Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Devi menatap kepergian ibunya Airin kemudian terbahak “Hahaha! Ini sangat seru!
Ektingmu sangat natural sekali, haha!” balas Riska dengan suara cekikikan, seolah menikmati momen tersebut.
Maya melepaskan Airin dan berceleutuk “Oh iya, bagaimana caranya orang buta bisa masak? Jangan-jangan, yang dituangkan nanti bukan garam, tapi gula? Pasti rasanya sangat enak ya? Hahaha!”
Jari-jari Airin mengepal erat menahan amarah yang hampir meledak. Matanya memerah, namun dia tetap berusaha berdiri tegak, seolah tidak ingin menunjukkan bahwa dia sudah berada di ambang batas.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Maya mengayunkan kakinya ke arah lutut belakang Airin. "Bugh! Hei, berlutut kamu!"
"Bruk!" Tubuh Airin ambruk ke tanah. Kedua tangannya mencoba menahan, namun sia-sia. "Ah...!" jeritnya, rasa sakit menjalar dari lutut hingga tubuhnya yang kini gemetar.
Maya, tanpa belas kasihan, membungkuk dan mencengkeram dagu Airin dengan kasar, memaksa wajahnya mendongak. Tatapannya tajam, menusuk, dan senyuman sinis menghiasi bibirnya. "Huh! Coba teriak lagi?!" suaranya berbisik namun penuh racun. "Minta tolong..., mungkin ibumu akan datang menyelamatkanmu!"
Tapi Airin tetap tak merespons kata-kata Maya. Matanya menatap tajam, penuh amarah yang tertahan, namun bibirnya terkunci rapat. Dia tidak akan memberikan Maya kepuasan melihatnya menyerah. Tatapan itu, meskipun tak diiringi kata, berbicara lebih keras daripada teriakan apa pun—sebuah penolakan diam-diam untuk tunduk pada kekejaman.
Maya semakin tersulut. Hawa dingin yang memancar dari Airin seolah menampar egonya, membuat setiap sel dalam tubuhnya bergetar oleh amarah yang meluap. Dia bisa merasakan darahnya mengalir cepat, denyut jantungnya tak terkendali. Napasnya makin memburu, dada naik turun seiring ledakan emosi yang terus membengkak.
"Grretek...!" Maya menggemertakkan giginya, begitu keras hingga rahangnya terasa ngilu. Tangannya terkepal kuat, jemarinya memutih karena tekanan. Amarah menguasai sepenuhnya, kabut kebencian menutupi rasionalitasnya. Dia mengangkat tangannya tinggi, siap menghantam Airin dengan semua kekuatan yang tersisa.
Airin menoleh, memejamkan matanya saat tangan Maya hendak menghantam pipinya. Dia bersiap menerima rasa sakit yang akan datang, namun tiba-tiba, gerakan Maya terhenti.
"Brak!" Suara keras terdengar ketika tangan Maya dicekal oleh seseorang.
"Siapa kamu?! Sialan!" Maya berteriak, matanya melebar, terkejut.
Orang itu adalah Alana, yang terlambat datang karena harus menenangkan dirinya setelah trauma naik mobil. Dengan tenang, Alana menatap Maya, meski ada sedikit kelelahan di wajahnya, sorot matanya tetap tegas.
"Kamu masih sama saja ya?" Kata Alana, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. "Kebiasaan tanganmu... sungguh tidak bagus, ya?
Phak! Tangan Alana di tepis Maya hingga Alana terdorong ke belakang menyentuh Diding pembatas rumah.
"Bruk!" Tubuhnya menghantam dinding dengan keras, napasnya tercekat sejenak. "Arghh... Aduuh..." Alana meringis, menahan sakit yang menjalar di punggungnya. Namun bukan rasa sakit yang menguasai dirinya, melainkan kemarahan yang sedari tadi ia tahan.
Dia berdiri perlahan, matanya menatap tajam ke arah Maya. "Waktu itu aku biarkan kalian," suaranya bergetar oleh emosi, tapi penuh ketegasan. "Aku pikir dengan diam, semuanya akan selesai..."
Tangan Alana mengepal erat, gemetar bukan karena takut, tapi karena amarah yang meluap. "Tapi hari ini... aku nggak tahan lagi!" katanya, suaranya meninggi dengan kemarahan yang tak lagi terbendung. "Kalian belum pernah merasakan pukulanku, kan?!"
Apa-apaan sih dia?!" seru Riska yang berdiri di samping Devi dan Maya.
Maya mengibaskan rambutnya ke belakang, matanya menyipit penuh kebencian. "Ngomong apa sih dia? Kalian berdua sama-sama gila, ya?"
Dengan amarah yang semakin memuncak, Maya mengangkat tangannya, siap melayangkan pukulan ke arah Airin. "Whuss... Ini obat buat orang-orang gila!" Teriaknya.
Namun sebelum pukulan itu mendarat, Alana dengan cepat berdiri dan melangkah maju, memposisikan tubuhnya di depan Airin. Tubuhnya menjadi tameng, melindungi Airin dari amukan Maya.
Tiba-tiba, suara berat seorang lelaki paruh baya memecah ketegangan. "Hei! kalian dari sekolah mana?!" teriaknya lantang sambil mendekat.
Maya dan gengnya sontak terkejut, wajah mereka berubah panik. "Sialan!" Maya mengumpat dengan penuh kekesalan, matanya melirik tajam ke arah Alana dan Airin. "Menyebalkan! Anggap saja hari ini kalian beruntung!" serunya dengan nada sinis.
Tanpa menunggu lebih lama, Maya dan gengnya segera pergi, meninggalkan Alana dan Airin yang masih berdiri dengan napas memburu.
"Hmm?" Lelaki paruh baya itu menatap Alana dan Airin dengan alis mengernyit, jelas merasa heran. "Itu kan... seragam sekolahku," gumamnya, mendekati mereka sambil memperhatikan dengan lebih seksama.
Wajahnya berubah tegas, dan dengan nada yang lebih serius dia berkata, "Wah... bagus ya, kalian?!" Tatapannya bergantian antara Alana dan Airin. "Besok, datang ke ruang BK. Kita akan bahas ini lebih lanjut."
Alana dan Airin saling pandang, rasa lega karena Maya dan gengnya pergi langsung berubah menjadi kekhawatiran baru. Lelaki itu berbalik, meninggalkan mereka dengan ancaman yang menggantung di udara, seolah memberi peringatan bahwa masalah ini belum selesai.
*
*
Keesokan harinya
"Ba~gus sekali ya kalian? Anak-anak sekarang memang seram!" Suara Pak Aryo menggema di ruangan, penuh dengan nada kekecewaan yang jelas terdengar. Matanya menatap tajam, seolah mencoba menembus hati mereka.
Sementara Alana dan Airin hanya terdiam dengan canggung, tak ada satu pun yang berani membalas.
Kali ini Pak Aryo menatap Airin dengan tajam. "Airin, kamu sudah membuat onar di sekolahmu yang dulu," ujarnya dengan nada dingin, "apa kamu tidak bisa memperbaiki sikapmu?"
Kalau kamu sudah diterima di sekolah ini, belajar yang benar! Jangan berantem!" Suara Pak Aryo semakin tajam. "Kamu tidak menjawab?" tanyanya, menuntut reaksi dari Airin.
Airin hanya terdiam, bingung harus mengatakan apa. Setiap kata seakan tercekat di tenggorokannya, tak ada yang terasa tepat untuk meredakan amarah Pak Aryo. Dia bisa merasakan tatapan Alana di sampingnya, tapi tak ada keberanian dalam dirinya untuk menatap balik.
Pak Aryo mendengus pelan, lalu berkata tegas, "Bapak tunggu kedatangan orang tua kalian sampai besok."
Alana dan Airin terkejut. Seketika, mereka serempak menjawab dengan panik, "Ja... jangan, Pak!!"
Apa?" Pak Aryo menatap mereka, menunggu jawaban.
Alana akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar berat. "Orang tua saya sudah meninggal, Pak. Saat ini saya tinggal dengan orang tua angkat. Mereka sangat sibuk, jadi... saya tak mau merepotkan mereka," jawabnya dengan nada sedih.
Airin menambahkan dengan suara pelan, "Ibu saya sakit, Pak. Dan seperti yang Bapak tahu, saya baru saja dipindahkan karena berkelahi... Saya nggak mau bikin ibu khawatir lagi, Pak."
Pak Aryo memandang kedua siswanya dengan rasa iba. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Ya sudah, kalian bapak hukum kali ini. Tapi ingat, jangan diulangi lagi, ya. Bapak berharap kalian bisa belajar dari kejadian ini."
Kedua siswa itu saling pandang, tampak lega namun juga penuh rasa bersalah. Mereka mengangguk pelan, merasa beruntung masih diberi kesempatan.
"Terima kasih, Pak," ujar salah satu dari mereka dengan suara lemah.
Pak Aryo tersenyum tipis, “Yang penting, kalian berubah. Kalau sampai terulang lagi, bapak nggak akan segan mengambil tindakan yang lebih tegas.”
"Baik pak," jawab Alana dan Airin serempak.
*
*
Setelah bel pulang sekolah
Alana dan Airin sudah berdiri di depan tembok, Alana meregangkan tangannya.
Jadi...dia menyuruh kita mengecat tembok yang sangat lebar ini? Tanya Alana kesal.
Aku memang bersyukur kita di suruh kerja sukarela sebagai ganti tidak memanggil orang tua, tapi... kenapa harus selebar ini? hmm...dari awal aku tidak mempunyai alasan untuk melakukan ini, ini sangat kejam. keluhnya
Alana kembali mengomel, wajahnya cemberut. "Sekolah saja yang malas, mereka ingin menghemat biaya, makanya kita yang disuruh ngecat!" Gerutunya, sambil mencelupkan kuas ke dalam ember cat dengan malas.
Airin menatap Alana dengan rasa tak nyaman yang perlahan muncul di hatinya. Pikirannya dipenuhi perasaan bersalah. Ia mulai berpikir bahwa semua ini terjadi karena Alana membantunya waktu itu.
Airin menarik napas, mencoba mengusir rasa bersalahnya, karena dia tahu tidak akan menyelesaikan masalah. Hukuman akan tetap berjalan, makanya dia bertekad menyelesaikannya dengan cepat. "Ayo kita mulai dari ujung yang berbeda," ajaknya pada Alana.
“Eh, iya…” ucap Alana sambil menatap Airin yang terus memegangi perutnya. Dia langsung merasa khawatir, menyadari bahwa jika Airin yang menaiki tangga untuk menjangkau bagian atas, itu pasti akan semakin menyakitkan.
Alana perlahan mendekati tangga dan berkata "Aku yang pakai tangga ya..."
Airin merasa heran dengan tawaran Alana. Dia ingat betapa Alana dari tadi menggerutu tentang hukuman ini.
Namun, Airin tetap melanjutkan mengecat sambil duduk. Rasa nyeri itu kembali datang, membuatnya meringis dan tanpa sadar memegang perutnya. “Lukaku masih…,” bisiknya pelan, mencoba menahan sakit.
Sesaat, pikirannya teralihkan pada Alana. "Apa dia melakukannya dengan baik?" pikirnya sambil sesekali melirik ke arah Alana yang sudah naik ke atas tangga. Meski heran dengan perubahan sikap Alana, Airin merasa sedikit lega karena tidak harus menahan rasa sakit lebih lama.
Alana dengan semangat mengecat tembok bagian atas. “Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat, lalu meminum segelas susu segar” gumamnya sambil tersenyum kecil. Gerakannya lincah dan cekatan, seolah tak ingin terlihat lelah atau kesal.
Alana sengaja bersikap begitu untuk membuat Airin tidak merasa bersalah atau khawatir. Dia tahu Airin sedang kesakitan, jadi Alana berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja dan bisa mengatasi hukuman ini tanpa masalah. Namun, saat Alana melanjutkan mengecat, tangga yang dinaikinya tiba-tiba bergoyang.
Airin yang menyadari itu segera berdiri, berlari menghampiri, dan memegang kedua sisi tangga agar Alana tidak terjatuh. Meskipun rasa sakit di perutnya semakin menusuk, Airin merasa perlu melindungi Alana, dan instingnya sebagai teman yang peduli mengalahkan rasa nyerinya.
Airin tiba-tiba membuka suara di tengah kesunyian. “Hei... Maaf ya, gara-gara aku, kamu harus melakukan ini juga...”
Alana mengalihkan fokusnya dan menoleh. “Hem...?”
Airin kembali melanjutkan ucapannya dengan perasaan malu, wajahnya memerah. “Dan... mengenai masalah ibuku kemarin, terima kasih ya?” Suaranya bergetar, namun ketulusan dalam ucapannya tidak bisa disembunyikan. Dia merasa berutang budi kepada Alana yang telah membantunya.
Muka Alana seketika memerah. Ini pertama kalinya ia mendapatkan ucapan terima kasih dari orang lain selain Zayn. Gila! Dia bisa mengucapkan hal seperti itu? Aku tidak terbiasa... batinnya. Rasa malu menyelimuti dirinya, membuatnya merasa canggung dan tidak tahu harus berbuat apa.
Airin yang masih canggung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mencoba mengusir rasa kikuk yang melanda.
Alana segera menuruni tangga dan menghampiri Airin. "Lupakan saja~ hari ini... Kita ngecat sampai sini dulu. Kamu mau makan apa? Aku lapar," ujarnya. "Aku tahu warung bakso yang enak deket sini, bagaimana?"
Airin sedikit kaget dengan ajakan Alana. "Maafkan aku... Setelah ini, aku harap kamu tidak sok dekat denganku," katanya pelan, kemudian berbalik meninggalkan Alana.
"Kenapa?" tanya Alana.
Airin berhenti sejenak dan menoleh ke belakang, ia menarik nafas dalam dan tersenyum getir. "Aku sama sekali... tidak ingin punya teman jadi ku mohon menjauhlah! tak akan ada hal baik yang akan kamu dapatkan jika dekat dengan ku."
Hati Alana terasa sesak mendengar kata-kata itu. Campur aduk perasaan menyelimuti dirinya. Mengapa ucapanmu dan perasaanmu tampak begitu bertolak belakang? Itu bukan ekspresi yang menunjukkan keinginan untuk menolak pertemanan. Sikap yang kamu tunjukkan juga... Sebenarnya, kenapa? Kamu terlihat begitu sedih, tapi masih enggan berteman? Apa maksudmu dengan kata-kata yang menyatakan tidak ada hal baik saat berteman denganmu? Aku tidak mengharapkan sesuatu yang istimewa; aku hanya ingin berteman denganmu. Batinya.
Alana menggelengkan kepala, menolak untuk menyerah. “Airin, mungkin kamu tidak ingin berteman, tapi aku tidak bisa begitu saja mengabaikanmu! jadi lihat saja nanti! Aku akan mendekatimu dengan tak tahu malu. Sayangnya, aku bukan tipe orang yang mudah sakit hati!” gumam Alana dengan senyum kecil. Setelah itu, ia menghela napas dan bergegas kembali ke kelas, karena pelajaran Bahasa Inggris segera dimulai.
Setelah dua jam belajar bel pulang berbunyi, guru bahasa Inggris mengemas bukunya. "Jangan membuat keributan dan belajar ya, anak-anak~"
"Iya," jawab beberapa siswa dengan malas.
"Iya," sahut yang lainnya, meski sebagian masih terlihat asyik dengan obrolan mereka.
"Kenapa sih kita harus belajar setiap hari?" bisik beberapa siswa.
Alana mengetuk meja Airin dan bertanya, "Kamu tidak keluar kelas?"
Airin menatap Alana, merasa sedikit terkejut dengan interupsi itu. Dalam hatinya, dia berpikir, Aku akan keluar kelas dengan sendirinya... Tapi pada akhirnya, dia tetap mengikuti Alana keluar.
"Ayo, kita selesaikan mengecatnya hari ini," ajak Alana dengan semangat.