Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Vivian Mengunci Tatapan Dihyan
Vivian menghubungi beberapa rekannya. Ia tidak masuk kerja malam ini. Ia akan mengganti shift mereka nanti.
Entah mengapa Vivian takut dengan mimpinya. Bukan karena mengerikan, melainkan karena itu terasa nyata. Bagaimana bila ketika berangkat kerja nanti, sosok Dihyan akan sungguh muncul di mini market dan membawanya pergi. Kemudian mereka akan berciuman di lorong antara ruko, di balik keremangan malam? Dan ia akhirnya akan mengajak Dihyan ke kamar tidurnya.
Vivian bingung setengah mati dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia hanya tak habis pikir, bagaimana ia bisa begitu menginginkan kejadian yang ada di dalam mimpi tetapi sebaliknya juga takut bila itu sungguh terjadi.
Ia bisa gila!
Vivian turun ke kamar mandi. Selembar handuk kecil menutupi tubuhnya seperlunya.
Di dalam kamar mandi, Vivian menatap ke cermin, melepas handuknya.
Sepasang dadanya yang besar, mengkal dan ranum itu bergetar kecil. Masih terasa sentuhan dan perasan tangan Dihyan di salah satu dadanya tersebut. Sepasang pucuk dadanya bersemu coklat muda, sewarna bekas cubitan yang hampir menghilang setelah dua hari. Keduanya berdiri tegak karena ia sentuh sendiri – dan karena bayangan bahwa seorang Dihyan sedang menggenggamnya dari luar lapisan pakaian sembari keduanya saling berciuman. Kulitnya yang putih itu dihiasi di beberapa bagian dengan hipopigmentasi, yaitu bercak-bercak putih lainnya. Namun, bukannya membuat kulitnya buruk, malah itulah letak salah satu keindahannya.
Vivian menghela nafas. Ia segera mengguyur tubuhnya, berharap bayangan itu akan hilang seluruhnya.
Malam ini ia hanya makan sedikit, tidak ingin terlalu kenyang. Setelah berbincang-bincang sebentar dengan ibu dan neneknya, ia pamit undur diri untuk tidur. Ia sudah menjelaskan mengapa ia tidak bekerja malam ini, alasannya bahwa temannya ingin berganti shift (itu alasan yang terjadi di dalam mimpi, bukan alasan dia yang sebenarnya).
Di dalam kamar, Vivian mengganti pakaiannya dengan pakaian ternyaman miliknya untuk tidur. Setelah melepaskan penutup dadanya, ia memakai kaus dalam tanpa lengan berwarna putih, serta celana super pendek yang longgar dengan tali di pinggangnya yang tidak ia simpul.
Vivian menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dan langsung menutup mata. Ia yakin bahwa ia tidak akan dengan mudah dapat langsung terlelap, tetapi ia sungguh tak kuasa untuk bertahan tetap terjaga malam ini.
Baru beberapa detik saja ia menutup mata, terdengar suara ketukan di pintu.
Vivian bangkit dan duduk di atas tempat tidurnya. Ia memindai kamar.
Ada dua pintu di dalam kamarnya. Pintu pertama adalah pintu menuju rumah. Bila dibuka, ia akan sampai di lantai dua rumah ini, tempat menyimpan berbagai macam barang-barang toko dan satu tangga lagi ke gudang dan rooftop di lantai atas. Pintu kedua adalah pintu dengan tangga yang langsung menuju ke bawah, tepat di samping rumah sekaligus ruko yang ia tinggali itu. Tangga dan pintu itu dua tahun lalu dibuatkan oleh ayah – yang kini telah bercerai dengan ibunya dan pindah ke Pontianak – dan pamannya yang memang bekerja di pertukangan.
Vivian bangun kemudian membuka pintu yang menuju ke dalam rumahnya, dengan asumsi ibu atau neneknya yang mengetuknya. Itu sebabnya sebenarnya mengapa Vivian perlu memindai kamar dan meyakinkan pintu mana yang diketuk, karena toh keduanya jarang diketuk bila memang tidak ada keperluan. Ibu dan neneknya memang jarang memanggilnya apalagi masuk ke kamar pribadinya bila memang tidak terlalu perlu.
Tidak ada orang di luar kamarnya.
Ketukan pintu terdengar lagi.
Apa ini yang sedang dipikirkan Vivian?
Ia menutup pintu kamarnya dan kembali menguncinya, kemudian berbalik dan menghadap pintu kamar satunya. Ia berjalan pelan dan membukanya.
Wajah tampan itu tersenyum ke arahnya.
Vivian hampir menjerit. Bukan karena takut atau ngeri, melainkan karena memang tidak menduga bahwa Dihyan akan datang kembali.
Datang kembali? Ah, Vivian tak ambil pusing.
“Aku boleh masuk?” tanya Dihyan.
Vivian mengangguk-angguk dengan cepat. Wajahnya bersinar ceria.
“Maaf, waktu itu aku terpaksa pergi …”
Dihyan tak sempat menjelaskan apa-apa, Vivian telah meraih tangannya dan menariknya masuk dengan gesit. Vivian kemudian mengunci pintu tersebut.
“Aku senang kamu datang lagi.”
Vivian terlihat cantik dan sungguh … menggairahkan. Lampu di kamarnya ini sama sekali belum dimatikan sehingga berhasil menerangi pandangan Dihyan dengan sempurna, berbeda dari pertemuan sebelumnya.
Dihyan tidak menutupi rasa tertariknya sama sekali. Vivian berdiri di depannya dengan rambut lurus tergerai indah dan senyuman menoreh wajahnya. Dadanya menggembung begitu kentara dengan pucuk dada mancung muncul membayang dari balik kaus dalam putihnya yang tipis. Sepasang kaki rampingnya terekspos dengan nyata karena ia hanya mengenakan celana super pendek yang menggantung kendur di pinggangnya.
Dihyan mendekat, kemudian meraih pinggul Vivian. Gadis itu terlecut dan terpecut oleh aliran listrik hasrat yang kembali muncul tiba-tiba. Entah mengapa, ia begitu mendambanya.
Vivian berjinjit, melingkarkan kedua tangannya di belakang leher Dihyan. Keduanya kembali berpagutan. Lebih panas kali ini. Keduanya saling melahap, saling menyecap. Bunyi pertemuan dua pasang bibir yang basah itu terdengar menggairahkan.
Tak membutuhkan waktu lama bagi Dihyan mendaratkan kedua telapak tangannya di permukaan dada Vivian. Kali ini, semua terasa lebih jelas. Kekenyalannya, juga pucuk dadanya yang menegang.
Rasa geli dan hasrat yang menggebu-gebu itu menyirami Vivian dengan sempurna. Tubuhnya memanas, ia ingin melepaskan gangguan: busana yang ia kenakan.
Vivian tak peduli lagi. Ia melepaskan ciumannya, serta menepis kedua tangan Dihyan. Sebagai gantinya, ia mundur selangkah. Dengan tatapan nakal sekaligus bernafsu, ia mengunci tatapan Dihyan. Kedua tangannya menyilang di depan, menggenggam ujung kaus dalamnya. Dalam sekali gerak, Vivian meloloskan kaus dalamnya melewati kepala kemudian melemparkannya begitu saja ke lantai.
Nafas Dihyan tertahan. Pemandangan ini terlalu indah. Kulit putih Vivian bersinar di bawah lampu. Dadanya menggembung, menantang, penuh, besar dan membulat. Pucuknya menegang, berwarna soga, coklat muda, seperti bekas cubitan yang akan segera menghilang. Kulitnya kuning cerah, bukan putih susu, tetapi juga cerah mendekati potongan pualam.
Jakun Dihyan naik turun dan Vivian tertawa melihatnya. “Kamu cuma mau lihatin aku aja?”
Dihyan mendekat, menatap bergantian pada sepasang mata sipit Vivian kemudian kembali ke buah dada Vivian yang menempel kokoh bagai pahatan patung itu.
Telapak tangan Dihyan terasa begitu hangat di lapisan kulit Vivian. Gadis itu tak tahu mengapa ia bisa melakukannya padahal sebelumnya belum pernah ada satu laki-laki pun yang melihat secara utuh apalagi menyentuh kebanggaannya itu secara langsung tanpa sehelai penutup pun.
Dihyan menjalari bibir, pipi, dagu, leher Vivian dengan bibirnya sebelum sepasang dada itu dikecupinya pula.
Vivian menahan jeritan ketika pucuk dadanya terasa basah dan panas oleh bibir, mulut dan lidah Dihyan. Dengan rakus, Dihyan menyantap keduanya, kiri dan kanan, secara bergantian, menikmati setiap sapuannya perlahan, tetapi keras dan bertenaga.
Vivian menjambak rambut acak-acakan Dihyan, tetapi kemudian menekan kepala laki-laki itu lebih dalam ke dadanya.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next