Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18.
Ricardo masih memeluk Adira erat, merasakan kehangatan yang mereka bagi.
Ricardo lalu lanjut bertanya dengan lembut, “Jadi, karna itu juga kadang kau terlihat takut?,"
Adira terdiam, berusaha memahami pertanyaan tersebut. "Umm.." ia ingin menjawab, tapi rasa ragu menyelimuti hatinya. Akhirnya, Adira hanya memeluk pinggang Ricardo dengan erat, menandakan bahwa dirinya masih butuh waktu.
Ricardo terkejut dengan Adira yang balas memeluk dirinya lalu bertanya lebih lanjut, “Jawabannya bukan karena itu?,”
Adira menggelengkan kepala.
“Jadi?” tanya Ricardo lagi, mencari kejelasan.
Namun, Adira tetap diam. Seolah kata-kata terjebak di tenggorokan. Ricardo pun mengerti kesulitan yang dialami Adira, lalu menghela napas dan dengan lembut berkata, “Tak apa, kalau kau masih belum mau cerita,”
Adira dan Ricardo pun larut dalam pelukan, merasakan ketenangan yang menghangatkan hati mereka. Suasana di antara mereka mendadak terasa intim, dipenuhi pengertian tanpa paksaan.
Namun, suasana itu tak bertahan lama. Adira yang masih penasaran, akhirnya bertanya, “Ricardo, kenapa kau selamatkan aku?”
Ricardo perlahan melepaskan pelukannya, menatap Adira dengan intens. Seolah mencari kata-kata yang tepat. Ricardo lalu mengangkat lengan kanannya, menunjukkan bagian bawah lengan yang tersisa bekas luka, luka sayatan yang cukup panjang.
Namun, Adira tampak bingung. Membuat Ricardo merasa sendu. Ricardo sebenarnya sangat berharap jika Adira mengingat peristiwa lima tahun lalu, ketika dia dengan penuh perhatian mengobati lukanya.
“Jadi kau memang tak mengingat ku” pikir Ricardo dalam hati.
Hatinya sedikit terluka melihat Adira yang tak mengerti apa pun tentang perasaan nya. Setelah beberapa saat, Ricardo pun beranjak dari tempat tidur. Meninggalkan Adira yang masih kebingungan dengan dingin yang menyentuh hatinya.
“Mungkin kau hanya terlalu baik atau sedikit bodoh,” sindir Ricardo.
Mendengar perkataan tersebut Adira hanya terdiam, merasakan ketegangan di antara mereka. Setelah kejadian itu, Adira dan Ricardo pun menjauh.
Dua hari berlalu begitu saja dan Ricardo masih saja terus menghindar. Saat jam makan tiba, Adira selalu duduk sendirian di meja makan. Dia menyendok makanan dengan rasa canggung yang menyelimuti dirinya.
Di sisi lain, Ricardo memilih untuk duduk di meja yang terpisah. Menghabiskan makanannya tanpa satu pun kata yang terlontar. Adira berusaha memecah keheningan dengan mencoba basa-basi, “Ricardo, makanan ini apa namanya? Aku suka ini,"
Namun, setiap kali Adira bertanya Ricardo terus saja diam. Ia tampak sibuk dengan pikirannya sendiri, menatap piringnya dengan fokus yang tak terputus. Seolah menutup diri dari dunia di sekelilingnya. Keheningan itu terus menggantung di udara, menciptakan jarak yang melebar di antara mereka.
Keesokan hari nya, Adira merasa sudah cukup berani untuk mulai bicara duluan. Karna dia butuh bantuan Ricardo untuk memerintahkan orang-orang nya agar mereka mengembalikan handphone milik dirinya.
Sejak terjebak dalam situasi ini, Adira belum menghubungi keluarganya sama sekali. Mereka pasti sangat cemas sekarang. Dengan perasaan campur aduk, Adira pun menghampiri Ricardo yang sedang duduk di kursi meja kerja nya. Tampak fokus pada beberapa lembar kertas yang ada ditanganya.
“Ricardo,” ucap Adira, suaranya terdengar ragu namun ia mencoba menunjukkan keberanian.
“Bisa minta tolong?,"
Ricardo menatap Adira dengan alis yang terangkat, “Apa?,” tanyanya, nada suaranya menyiratkan kecurigaan.
"Tolong minta orang-orangmu untuk kembalikan tas ku," jawab Adira tenang.
"Tas?,"
"Iya, aku di bawa kesini masih dengan tas ku. Aku butuh tas itu."
"Aku tak yakin tas itu masih ada." jawab Ricardo lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya.
"Ricardo," ujar Adira memelas.
"Tolong, aku butuh handphone ku,"
Ricardo lalu tersenyum sinis dan dengan dingin bertanya. “Kau ingin menghubungi seseorang?,”
"Iya," jawab Adira, sibuk meremas tangan nya sendiri. Entah kenapa aura Ricardo berubah.
"Siapa?," tanya Ricardo tanpa menoleh ke Adira masih fokus dengan kertas di tangannya.
"Adik ku," jawab Adira lagi.
"Adik?," tanya Ricardo lalu menoleh ke Adira.
Adira semakin bingung dengan sikap Ricardo. Bukankah seharusnya dia tak perlu bertanya serinci ini? Namun, Adira tak berani bertanya dia takut Ricardo tak mengindahkan permintaannya.
"Iya, aku ingin menghubungi keluargaku. Sekarang, mereka pasti cemas,"
“Menghungi keluarga apa menghubungi kekasih?” tanya Ricardo mengembalikan wajah nya fokus pada kertas yang ada di tangannya.
Adira terdiam, bingung mengapa Ricardo berpikir seperti itu. Ia merasa pertanyaan Ricardo sangat tidak mendasar.
"Kekasih? Aku tak punya kekasih. Aku hanya ingin memberitahu keluargaku kalau aku baik-baik saja.”
Namun, Ricardo tetap diam. Entah apa yang ada di benak nya. Melihat Ricardo yang tetap keras kepala itu pun membuat Adira semakin frustrasi.
"Ricardo, aku benar-benar cuma ingin menghubungi keluargaku."
"Kau tak bisa menghubungi siapapun." ujar Ricardo dengan nada dingin.
"Loh, kenapa?,"
"Tak ada alasan."
"Tapi, mereka nanti bisa saja menghubungi polisi. Aku sudah hilang kabar hampir seminggu soalnya."
Ricardo hanya menghembuskan napas gusar lalu hendak pergi keluar.
"Ricardo," ujar Adira meraih lengan baju Ricardo.
Ricardo yang tertahan menolehkan wajah nya ke Adira. Tatapannya dingin tak terbaca. Adira merasa tak ada harapan. Ia lalu melepas tangannya dari lengan baju Ricardo.
Ricardo pun pergi dari ruangan itu begitu saja. Meninggalkan Adira yang kecewa dan bingung. Perlahan air mata membasahi pipi nya.
"Dia kenapa?," ujar Adira.
Tiba-tiba perasaanya sesak. Ia takut berada disini lebih lama lagi. Berbagai pikiran buruk terus melintas di benak nya. Adira pun menangis sejadi-jadi nya.
"Aku mau pulang," ucap nya dengan tangis yang semakin pecah.
Setelah puas menangis Adira duduk di tepi kasur, matanya masih bengkak karena tangisan yang tak kunjung berhenti. Kini jam sudah menunjukkan setengah satu dini hari dan rasa sepinya semakin mendalam saat Ricardo kembali masuk ke ruangan itu.
Ricardo mendekati Adira yang terlihat terpuruk dalam kesedihan lalu duduk di sampingnya. Ia yang selama tiga hari terakhir bersikap dingin, tiba-tiba menyelipkan rambut yang terurai ke telinga Adira dengan lembut. Gestur lembut itu justru membuat Adira merasa kesal. Ia lantas menepis tangan Ricardo dengan cepat, matanya menatap tajam.
"Harus nya kau biarkan saja aku terjual!” ujar Adira dengan nada marah, suaranya penuh kepedihan.
“Daripada aku harus kau kurung disini dengan sikap dinginmu ini.”
Ricardo mendengarkan tanpa membalas, tetap tenang meskipun hatinya bergejolak.
“Adira,” sapa Ricardo, suaranya lembut.
“Aku tak ada niat untuk mengurung mu. Maaf, kalau kau merasa begitu."
Adira menunduk, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang. Lalu dia menoleh ke Ricardo. Matanya bertemu dengan tatapan Ricardo yang hangat. Adira pun menjadi luluh seketika. Lalu ia menatap Ricardo dengan penuh harap.
"Aku mohon, tolong kembalikan handphone ku," pinta Adira dengan suara bergetar.
"Aku hanya ingin menghubungi adik perempuanku. Dia pasti sangat khawatir sekarang."
"Ricardo,"
.
.
Bersambung...
Mohon dukungan nya ya guys dengan Like, Komen dan Gift nya..
Terimakasih.. 🙏
(ehemmm/Shhh//Shy/)