Almira Dolken tidak pernah menyangka hidupnya akan bersinggungan dengan Abizard Akbar, CEO tampan yang namanya sering muncul di majalah bisnis. Sebagai gadis bertubuh besar, Almira sudah terbiasa dengan tatapan meremehkan dari orang-orang. Ia bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan Abizard, meskipun jarang bertemu langsung dengan bos besar itu.
Suatu hari, takdir mempertemukan mereka dengan cara yang tak biasa. Almira, yang baru pulang dari membeli makanan favoritnya, menabrak seorang pria di lobi kantor. Makanan yang ia bawa jatuh berserakan di lantai. Dengan panik, ia membungkuk untuk mengambilnya.
"Aduh, maaf, saya nggak lihat jalan," ucapnya tanpa mendongak.
Suara berat dan dingin terdengar, "Sepertinya ini bukan pertama kalinya kamu ceroboh."
Almira menegakkan tubuhnya dan terkejut melihat pria di hadapannya—Abizard Akbar.
"Pak… Pak Abizard?" Almira menelan ludah.
Abizard menatapnya dengan ekspresi datar. "Hati-hati lain ka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bergabung di perusahaan Abigail.
Keesokan harinya, Almira tiba di perusahaan yang dipimpin oleh Abigail. Ia disambut dengan ramah oleh resepsionis dan diarahkan ke ruang kerja Abigail di lantai atas. Almira melangkah dengan sedikit gugup, namun ia berusaha tetap tenang.
"Almira, senang sekali kamu datang," sambutnya.
Abigail dengan senyum hangat, mempersilakannya duduk di sofa kulit hitam di ruangannya yang mewah.
"Terima kasih, Abi," jawab Almira sambil tersenyum tipis.
"Jadi, aku sudah meninjau CV-mu tadi malam. Kamu punya potensi besar, Al. Aku ingin kamu bergabung di tim pengembangan proyek khusus perusahaan ini. Proyek ini sangat penting, dan aku butuh orang yang bisa ku percaya," ujar Abigail dengan nada serius.
Almira mengangguk.
"Aku siap bekerja keras, Abi. Terima kasih sudah memberiku kesempatan."
"Tentu. Kita akan bekerja sangat dekat di proyek ini," tambah Abigail sambil menatap Almira penuh arti.
Hari-hari berlalu, dan Almira mulai terbiasa dengan rutinitas barunya di perusahaan. Namun, ia mulai merasa sesuatu yang ganjil. Abigail sering mencari alasan untuk menghabiskan waktu bersamanya, dari makan siang bersama hingga menemaninya lembur di kantor.
Sesekali, Abigail juga menyelipkan cerita tentang Abizard, seolah ingin mengingatkan Almira bahwa Abizard mungkin tak akan kembali dan hidup bahagia bersama Fara. Walau semua itu hanya sebuah karangan yang diciptakan oleh Abizard.
"Zard pasti sudah bahagia di Amerika," ujar Abigail suatu sore, sambil menyesap kopinya.
Almira terdiam." Amerika?."
Almira terkejut mendengar berita itu. Ia baru mengetahui jika Abizard benar-benar meninggalkannya.
Abigail tersenyum tipis.
"Ya, Abizard memilih pindah dan menghabiskan sisa hidupnya di sana,bersama Fara."
Almira merasakan sesuatu yang mengusik di hatinya. Ucapan Abigail terasa seperti pesan tersembunyi, seolah ingin memintanya melupakan Abizard.
Sementara itu, di Amerika…
Abizard menjalani serangkaian pengobatan yang melelahkan. Meski tubuhnya terasa lemah, pikirannya selalu dipenuhi oleh Almira. Suatu malam, ia mengambil ponselnya dan menatap nomor Almira. Jarinya ragu-ragu di atas layar, sebelum akhirnya mengirim pesan singkat.
"Al, aku merindukanmu. Aku akan kembali secepatnya. Tunggu aku."
Namun pesan itu tak pernah terkirim. Yoseph yang berdiri di ambang pintu segera menghampiri Abizard.
"Zard, jangan fokus pada hal yang akan membuatmu semakin lemah. Kamu harus menyelesaikan pengobatan ini dulu," kata Yoseph tegas.
Abizard hanya mengangguk, menyimpan ponselnya kembali. Dalam hati, ia berjanji akan kembali kepada Almira setelah ia sembuh.
Di kantor, intrik semakin rumit. Abigail mulai memperketat kontrolnya atas Almira. Ia secara halus mengisolasi Almira dari dunia luar dengan alasan profesional. Setiap kali Almira ingin mengambil cuti atau waktu istirahat, Abigail selalu berhasil membujuknya untuk tetap tinggal.
"Aku butuh kamu di sini, Al. Kamu kan pilar penting di proyek ini," ujar Abigail dengan senyum manis yang sulit ditolak.
Almira merasa terjebak, namun ia tak ingin mengecewakan Abigail, terlebih setelah semua bantuan yang diberikan kepadanya. Namun, di dalam hatinya, ia tetap merindukan sosok Abizard. Seolah ada lubang besar di hatinya yang tak bisa diisi siapa pun.
___
Semakin hari Abigail mencoba mendekatkan dirinya pada Almira. Agar membuat wanita itu jatuh ke dalam pelukannya dan melupakan Abizard sepenuhnya .
"Aku akan mengantarmu pulang." ucap Abigail setelah selesai rapat.
Almira tersenyum getir sambil merapikan berkas dan dokumen yang berserakan di atas meja.
"Tidak perlu ,Abi. Aku naik taksi saja." sahut Almira.
Abigail menatap Almira dengan sorot mata lembut, namun di balik itu tersimpan niat yang lebih dalam. Ia melangkah mendekat, berdiri di samping Almira dengan senyum yang tetap terjaga.
"Al, jangan menolak bantuan dari teman. Aku hanya ingin memastikan kamu pulang dengan aman," desak Abigail sambil mengambil berkas dari tangan Almira dan merapikannya.
Almira terdiam sejenak, merasa tak enak untuk terus menolak. Akhirnya ia mengangguk.
"Baiklah, Abi. Terima kasih."
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa hening. Abigail sesekali melirik Almira yang memandang keluar jendela, tenggelam dalam pikirannya. Jalanan malam yang dipenuhi lampu kota seakan menjadi saksi bisu dari intrik yang perlahan terbentuk.
"Al,"
Panggil Abigail, memecah kesunyian.
"Aku tahu betapa beratnya kehilangan Abizard. Aku juga merindukannya, tapi... mungkin sudah saatnya kamu membuka hati untuk hal baru."
Almira menoleh, alisnya sedikit berkerut.
"Maksudmu?"
Abigail menatapnya dalam-dalam, senyumnya tetap terjaga namun nadanya terdengar serius.
"Maksudku, kamu tidak harus terus terjebak di masa lalu. Aku ada di sini untukmu, selalu. Kamu bisa mengandalkan ku, lebih dari siapa pun."
Almira merasa ada sesuatu yang aneh dalam ucapan Abigail, tapi ia memilih untuk tidak memperpanjang.
"Terima kasih, Abi. Aku menghargai perhatianmu."
Sesampainya di depan rumah, Almira hendak turun dari mobil, namun Abigail tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dengan lembut.
"Almira," ucapnya pelan, sorot matanya penuh makna.
"Aku ingin kamu tahu… aku benar-benar peduli padamu. Jika suatu saat kamu butuh seseorang untuk bersandar, aku ingin jadi orang itu."
Almira menelan ludah, merasa sedikit canggung dengan kedekatan ini. Ia menarik tangannya perlahan dan mencoba tersenyum.
"Terima kasih, Abi. Aku akan mengingatnya."
Setelah itu, Almira keluar dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah. Namun, perasaan tak nyaman terus menghantui pikirannya. Ada sesuatu yang berbeda dari Abigail belakangan ini, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Di baluk jendela rumah Debora menatap kedatangan sahabatnya itu dengan seksama. Debora langsung mencecar Almira begitu dia masuk ke dalam.
"Al, siapa yang mengantarmu tadi?." tanya Debora.
"Abigail".singkat Almira.
" Abigail sepupu Abizard?!."jelas Debora penuh tanya.
Almira mengangguk. Debora yang melihat ada sesuatu dibalik kebaikan Abigail itu pun mencoba mengatakan isi hatinya.
"Al, aku rasa ada sesuatu yang aneh dengan Abigail. Kebaikannya terasa... berlebihan, bukankah dia juga yang bertaruh untuk mendapatkan mu?" ujar Debora dengan serius.
Almira menatap sahabatnya dengan bingung.
"Kau benar. Tapi aku sangat membutuhkan pekerjaan dan Abigail hanya ingin membantuku."
Debora menghela napas panjang, lalu menatap Almira dalam-dalam.
"Aku tahu kamu ingin berpikir positif, tapi aku melihat cara Abigail memandang mu tadi. Itu bukan tatapan biasa, Al. Seperti... ada sesuatu yang dia sembunyikan."
Almira terdiam, teringat kembali percakapan di mobil dan cara Abigail menyentuh pergelangan tangannya. Sekilas, semua itu terasa biasa saja, tapi ketika dipikirkan lagi, ucapan Debora mulai masuk akal.
"Menurutmu dia punya maksud tertentu?" tanya Almira ragu-ragu.
"Al, aku gak mau menakut-nakuti kamu. Tapi kamu harus lebih waspada. Jangan sampai kamu terjebak dalam permainan yang mungkin dia buat," kata Debora sambil menggenggam tangan Almira dengan penuh perhatian.
"Kalau ada yang aneh, ceritakan padaku, ya."
Almira mengangguk pelan. "Baik, Deb. Aku akan lebih hati-hati."
Sementara itu, di Amerika...
Abizard duduk di tepi ranjang rumah sakit, menatap langit malam dari jendela. Kondisinya mulai membaik, dan harapan untuk segera pulang semakin besar. Namun, pikiran tentang Almira terus menghantuinya.
Yoseph masuk ke kamar dengan membawa hasil pemeriksaan terbaru.
"Zard, dokter bilang kalau kondisimu terus stabil seperti ini, kita bisa kembali dalam waktu dua minggu."
Mata Abizard berbinar.
"Benarkah, Ayah? Itu berarti aku bisa segera menemui Almira!"
Yoseph tersenyum, namun ada kekhawatiran di matanya.
"Iya, tapi kamu harus tetap berhati-hati. Jangan terlalu memaksakan diri. Dan satu lagi, ada sesuatu yang harus kamu tahu."
Abizard menatap ayahnya dengan serius.
"Apa itu?"
"Abigail... dia sepertinya punya rencana sendiri untuk Almira."
Abizard mengepalkan tangan, wajahnya berubah tegang.
"Apa yang dia lakukan?"
"Aku belum tahu pasti, tapi aku mendengar kabar dari salah satu rekan di perusahaan. Abigail terlihat sangat dekat dengan Almira, mungkin lebih dari sekadar teman atau rekan kerja," jelas Yoseph.
Abizard merasa dadanya sesak. Ia tak bisa membiarkan Abigail memanfaatkan Almira. Dalam hati, ia bertekad untuk kembali lebih cepat dari yang direncanakan. Ia harus melindungi Almira sebelum semuanya terlambat.
Di kantor, Abigail semakin intens mendekati Almira. Setiap kesempatan selalu ia manfaatkan untuk membuat Almira nyaman di dekatnya. Namun, Almira mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Di salah satu malam lembur, Abigail menatap Almira dengan pandangan lembut.
"Al, tidak bisakah kau membuka hatimu untuk pria lain?."
Almira mendongak, terkejut dengan ucapan itu.
"Maksudmu, Abi?"
Abigail tersenyum samar, lalu duduk di sebelah Almira.
"Yang aku maksud... kenapa kamu tidak membuka hati untuk orang yang selalu ada di sini untukmu? Mungkin dia bisa membuatmu lebih bahagia."
Almira merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu arah pembicaraan ini, tapi ia belum siap menghadapi kenyataan itu.
"Aku... aku rasa aku harus pulang sekarang. Sudah malam," ujar Almira, berdiri dengan canggung.
Abigail menatapnya dengan sorot kecewa, namun tetap tersenyum.
"Baiklah, aku akan mengantarmu."
Awalnya Almira menolak,namun Abigail selalu memaksanya .Hingga akhirnya Almira kembali menerima ajakan Abigail.