Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
'Hati' Yang Sakit
Purnama duduk di tepi ranjang kostnya, tersenyum lebar sambil memandangi bayangannya di cermin.
Kamar kecil yang biasa suram itu kini terasa lebih terang di matanya, dipenuhi oleh kehangatan yang berasal dari khayalan manisnya.
Dia baru saja menerima kabar bahwa Erna, istri Mumu, telah meninggalkan rumah.
Ini adalah salah satu dari banyak langkah yang telah dia rencanakan dengan hati-hati, dan kini semuanya mulai terwujud.
“Tak lama lagi...” Gumam Purnama, tersenyum penuh kemenangan.
"Tak lama lagi, Mumu akan menjadi milikku."
Purnama terus memutar-mutar handphone ditangannya sambil tenggelam dalam angan-angan tentang kehidupan yang akan dia jalani bersama Mumu.
Dia sudah lama menunggu momen ini, menyusun rencana demi rencana agar bisa mendekati pria yang selama ini dia idamkan.
Pria yang selalu hadir dalam mimpinya hampir setiap malam.
Bagi Purnama, Mumu adalah sosok sempurna, pria yang penuh perhatian, pintar, dan memiliki keahlian yang luar biasa dalam pengobatan alternatif dan modern.
Sayangnya Mumu sudah menikah dengan Erna, wanita yang menurut Purnama tidak pantas mendampinginya.
Purnama tak pernah memasukkan kakaknya, Wulan dalam daftar saingannya dalam merebut Mumu walau pun dia tahu bahwa status mereka berdua masih lah sebagai pasangan suami-istri.
“Erna adalah wanita yang bod*h...” Batinnya dengan senyum sinis.
"Dia tak tahu bagaimana memperlakukan pria seperti Mumu. Tak lama lagi, semua itu akan berubah karena aku lah yang akan menjadi milik Mumu satu-satunya."
Purnama merasakan euforia yang luar biasa saat memikirkan kemenangan yang akan diraihnya. Tak lama lagi, Mumu akan berada dalam pelukannya.
Tak ada lagi Erna, tak ada lagi rintangan. Dia akan menjadi istri Mumu, dan bersama-sama mereka akan hidup bahagia.
Malam itu, Purnama terlelap dengan senyum puas di wajahnya, memimpikan masa depan yang dia pikir akan segera menjadi kenyataan.
Namun, di balik semua rencana licik dan senyum kemenangannya, Purnama tidak menyadari satu hal penting, bahwa permainan manipulatif yang dia mainkan bisa menjadi pedang bermata dua.
Dunia mungkin akan melihat rencananya yang cerdik, tetapi karma tidak pernah absen, dan kadang, rencana yang paling licik sekalipun bisa berbalik menghancurkan orang yang merancangnya.
Bagi Purnama, kesenangan sementara itu adalah segalanya. Dia tidak tahu apa yang menantinya di ujung jalan, di mana balasan dari tindakan manipulatifnya mungkin lebih menghancurkan daripada yang pernah dia bayangkan.
...****************...
Dada Mumu berdebar kencang saat ia membaca pesan masuk. Pesan itu datang dari nomor yang tidak dikenal. Seketika matanya terbelalak, napasnya tercekat.
Pesan itu berupa foto yang memperlihatkan Erna, istrinya, sedang bersama seorang pria.
Mereka tampak sangat akrab, tertawa dengan penuh kebahagiaan, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua.
Erna terlihat begitu ceria, ekspresi yang sudah beberapa lama tak Mumu lihat di rumah.
Yang membuat Mumu semakin terkejut adalah fakta bahwa ia mengenal pria tersebut
Pria itu adalah salah satu karyawan di perusahaan tempat Erna bekerja.
Seiring dengan debaran jantungnya yang semakin kencang, Mumu memandangi foto itu berulang kali, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa ini?" Gumamnya pelan, merasa hatinya mulai dihancurkan oleh keraguan.
Mumu tahu bahwa Erna dalam beberapa hari terakhir tampak berbeda. Dia lebih sering diam, seperti menyembunyikan sesuatu, tapi Mumu tidak pernah membayangkan akan melihat sesuatu seperti ini.
Pria itu bernama Aditya, seorang karyawan yang sering dibicarakan Erna sebagai orang yang baik dan pekerja keras.
Mumu ingat beberapa kali Erna pulang terlambat dan mengaku harus menyelesaikan proyek bersama Aditya.
Dulu, Mumu tidak pernah merasa curiga. Ia mempercayai Erna sepenuhnya, tetapi foto ini mulai mengguncang keyakinannya.
Berbagai pikiran negatif mulai berkecamuk di benaknya.
Apakah Erna telah berselingk*h? Apakah selama ini dia but* terhadap apa yang sebenarnya terjadi?
Mumu merasa dadanya semakin sesak, kepalanya berputar dengan segala kemungkinan. Dia ingin berpikir jernih, tapi gambar yang terpampang di ponselnya terus menghantui pikirannya.
Mumu lalu duduk di kursi dekat jendela, menatap keluar tanpa benar-benar melihat apa-apa.
Ia merasa bimbang antara marah, ragu, tidak percaya dan terluka.
Erna adalah wanita yang selama ini dia cintai dan percayai.
Mereka telah melalui banyak hal bersama, dan Mumu tak pernah membayangkan pernikahannya akan terguncang oleh sesuatu seperti ini.
Namun, fakta bahwa pria dalam foto itu adalah orang yang dekat dengan Erna membuat situasi ini semakin sulit diterima.
Tanpa sadar, Mumu mulai memikirkan kembali semua momen ketika Erna tampak jauh darinya.
Semua ketidakpastian yang dulu dia abaikan kini seolah menyatu menjadi gambaran yang jelas.
Ua merasa dikhianati, meskipun belum ada bukti pasti selain foto itu.
Dengan tangan yang masih gemetar, Mumu menatap layar ponselnya.
Ia ingin segera menghubungi Erna, menanyakan kebenaran tentang foto tersebut.
Tapi ada sesuatu yang menahannya yaitu rasa takut.
Takut mendengar jawaban yang mungkin tak ingin ia dengar.
Takut bahwa apa yang dia lihat di foto itu bukan hanya sekadar kesalahpahaman.
...****************...
"Nomor antrian 112..." Panggil Perawat poli akupunktur.
Pintu ruang praktik terbuka dan seorang pria kekar masuk dengan langkah tenang.
Penampilannya rapi, namun ada sesuatu yang membuat Mumu mengernyitkan dahinya.
Dari langkah kakinya, pria itu tidak terlihat seperti orang yang sakit. Bahkan, ada aura permusuhan yang terpancar dari tubuhnya.
"Silakan duduk, Pak." Ujar Mumu ramah, mencoba menjaga profesionalismenya meskipun merasakan sedikit ketegangan.
"Apa keluhannya, Pak?"
Pria itu duduk dengan santai di kursi di hadapan Mumu. Namun, tatapan matanya sangat tajam.
Dia menatap Mumu dengan intensitas yang tajam, seolah-olah sedang menilai setiap gerakan dan ekspresi wajahnya. Ada sesuatu yang ganjil dalam tatapan itu.
"Dokter bisa memeriksa sendiri, apa sakit yang saya alami." Ujarnya dengan tenang, tapi penuh tantangan.
Mumu tahu pria ini sengaja mencari alasan untuk sesuatu hal yang masih misteri.
Mumu mengamati lebih cermat. Dari ujung kepala hingga kaki, pria itu terlihat sehat.
Otot-ototnya kencang, napasnya teratur, tidak ada tanda-tanda nyeri atau kelelahan.
Raut wajahnya pun tidak menunjukkan rasa sakit atau ketidaknyamanan.
"Saya lihat, Bapak saat ini tidak punya keluhan apa-apa." Kata Mumu, masih berusaha bersikap tenang.
"Kondisi tubuh Bapak nampak bugar. Kalau boleh tahu, apa yang Bapak rasakan?"
Pria itu tersenyum sinis.
"Kalau begitu, Dokter ini bukan lah seorang yang ahli tapi bisa menjadi penanggung jawab di Poli Akupuntur ini." Ucapnya dengan nada meremehkan.
Mumu tetap tenang meski komentar itu sedikit menusuk.
Ia sudah terbiasa menghadapi pasien dengan berbagai karakter, namun pria ini berbeda.
Ada sesuatu di balik kata-katanya yang membuat Mumu merasa waspada.
"Saya sakit, Dok..." Lanjut pria itu, kali ini dengan nada yang lebih serius.
Mumu mencoba menggali lebih dalam.
"Oh ya? Di bagian mana yang sakit, Pak?" Tanya Mumu dengan suara lembut, tetap menjaga profesionalitas meskipun dalam hatinya ia mulai mempertanyakan niat pria ini.
Pria itu tidak langsung menjawab. Dia mengalihkan pandangannya sejenak, lalu kembali menatap Mumu.
Kali ini dengan sorot mata yang lebih tajam dan menusuk. Dengan pelan, dia menunjuk ke arah dadanya.
"Di sini, Dok" Ucapnya sambil menekan ringan jari-jarinya di atas jantungnya.
"Rasanya sangat sakit. Sudah bertahun-tahun lamanya saya menanggung rasa sakit ini hingga saya hampir tidak kuat lagi untuk menahannya."
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...