Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan dimasa Kecil
"Untuk yang tadi kak Amar katakan didepan orang-orang..."
Amar yang sebelumnya berdiri membelakangi Mahira sambil menggendong Baby Emir berbalik badan menatap Mahira yang tengah berbicara padanya. Akan tetapi hal itu membuat Mahira tertunduk takut untuk meneruskan apa yang ia ucapkan.
"lanjutkan," ucap Amar dengan sikap datarnya.
"E-itu.... ucapan kak Amar tadi... E-maksudnya jika kak tidak siap..."
"Aku siap." Amar langsung memotong ucapan Mahira karena tak sabar mendengar Amira yang berbicara terbata-bata.
"Ya, seharusnya aku memang mengatakan ini terlebih dahulu kepadamu tapi tadi aku mencarimu tidak ada, dan ternyata kamu ada di luar bersama mereka yang mengatakan banyak hal tentang mu, jadi aku harus mengatakan itu di depan mereka."
Mendengar itu Mahira terdiam tak tahu harus menjawab apa, Ia sendiri pun tidak yakin dengan pernikahan yang mendiang suaminya wasiatkan. Tapi sama halnya dengan Amar, Mahira pun ingin memenuhi keinginan terakhir suaminya untuk menikah dengan Amar yang dulu menjadi kakak iparnya.
"Kamu merasa keberatan?" tanya Amar yang melihat wajah Mahira yang terlihat bingung.
"E-tidak, ini keinginan terakhir Mas Amir, jadi kita harus memenuhinya kan?"
"Ya, ini keinginannya, jadi kita akan menikah hanya untuk memenuhi keinginannya, tidak ada cinta dan tidak ada kewajiban tugas suami istri yang perlu kita jalani. Semua akan sama, hanya status saja yang berbeda."
Membayangkan apa yang Amar katakan, disudut hati Mahira terasa nyeri, bagaimana ia akan menjalani pernikahan tanpa cinta, tanpa tugas dan kewajiban sebagai istri sementara selama ia menikah dengan Amir saling mencintai, saling membantu pekerjaan masing-masing dan saling dalam segala hal.
"Apa kamu merasa keberatan dengan itu?"
"Hah!?" Pertanyaan Amar mengagetkan lamunan Mahira.
"Aku tau ini sulit, tapi kita harus melakukan demi Amir dan terutama demi Emir, dia harus memiliki figur seorang ibu dan Ayah yang lengkap, aku tidak ingin Emir mengalami hal yang sama dengan apa yang aku dan Amir alami selama ini."
Memang sejak usia Amar sembilan tahun, dan usia Amir empat tahun, Ayah mereka meninggal akibat kecelakaan kerja. Sementara sang ibu meninggal lebih dulu sesaat setelah melahirkan Amir. Dan sejak saat itu mereka tinggal bersama Nenek, tapi itupun tidak berlangsung lama karena lagi-lagi saat usia Amar menginjak dua belas tahun mereka harus kembali kehilangan satu-satunya keluarga mereka.
Sejak saat itulah Amar yang usianya masih sangat muda harus mengemban tugas sebagai ibu, Ayah sekaligus kakak bagi Amir. Meskipun ada beberapa peninggalan dari orang tuanya, tapi itu tidak cukup untuk mereka melanjutkan perguruan tinggi sehingga Amar harus bekerja keras untuk menyelesaikan pendidikannya. Baru setelah ia menjabat sebagai CEO di salah satu perusahaan besar di ibu kota, dengan mudah Amar membiayai Amir hingga perguruan tinggi terbaik, tapi sayangnya Amir tidak mau menyelesaikan pendidikannya setelah jatuh hati pada Mahira, wanita desa yang ia temui disaat liburan ke Dieng Wonosobo Jawa Tengah. Namun hal itu tidak membuat Amar marah maupun membenci Mahira yang menjadi penyebab utama Amir tak mau melanjutkan kuliah, karena yang terpenting bagi Amar, Amir hidup bahagia dengan pilihannya. Karena hanya Amir lah satu-satunya saudara yang ia miliki saat itu, tapi kini seluruh keluarga telah meninggal Amar untuk selamanya, hanya baby Emir lah yang tersisa, dimana didalam tubuh baby Emir mengalir darah Adiknya.
"Aku tidak akan membiarkan Emir kekurangan kasih sayang sedikitpun," ucap Amar mengingat kesedihan dimasa kecilnya.
Bersambung...