Lavina tidak pernah menyangka akan dijodohkan dengan seorang duda oleh orang tuanya. Dalam pikiran Lavina, menjadi duda berarti laki-laki tersebut memiliki sikap yang buruk, sebab tidak bisa mempertahankan pernikahannya.
Karena hal itu dia menjadi sanksi setiap saat berinteraksi dengan si duda—Abyan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu Lavina mulai luluh oleh sikap Abyan yang sama sekali tidak seperti bayangannya. Kelembutan, Kedewasaan Abyan mampu membuat Lavina jatuh hati.
Di saat hubungannya mulai membaik dengan menanti kehadiran sosok buah hati. Satu masalah muncul yang membuat Lavina memutuskan untuk pergi dari Abyan. Masalah yang membuat Lavina kecewa telah percaya akan sosok Abyan—duda pilihan orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my_el, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duda 19
Segala macam pikiran buruk tak bisa Lavina cegah memenuhi kepalanya. Andai dia bisa mengulang waktu, dia ingin sekali untuk menolak dengan keras perjodohan mereka. Namun, semua itu hanya sebatas angan saja, tanpa pernah bisa dia realisasikan.
Rasa sakit semakin menyeruak menggerogoti hatinya. Baru saja dia memulai untuk menerima rasa cinta yang tumbuh, kini haruskah dia menguburnya lagi dalam-dalam. Baru saja dia menerima dengan lapang status suaminya sebab perlakuan Abyan begitu baik selama ini, kini haruskah dia juga harus lapang menerima jika semuanya hanya angan semu.
“Lav, wajahmu pucat sekali.” Abyan panik saat begitu sampai di rumahnya, mendapati sang istri tengah duduk dengan tatapan kosong. Lalu, dia mencoba untuk mengecek suhu tubuh istrinya, yang segera ditepis halus oleh Lavina.
“Aku gak apa-apa. Hanya perlu istirahat saja, Mas,” kata Lavina hampir tercekat, dan memaksakan senyumannya.
Jelas hal itu menambah rasa khawatir Abyan. Meski bukan kali pertama dia ditolak oleh Lavina, tetapi kali ini rasanya tidak nyaman sekali. Semua perlakuan sang istri lima hari ini terasa beda dan dia dibuat gelisah sepanjang waktu.
“Kita ke dokter aja, yuk, Sayang. Siapa tahu nanti sama dokter dikasih vitamin khusus biar kamu bisa lebih fit,” bujuk Abyan sangat lembut, penuh harapan agar sang istri mau menurut.
Lavina bergeming, tetapi kali ini dia menatap sendu wajah suaminya. Dan rasa sakit itu kembali menghantam hatinya. “Gak ada obat khusus, Mas. Karena bukan fisikku yang sakit, tetapi hatiku, Mas. Hatiku yang sakit menerima fakta yang baru dia tahu,” jerit pilu hati Lavina.
“Sayang.” Abyan kembali memanggil sang istri yang tak memberikan tanda-tanda akan bersuara. Justru, Lavina kini mulai berkaca-kaca, dan menepuk-nepuk dadanya membabi buta. Membuat Abyan kalut seorang diri.
"Sayang, hei. Jangan seperti ini. Kamu kenapa? Ada apa? Ayo bicara sama mas." Abyan mencoba menghalau tangan istrinya yang masih memukul dadanya sendiri.
Lavina mendongak dengan wajah yang sudah tampak basah oleh air mata, menatap wajah khawatir suaminya dengan sendu. "Aku ngantuk."
****
Abyan sangat ingat betul, semalam sebelum dirinya menyusul sang istri ke alam mimpi. Dia memastikan kondisi Lavina dalam keadaan baik-baik saja, dia berikan kecupan sayang di kening sang istri, dan dia rengkuh tubuh yang lebih kecil darinya itu. Untuk memberikan rasa nyaman dan aman selama istrinya itu terlelap.
Lalu, kenapa pagi ini dia hanya terbangun seorang diri di dalam kamar itu. Bahkan, tempat istrinya berbaring mulai terasa dingin, menandakan Lavina telah meninggalkan tempat tidur dari lama. Buru-buru dia keluar dan mencari keberadaan Lavina yang sama sekali tidak dia temukan.
“Sayang, kamu di mana?” panggilnya mencoba membuka satu per satu ruangan yang ada di apartemennya dan hasilnya nihil.
“Lavina!” Abyan mulai berteriak panik, dan kembali berlari ke kamar guna mencari ponselnya.
Pria itu semakin kalut saat panggilannya tidak terhubung ke nomor sang istri. Meski begitu dia tidak menyerah begitu saja, dengan penuh harap dia terus menerus menghubungi nomor istrinya agar segera dijawab. Tetapi lagi dan lagi panggilannya tersambung ke pihak operator.
“Lavina kamu ke mana, Sayang? Pleasee ... sayang, jangan tinggalin aku,” Abyan bergumam pelan, dengan rasa panik, khawatir, gelisah menjadi satu.
Tak kehilangan akal, pria itu membuka lemarinya untuk memastikan baju-baju sang istri masih ada di tempatnya. Namun, seketika tubuh Abyan merosot saat melihat baju sang istri hanya tertinggal beberapa helai saja.
“L—lavina kenapa? Kenapa kamu pergi juga.” Pria itu luruh dengan air mata yang tak bisa lagi dia tahan. Pertahanannya seketika runtuh di pagi itu. Untuk kedua kalinya dia merasa dicampakkan, ditinggalkan tanpa pesan apa pun.
Apa sebenarnya yang salah dengan dirinya? Kenapa dia harus merasakan kejadian pahit ini untuk kedua kalinya? Seburuk itukah dia sampai tak pantas untuk merajut rumah tangga hingga akhir hayatnya?
Dengan sisa kekuatannya, Abyan beranjak dari tempatnya. Berjalan gontai ke arah kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Sampai kedua netranya tak sengaja melihat sebuah album foto yang tak asing baginya.
“F*cking shit, Abyan!”
Abyan tak lagi memedulikan kondisinya yang sangat berantakan. Dia berlari keluar dari unit apartemennya dengan membawa album foto itu seperti orang kesetanan.
“Tuhan aku mohon, kali ini bantu aku berjuang,” mohon Abyan putus asa dalam hatinya.
****
Setelah menghubungi kedua orang tuanya serta Aidan untuk mengabari masalah yang dia alami. Kini Abyan berada tepat di depan pintu rumah Farhan Pahlevi—ayah dari istrinya. Dia tatap pintu itu sembari tiada henti memohon dalam hati supaya harapannya akan keberadaan Lavina nyata berada di kediaman mertuanya.
Tak mau membuang waktu, diketuk pelan pintu rumah itu pelan hingga tak berselang lama sosok ibu mertuanya tampak di hadapannya.
“Loh, Aby! Tumben pagi-pagi ke sini, Nak? Mana Lavina?” Rentetan pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir mertuanya. Raut kaget serta bingung bisa Abyan lihat dengan mudahnya.
Lantas, bagaimana Abyan mengatakannya. Kalau mertuanya saja tidak tahu dengan keberadaan Lavina? Sungguh, Abyan merasa sangat bodoh dan menjadi seorang penjahat saat ini karena telah lalai menjaga istrinya. Istri yang tengah hamil darah dagingnya.
“Kenapa Abyannya gak disuruh masuk, Ma. Malah diajak ngobrol di sini?” Suara Farhan menyentak Abyan dan mengembalikan Abyan ke dunia nyata.
“Gak ngobrol, Pa. Baru mama tanya aja, tapi Nak Abyan malah melamun,” ujar Arumi menjelaskan.
Hal itu membuat sebelah alis Farhan menaik tinggi, menatap serius ke arah menantunya. “Abyan.”
“Maaf, Pa, Ma,” lirih Abyan semakin merasa bersalah.
“Bicara yang benar, Abyan.” Farhan berkata dengan tegasnya.
“Abyan ke sini niatnya mau mencari istri Abyan, Pa, Ma. Sebab Abyan tak menemukannya di apartemen sejak bangun tadi,” jujur Abyan tercekat dan lemah. “Tapi, ternyata istri Abyan tidak ada di sini, ya. Abyan minta maaf, Pa, Ma. Abyan sudah lalai dan membuat anak papa dan mama kecewa sama Abyan.”
Arumi dan Farhan jelas terkejut dengan berita buruk yang mereka dengar. “Apa sebenarnya yang terjadi, Abyan. Anak mama pergi ke mana?” tanya Arumi bertubi-tubi yang sudah meneteskan air matanya.
“Abyan minta maaf, Pa, Ma. Abyan juga tid—“
Bugh!
Bugh!
Bugh!
“Papa!”
“Cari anak saya sampai ketemu atau saya bu*nuh kamu Abyan!”