan dan saling mengungkapkan perasaan.
"Hah ... satu masalah udah kelar lebih awal. Nggak percuma aku kembali ke masa lalu," gumam Ryan masih mengembangkan senyuman.
...----------------...
...To be continued...