Bagaimana jadinya jika siswi teladan dan sangat berprestasi di sekolah ternyata seorang pembunuh bayaran?
Dia rela menjadi seorang pembunuh bayaran demi mengungkap siapa pelaku dibalik kematian kedua orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siastra Adalyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Hakim Joan
"Cepat berikan kuncinya padaku" Pintaku pada kak Devan.
"Duh, sudah ku bilang ini mobil kak Arsen, kamu ambil mobil ferrari milikku saja bagaimana? Ini juga masih baru lho, aku baru memakainya satu kali"
"Gak mau, pokoknya aku mau yang ini. Nanti kakak bilang saja pada kak Arsen untuk beli lagi yang baru, uang dia kan banyak"
"Lagipula kan kak Devan juga yang mengajakku duluan untuk memilih mobil mana saja yang bisa aku pilih, masa tiba-tiba omonganmu jadi berubah begitu sih, aku kan jadi sedih"
Aku berpura-pura sedih agar kak Devan luluh dan segera memberi kunci mobil tersebut padaku.
Ia menghela nafas panjang lalu kembali menjawab omonganku dengan lembut.
"Haah...ya sudah, tunggu sebentar"
Aku terdiam sambil menatap kak Devan yang sedang berjalan ke arah lemari yang berisi kunci-kunci dari semua mobil yang ada di garasi ini. Jantungku berdegup semakin kencang karena tidak sabar untuk segera mengendarai mobil yang ada di hadapanku ini.
"Ini kuncinya, kamu pakai saja mobil itu. Nanti biar aku yang bilang pada kak Arsen"
Aku menerima kunci itu dengan tangan bergetar, berusaha menahan senyum yang ingin meluap. "Terima kasih, kak. Aku akan hati-hati," jawabku sambil berusaha untuk tidak terlalu tampak bersemangat.
Kak Devan hanya mengangguk dan tersenyum. "Hati-hati di jalan. Jangan lupa untuk menjaga kecepatan" pesannya sebelum berjalan ke pintu depan.
Aku bergegas mengeluarkan mobil Porsche ini dari garasi dan menjalankannya ke arah halaman depan. Dengan cepat aku melompat ke dalam kursi pengemudi, menyalakan mesin, dan merasa getaran halus dari kekuatan mobil yang siap melaju. Sambil menunggu mesin mencapai suhu optimal, aku memeriksa jam di pergelangan tanganku---aku hampir terlambat.
"Kak Devan, aku berangkat ya! Sampaikan juga pada bi Marry kalau dia cukup memisahkan baju-bajuku saja, barang lainnya biar aku yang bawa sepulang sekolah nanti"
"Baiklah, hati-hati di jalan" Kak Devan melambaikan tangan sambil tersenyum.
Sambil menyesuaikan posisi duduk dan menata spion, aku menunggu beberapa detik agar mesin mencapai suhu optimal. Setelah memastikan semuanya berfungsi dengan baik, aku mulai melajukan mobil dengan hati-hati. Jalanan di pagi hari tampak tenang, dan sinar matahari yang lembut menyinari jalan. Aku mengatur radio untuk mencari berita terkini sambil fokus ke jalanan.
"...Kasus pembunuhan Hakim Joan yang misterius masih belum terpecahkan. Siapa dan apa motif di balik semua ini? Bahkan polisi masih belum bisa menemukan petunjuk apapun soal siapa pelaku dibalik kasus kali ini karena tidak ada bukti apapun di lokasi dan cctv yang ada di sekitar rumah nya pun rusak..."
Hakim Joan, nama yang belum lama ini sering muncul di berita, dan kasusnya yang tak kunjung terpecahkan menyisakan banyak tanda tanya. Aku menyunggingkan senyuman dan menyalakan radio lebih keras karena merasa puas. Bagiku, kematian seperti itu mungkin adalah bentuk keadilan yang tepat untuk orang-orang seperti mereka.
Setelah kurang lebih 30 menit menyetir, akhirnya aku sampai di depan JIS. Aku melajukan mobil ke arah parkiran yang terletak di sisi kiri gedung sekolah. Suasana pagi yang sibuk mulai terasa, dengan siswa-siswa yang berlalu lalang di halaman sekokah. Aku memarkirkan mobil dan sejenak menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya turun.
Brak! Suara pintu mobil yang terbuka lalu tertutup kembali saat aku turun. Aku merapikan seragam sekolahku yang sedikit kusut karena menyetir tadi.
"Agacia!"
Aku berbalik saat mendengar seseorang yang memanggil namaku, ternyata itu adalah Hellen. Dia menghampiriku sambil setengah berlari dengan senyum ceria terpancar di wajahnya.
"Wah, akhirnya kamu di izinin bawa mobil juga ya, haha"
"Iya, kak Devan sudah mengizinkannya"
"Kak Arsen? Apa dia mengizinkan juga?
"Stop membicarakan dia, jangan sampai mood ku jadi jelek di pagi yang cerah ini"
"Hahaha, ternyata hubungan kalian masih seperti itu ya"
Hellen hanya tertawa saat melihat respon ku yang seperti itu, sedikit banyak nya dia lah satu-satunya sahabat yang tau soal kondisi keluargaku. Setelah orang tuaku meninggal dan keadaanku sangat hancur, dia lah yang selalu menghibur dan menemani aku. Dia juga selalu mendukung dan memberikan energi positif hingga akhirnya aku bisa kembali bangkit dari ke terpurukan itu seperti sekarang.
Kami berdua berjalan masuk ke dalam sekolah sembari ngobrol, suara obrolan siswa-siswa menyelimuti suasana. Topik yang paling hangat adalah kematian hakim Joan. Aku bisa mendengar beberapa siswa berdiskusi dengan antusias, membahas berbagai spekulasi yang beredar.
"Hakim Joan, ya? Kasusnya benar-benar aneh," kata salah satu siswa di dekat kami. "Banyak yang bilang ini bukan kecelakaan. Mungkin ada yang terlibat."
Hellen menoleh ke arahku, wajahnya menunjukkan ketidakpastian. "Kamu dengar itu? Semua orang tampaknya mencurigai sesuatu. Dan memang sih, dia bukan sosok yang tanpa kontroversi" ujarnya.
"Ya, sikap buruknya memang sudah jadi pembicaraan selama bertahun-tahun," balasku.
Kematian Hakim Joan benar-benar mengguncang masyarakat, terutama karena kejanggalan yang menyelimuti kasusnya. Banyak orang mulai mempertanyakan apakah kematiannya benar-benar kecelakaan atau ada hal lain yang lebih gelap di baliknya.
Saat kami melangkah lebih jauh, aku bisa merasakan ketegangan di udara. Setiap sudut sekolah terasa dipenuhi dengan rasa ingin tahu dan kepanikan. Kematian seorang hakim terkemuka jelas menjadi isu yang sulit untuk diabaikan.
"Sepertinya ini kasus pembunuhan, aku harap kali ini bukan kamu yang melakukannya, Agacia" kata Hellen sambil menatap tajam ke arahku. "Aku berharap kamu tidak terlibat dalam kasus kali ini"
Seperti yang ku bilang sebelumnya, sedikit banyaknya Hellen adalah satu-satunya sahabat yang tahu tentang kondisi keluargaku, bahkan tentang kehidupanku yang jauh dari kata normal. Dia tahu bahwa aku telah terjebak dalam dunia yang gelap, menjadi pembunuh bayaran untuk mengungkap siapa pelaku di balik kematian orang tuaku. Pada awalnya, aku merasa ragu untuk mengungkapkan semuanya. Namun, Hellen selalu ada di sampingku, mendengarkan dan tidak menghakimi. Walau pada awalnya dia sangat marah saat mengetahui hal itu.
"Katakan padaku, bukan kamu kan yang melakukannya?" Hellen berhenti di ujung anak tangga sambil menatap serius padaku. Aku menghela napas dalam-dalam, "Mau bagaimana lagi, itukan permintaan klien ku"
Hellen menatapku dengan mata lebar, seolah terkejut. "Tapi Agacia, kali ini yang kau bunuh seorang hakim, apalagi dia adalah hakim yang sangat terkenal di negeri ini. Ini bukan seperti kasus-kasus sebelumnya!"
"Aku tau, makanya sebelum membunuhnya aku sudah melakukan riset. Ternyata dia banyak melakukan hal-hal yang melanggar kode etik sebagai seorang hakim, bahkan manusia. Dia juga sudah menerima suap sebesar 250 juta dari keluarga tersangka agar kasusnya tidak berlarut-larut. Padahal korban adalah seorang anak laki-laki yang berjuang mati-matian untuk merawat kakek nya yang sakit keras"
"Apa?!" matanya terbelalak saat mendengar ucapanku.
"Dia juga sudah banyak membunuh orang untuk sampai di posisinya saat ini dan menghilangkan bukti. Salah satunya kematian Dario Edbert, Jendral kepolisian yang saat itu sedang mencari bukti mengenai kecelakaan direktur A2 Group. Setelah dua minggu menjalankan penyelidikan, Dario Edbert tiba-tiba di temukan meninggal dalam jurang"
.
.
.
.
.
Bersambung...
Panjangin lah thorr/Whimper/