NovelToon NovelToon
The RADAN

The RADAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Moon Fairy

SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.

Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18

“Aku beneran gak enak ini,” bisik Aisyah pelan, tapi dia tetap melangkah masuk bersama yang lainnya. Dimas berada di belakangnya, menyenter jalan dengan ponselnya.

Langit malam menambah kesan misterius saat kelima sahabat itu terus bergerak di sekitar balai seni. Mereka berhati-hati, menyusuri setiap sudut gelap, mencoba mencari petunjuk. Rian, meskipun sudah lebih rileks setelah insiden kucing, masih waspada, matanya sesekali melirik ke arah bayangan yang bergerak di sekitar mereka.

"Nah, ini ruangan tempat Mbak Ria sering melukis, kan?" bisik Nadya saat mereka berhenti di depan pintu sebuah studio seni yang biasanya digunakan oleh siswa-siswi SMA Rimba Sakti.

Arga mengangguk, memutar gagang pintu perlahan hingga terbuka. Mereka masuk, menyalakan senternya dan melihat-lihat kondisi studio tersebut. Dinding-dinding ruangan dipenuhi lukisan siswa beberapa sudah hangus terbakar belum dipindah, namun ada satu lukisan yang mencuri perhatian mereka—sebuah kanvas besar yang setengah jadi di sudut ruangan. Terlihat masih baru dan seperti sengaja diletakkan di sana.

"Apa ini... lukisan Alya Novita?" tanya Aisyah pelan, menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas. Di pojok kanvas itu, nama Alya ditulis dengan huruf kecil.

“Dari kelas 12 MIPA 3, kan?” tanya Nadya ikut melihat lukisan itu.

"Dia kan terkenal banget di jurusan seni karena karyanya," sambung Dimas. "Tapi... kenapa lukisannya belum selesai?"

Mereka mendekat untuk melihat lebih detail. Lukisan itu menggambarkan sesuatu yang aneh—sebuah pemandangan malam hari dengan pohon-pohon yang tampak seakan hidup, sementara di latar belakang ada sosok samar yang berdiri di kejauhan. Warna-warna gelap menciptakan nuansa yang membuat bulu kuduk merinding.

"Kayak ada sesuatu yang... gak beres di sini," gumam Rian sambil meneliti lukisan itu. Dia tidak terlalu peka dengan seni, tetapi kali ini lukisan itu membuatnya merasa tidak nyaman. "Coba deh, lihat bayangan di situ," katanya sambil menunjuk ke sosok kabur di sudut lukisan. "Berasa ngeliat bayangan yang di CCTV."

Nadya langsung menoleh, menatap lukisan itu dengan cemas. "Maksudmu, ini bayangan yang sama?"

Arga mengangguk pelan. "Ada kemungkinan. Mbak Alya dan Mbak Ria saling kenal, kan? Bisa jadi ada hubungannya."

Suara angin yang berhembus tiba-tiba membuat jendela berderak, dan Nadya kembali tersentak kaget. "Astaga, jangan-jangan ini memang ada hubungannya sama... hantu."

Rian menggeleng cepat, mencoba mencairkan suasana yang semakin mencekam. "Udah, Nad. Gak ada hantu. Kalau pun ada, kayaknya dia lagi sibuk selfie di dunia lain."

Aisyah menahan tawa mendengar lelucon Rian yang khas. "Ya ampun, Rian."

Namun suasana berubah serius lagi ketika Arga mendekatkan senternya ke bagian bawah kanvas. Ada sesuatu yang tergores di sana, nyaris tak terlihat jika tidak disinari. Sebuah tulisan kecil tergores di cat yang masih setengah basah.

...‘Temukan dia sebelum api melahap semuanya’...

"Ini... apa maksudnya?" tanya Nadya bingung.

Aisyah mendekat, membaca kalimat itu dengan seksama. "Mungkin ini petunjuk. Mbak Alya pasti tahu sesuatu yang penting tentang insiden kebakaran ini."

Arga mengangguk, merasakan instingnya sebagai pemimpin kelompok mereka bekerja. "Kita harus temukan Alya. Bisa jadi dia kunci dari semua ini."

Dimas menghela napas panjang. "Dan kita baru aja dapet teka-teki baru."

Rian, yang sempat terdiam, kini bergumam pelan sambil menghela napas. "Kayak game detektif, makin lama makin banyak plot twist."

Nadya menatap Rian. "Jadi... gimana sekarang?"

Dengan senyum santai tapi mata penuh rasa penasaran, Rian mengangkat bahu. "Yang jelas, sebelum semua ini kelar, aku bakal minta traktiran dulu ke si bos. Habis capek-capek begini, masa gak dapet jatah."

Semuanya tertawa kecil, meski situasi masih penuh tanda tanya. Mereka menyadari bahwa perjalanan untuk mengungkap misteri ini masih jauh dari selesai, dan banyak rahasia yang belum terkuak. Lukisan Alya mungkin adalah kunci, tapi petualangan mereka baru saja dimulai.

Mereka masih berdiri di depan lukisan itu, mencoba mencerna apa arti dari pesan yang tergores di kanvas tersebut. Arga mengamati lukisan dengan lebih saksama, sementara Aisyah menyisir ruangan untuk mencari petunjuk tambahan. Nadya, meskipun sedikit ketakutan, ikut membantu dengan menyalakan senternya ke berbagai sudut ruangan.

Rian, yang biasanya santai, kini sedikit tegang. "Jadi, habis ini, apa rencana kita?" tanyanya, mengalihkan pandangannya dari lukisan ke Arga.

Arga berpikir sejenak. "Kita harus nemuin Mbak Alya. Kalau dia tau sesuatu tentang insiden ini, kita gak bisa biarkan dia dalam bahaya. Terutama kalau ada yang mau bungkam dia."

Dimas yang sedari tadi hanya mengamati, akhirnya bersuara. "Aku setuju. Kalau benar Mbak Alya tau sesuatu yang penting, bisa jadi dia target selanjutnya."

Mereka semua saling bertukar pandang, merasa beban semakin berat di bahu masing-masing. Namun di tengah situasi tegang itu, suara pintu tiba-tiba berderit. Mereka semua terdiam seketika, menatap ke arah pintu dengan jantung berdegup cepat.

"Siapa... itu?" bisik Nadya, matanya melebar ketakutan.

"Aku yakin itu angin lagi," jawab Rian sambil mencoba meredakan suasana, meski ekspresinya juga tampak agak ragu.

Namun, saat mereka mendekati pintu, langkah kaki samar terdengar dari arah luar. Langkah itu perlahan mendekat, seolah ada seseorang yang sedang bersembunyi. Suara itu semakin keras, dan Nadya mulai merapat ke belakang Arga, wajahnya pucat. "Kalian dengar, kan?"

Mereka semua terdiam, memusatkan perhatian pada suara langkah kaki itu. Sampai akhirnya, tanpa peringatan, Rian berteriak, "Siapa pun itu, keluar lo! Jangan bikin gue deg-degan!"

Teriakan Rian membuat Nadya melompat kaget dan ikut menjerit. Suara mereka begitu keras hingga membuat yang lain ikut tegang. Namun tiba-tiba, dari arah luar ruangan terdengar suara gesekan pelan di tanah.

"Berisik banget sih!" celetuk Dimas dengan wajah kesal, menepuk bahu Rian. "Bikin suasana makin mencekam aja."

Aisyah, yang tetap tenang, langsung mengarahkan senternya ke arah suara tadi. Sinar senter itu memantul ke sebuah pohon besar di luar gedung seni, tepat di belakang studio. Perlahan, bayangan besar tampak bergerak di balik pepohonan.

Mereka semua menahan napas, tapi saat Aisyah mendekatkan cahayanya lebih intens, akhirnya terlihat apa yang sebenarnya membuat suara itu.

Meow...

Seekor kucing hitam kecil yang tadi mereka temui di luar terlihat muncul dari balik pohon, mengeong pelan.

"Astaga, cuma kucing! Lagian itu kucing yang tadi, kan?" Nadya menutup mulutnya, merasa lega sekaligus kesal karena ketakutan sia-sia.

Rian pun tertawa lega, meski masih terdengar getir. "Bener-bener... aku ki wis kebayang sing aneh-aneh lho miki (aku udah kebayang yang aneh-aneh lho tadi) !"

Dimas hanya menggelengkan kepala. "Cuman kucing bikin kalian kayak lihat setan, berisik banget."

Mereka semua akhirnya tertawa kecil, seolah ketegangan yang sempat mencengkeram itu perlahan mulai mencair. Meski suasana masih terasa misterius, momen itu membantu mereka melepaskan sedikit beban.

Setelah suasana lebih tenang, mereka kembali fokus pada tujuan utama mereka—melanjutkan penyelidikan. Namun momen tadi membuat malam yang mencekam sedikit terasa lebih ringan. Satu hal yang pasti, perjalanan untuk mengungkap misteri ini masih panjang, dan mereka harus tetap waspada.

Aisyah terus memikirkan apa yang dia lihat dari lukisan Alya. Semakin dia memandangnya, semakin dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Bukan sekadar lukisan biasa, tapi lebih dari itu—ada pesan tersembunyi di balik setiap guratan cat dan garis abstrak. Seolah-olah lukisan itu menyimpan rahasia gelap yang hanya bisa diungkap oleh orang yang cukup cermat untuk melihatnya.

"Ini lebih dari sekadar karya seni," gumam Aisyah pada dirinya sendiri.

Sementara yang lain masih sibuk berkeliling, mengamati setiap sudut Balai Seni, Aisyah diam-diam menahan pemikirannya. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Instingnya mengatakan bahwa Alya tidak hanya korban, tapi mungkin... pelakunya. Tapi bagaimana mungkin? Bagaimana caranya Alya bisa melakukan kebakaran ini? Pemikiran itu mengganggunya, namun dia belum siap untuk mengungkapkannya kepada yang lain tanpa bukti yang cukup kuat.

Saat pikirannya berkelana, Aisyah memutuskan untuk memeriksa lebih lanjut di sekitar Balai Seni. Dengan langkah hati-hati, dia mulai mengelilingi bangunan itu, mencoba mencari petunjuk tambahan. Pandangannya tertuju pada Arga, yang tampak sedang berdiri di belakang Balai Seni, meragain sesuatu dengan serius. Dia memperagakan bayangan yang terekam di CCTV, seperti mencoba memahami gerak-gerik sosok misterius itu.

Aisyah berjalan mendekat dengan langkah tenang. "Lagi ngapain, Ga?" tanyanya penasaran.

Arga menoleh, sedikit terkejut dengan kehadirannya, tapi segera menjawab, "aku lagi coba ngebayangin posisi bayangan yang kita lihat di CCTV tadi. Dari sini kayaknya pas sih... tapi aku masih gak yakin siapa itu."

Aisyah mengangguk, namun pikirannya justru kembali pada Alya. "Kamu ndak kepikiran ta, kalau Mbak Alya bisa aja bukan korban ataupun target di sini?"

Arga mengerutkan kening. "Maksudnya?"

Aisyah menatapnya serius, lalu berkata pelan, "Aku mikir gini. Mbak Alya tuh pintar, tapi gimana kalau dia punya motif lain? Kita semua udah nganggap Mbak Ria yang jadi korban kebakaran ini, tapi gimana kalau Mbak Alya yang nyetting semuanya? Aku gak bilang ini pasti, tapi aku gak bisa abaikan kemungkinan kalau Mbak Alya bukan cuman target—mungkin dia pelakunya. Apalagi ingat tulisan di lukisan tadi, kan? ‘Temukan dia sebelum api melahap semuanya’ Itu kayak ngasih pesan tersendiri."

Arga terdiam, mencoba mencerna pemikiran Aisyah yang tiba-tiba. Dia memandangi lukisan Alya yang tadi mereka lihat, mencoba mencari hubungannya. Saat Aisyah mengutarakan pendapatnya, yang lain—Rian, Dimas, dan Nadya—mulai berkumpul di sekitar mereka. Mereka mendengarkan dengan serius, meski suasana terasa semakin tegang.

"Jadi kamu mikirnya kalau Mbak Alya pelakunya?" tanya Rian, mencoba menyesuaikan pemikirannya dengan teori Aisyah. "Ini lumayan berat sih. Tapi kalau dari sudut pandang kamu, masuk akal."

Aisyah mengangguk. "Aku gak bilang kita harus nuduh dia sekarang. Ingat, selain Mbak Alya juga masih ada Mbak Endah, tapi kita harus siapin strategi buat diskusiin ini di sekolah besok. Kita gak bisa sembarang nuduh orang, dan Mbak Alya... dari lukisan itu dia yang paling mencurigakan."

"Kalau lo ngomongin tentang mencurigakan," timbrung Rian tiba-tiba, "Aku tadi sore ketemu Mbak Alya waktu kalian rapat OSIS."

Mendengar itu, yang lain langsung menoleh ke Rian. Arga angkat alis, "Apa yang dia bilang?"

Rian berpikir sejenak, lalu meniru gaya bicara Alya yang tenang tapi menusuk. "'Hati-hati, ya. Kadang rasa penasaran itu bisa bahaya.' Itu yang dia bilang. Abis ngomong gitu, dia pergi gitu aja."

Ekspresi mereka semua berubah tegang. Kalimat Alya terdengar seolah penuh ancaman tersembunyi.

Nadya menggigit bibirnya, tampak ragu. "Jadi, kita setuju buat jadikan Mbak Alya sebagai tersangka pertama kita?"

Arga menghela napas, kemudian melihat ke arah Aisyah, yang menatapnya penuh keyakinan. "Ya. Untuk sementara kita jadikan Mbak Alya tersangka pertama kita, tapi kita harus lebih hati-hati. Motif, alibi, cara dia bakar gedung seni ini... semua harus kita telusuri dengan detail. Besok kita lanjutin ini di sekolah."

Yang lain mengangguk setuju. Meski rasa tidak nyaman mulai mengisi hati mereka, penyelidikan ini harus terus berlanjut. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.

1
ADZAL ZIAH
keren kak ceritanya... dukung karya aku juga ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!