bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.
selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
niat busuk sang jendral II
Sore itu, Chris dan Toni berdiri di luar tenda mereka, menatap ke arah danau yang tenang. Sinar matahari mulai redup, mengisyaratkan hari yang hampir berakhir.
"Kita harus segera pergi dari sini," kata Toni, worry terpancar dari matanya. "Aku tidak suka perasaan ini."
Chris mengangguk, wajahnya serius. "Ya, ada sesuatu yang aneh terjadi. Danau ini seolah menyembunyikan rahasia gelap."
Mereka bergegas membongkar perkemahan, mengumpulkan peralatan memancing dan barang-barang pribadi mereka ke dalam ransel. Kekhawatiran mereka semakin dalam saat mendung mulai menyelimuti langit, menggantikan langit biru yang cerah tadi pagi.
"Kita harus menemukan Allan," desis Chris. "Dia pasti tahu sesuatu tentang ini."
Tanpa membuang waktu lagi, mereka berdua bergegas menuju jalan setapak yang mengarah ke kota Reksa. Langit kini sepenuhnya mendung, dengan kilat sesekali menyambar di cakrawala, memberi peringatan akan badai yang akan datang.
Scene 7:
Hujan lebat sudah mengguyur ketika Chris dan Toni mencapai gerbang Kota Reksa. Mereka berlari mencari perlindungan, melewati jalan-jalan yang kini kosong, menuju pusat kota.
"Kita harus menemukan Allan!" teriak Chris di atas desiran hujan. "Dia pasti tahu tempat aman!"
Toni mengangguk, berjuang melawan angin yang kencang. "Mari kita coba rumah sakit dulu. Dia mungkin ada di sana, mencoba membantu para korban."
Mereka berbelok ke kanan, menuju gedung tinggi yang ditandai dengan palang merah, tapi jalanan kosong yang mereka lewati menjadi pertanda buruk.
"Ini tidak baik," gumam Toni. "Kota ini sepi sekali."
Ketika mereka tiba di rumah sakit, pintu masuknya terkunci rapat. Chris memukulkan kepalan tangannya pada pintu kaca, tapi tidak ada jawaban.
"Allan!" teriaknya, tapi hanya suara guntur yang menjawabnya.
Dengan putus asa, mereka berlari ke sekitar bangunan, mencari jendela atau pintu lain yang mungkin terbuka. Namun, semua akses masuk tampaknya terkunci rapat.
"Kita harus mencoba tempat lain," kata Toni, suaranya putus asa. "Mungkin dia di markas militer."
Mereka bergegas melalui hujan deras, jalanan yang banjir kini memperlambat langkah mereka. Ketika mereka berbelok ke jalan utama, mereka melihat kerumunan kecil di seberang jalan, di luar gedung pemerintahan.
"Itu dia!" teriak Chris, menunjuk ke arah sekelompok orang yang berkumpul di bawah payung.
Mereka bergegas menyebrang, berjuang melawan arus air yang deras. Ketika mereka mencapai kerumunan, Chris mendorong dirinya ke depan, berusaha melihat di atas bahu orang-orang yang berkumpul.
"Allan!" dia berteriak lagi.
Seorang pria berbalik, dan wajah lelah Allan muncul di antara kerumunan. Matanya melebar saat melihat Chris dan Toni, dan dia segera mendorong kerumunan, datang untuk bertemu mereka.
"Kamu berdua baik-baik saja?" tanyanya, worry di matanya.
"Ya, kita baik-baik saja," jawab Chris. "Tapi apa yang terjadi? Kota ini sepi sekali."
Allan menghela napas, wajahnya serius. "Ada laporan tentang mahluk aneh yang muncul dari danau. Penduduk kota berbondong-bondong meninggalkan kota, menuju perbukitan di luar kota."
"Tapi kenapa?" tanya Toni, bingung. "Apa yang membuat mereka begitu takut?"
"Mereka takut akan terjadi bencana," jelas Allan. "Dan setelah melihat data yang aku kumpulkan, aku takut mereka benar."
Kilat menyambar di langit, menyoroti wajah-wajah khawatir mereka.
"Kita harus pergi dari sini," desak Chris. "Kita bisa membahasnya sambil berjalan."
Tanpa menunggu respons, dia menarik Allan dan Toni ke jalan, menjauh dari gedung pemerintahan.
"Apa yang kamu temukan?" tanya Toni, berusaha mengikuti langkah cepat Chris.
Allan menghela napas lagi. "Radiasi yang terdeteksi di danau—itu berasal dari uji coba nuklir yang dilakukan 200 tahun lalu selama Perang Dunia II."
Chris dan Toni saling bertatapan, wajah mereka terkejut.
"Tapi bagaimana hal itu bisa terjadi?" tanya Chris. "Bukankah dampak radiasi sudah memudar?"
"Itulah yang seharusnya terjadi," jawab Allan, worry di dalam suaranya. "Tapi tampaknya ada faktor lain yang berperan di sini. Ada senyawa aneh yang terdeteksi di danau, sesuatu yang bukan dari bumi ini."
Mata mereka melebar. "Apa maksudmu?" tanya Toni, suaranya serak.
"Aku menemukan fragmen logam yang aneh di dasar danau," jelas Allan. "Setelah aku analisis, tampaknya logam ini bukan berasal dari bumi. Aku berpikir mungkin ini fragmen meteorit yang jatuh ke bumi ratusan tahun lalu."
Hujan semakin deras, seolah alam juga ikut menangis mendengar berita ini.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Chris, putus asa mulai merayap ke dalam suaranya. "Kita tidak bisa hanya berdiri di sini dan menunggu bencana terjadi."
"Kita harus menemukan Jenderal Santoso," kata Allan, tegas. "Dia harus diberitahu tentang hal ini. Sebagai pemimpin militer kota, dia memiliki sumber daya untuk membantu kita menghadapi ancaman ini."
Mereka bertiga berlari melalui hujan, menuju markas militer di tepi kota. Saat mereka tiba, penjaga di gerbang melihat mereka dengan tampang curiga.
"Kami harus bertemu Jenderal Santoso!" teriak Allan, berjuang melawan angin dan hujan. "Ini masalah hidup dan mati!"
Para penjaga saling bertatapan, kemudian salah satu di antara mereka berlari masuk ke bangunan, meninggalkan yang lain untuk mengawasi ketiga teman ini.
Beberapa menit yang terasa seperti jam berlalu sebelum penjaga itu kembali, diikuti oleh seorang perwira muda.
"Jenderal ingin tahu apa yang membuat kalian begitu terburu-buru," kata perwira itu, pandangannya menilai ketiganya.
Allan maju selangkah, air menetes dari pakaiannya yang basah kuyup. "Kami memiliki informasi penting tentang ancaman terhadap kota ini. Ini berkaitan dengan kejadian aneh di danau."
Perwira itu tampak tidak yakin, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, ikuti saya."
Mereka dibawa ke dalam markas, melalui lorong-lorong yang dipenuhi tentara yang sibuk. Akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah pintu yang dijaga oleh dua tentara bersenjata. Perwira itu mengetuk dan, setelah sejenak, pintu terbuka.
Mereka menemukan diri mereka di dalam sebuah ruangan yang terang, dengan peta-peta dinding dan layar-layar komputer. Di ujung ruangan, seorang pria dengan seragam jenderal berdiri, menatap mereka dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca.
"Jenderal Santoso," kata Allan, memberi hormat. "Kami membawa informasi penting tentang kejadian di danau."
Jenderal itu maju, wajahnya serius. "Kau adalah Allan, ilmuwan yang mempelajari radiasi di danau itu, ya?"
Allan mengangguk. "Benar, Jenderal. Dan aku takut aku menemukan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan."
Jenderal Santoso mengundang mereka untuk duduk dan mereka menyampaikan temuan Allan tentang radiasi, senyawa asing, dan asal usul meteorit. Saat mereka berbicara, ekspresi wajah jenderal itu berubah dari serius menjadi tertarik, dan akhirnya khawatir.
"Ini berita yang sangat mengkhawatirkan," jenderal itu akhirnya berkata, mengerutkan keningnya. "Apakah kau yakin tentang temuanmu ini?"
"Ya, Jenderal," jawab Allan, tegas. "Aku telah menguji dan menguji ulang sampel yang aku ambil, dan hasilnya selalu sama. Senyawa asing ini jelas bukan dari bumi."
Jenderal Santoso berjalan ke jendela, menatap ke arah kota yang kini gelap karena hujan deras. "Jika berita ini menyebar, akan terjadi kepanikan massal. Kita harus bertindak cepat dan efektif."
Chris maju selangkah, wajahnya penuh tekad. "Kita harus mengevakuasi penduduk ke perbukitan, seperti yang sudah mereka mulai lakukan. Dan kita harus menyelidiki danau itu, mencari tahu apa rencana makhluk-makhluk ini."
Jenderal Santoso menoleh, matanya tajam. "Kau berani, anak muda. Tapi aku takut itu tidak akan cukup. Kita perlu senjata, teknologi yang lebih maju untuk melawan ancaman ini."
Toni angkat bicara, "Tapi Jenderal, penduduk kota sudah ketakutan. Mereka membutuhkan perlindungan dan tempat berlindung. Kita harus memastikan mereka aman sebelum memikirkan serangan."
Jenderal tersenyum sinis. "Aku tahu apa yang harus dilakukan, anak muda. Kita akan melindungi penduduk, tentu saja. Tapi kita juga harus memanfaatkan teknologi yang ada di meteorit itu. Dengan senjata canggih, kita bisa menghadapi ancaman ini secara langsung."
Allan berdiri, matanya berkedip-kedip penuh kecurigaan. "Jenderal, aku tidak yakin itu ide yang bijak. Kita belum tahu banyak tentang teknologi ini. Mungkin ada risiko—"
Jenderal Santoso mengangkat tangannya, menginterupsi Allan. "Kita tidak punya waktu untuk ragu-ragu, anak muda. Keputusan sudah dibuat. Kita akan memanfaatkan teknologi ini untuk melindungi kota kita, apapun risikonya."
Dengan itu, dia berbalik dan berjalan menuju pintu, memberi sinyal bahwa pertemuan telah berakhir. Chris, Toni, dan Allan saling bertatapan, worry dan kecurigaan terpancar dari mata mereka. Mereka tahu bahwa jenderal mungkin memiliki rencana tersembunyi, dan risiko yang dia ambil bisa berakibat bencana.
Tanpa pilihan lain, mereka bergegas keluar dari markas militer, menuju ke tempat perlindungan sementara, sementara jenderal dan pasukannya mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman alien yang tidak diketahui, dengan teknologi yang bahkan mereka sendiri tidak mengerti sepenuhnya.
Akankah rencana jenderal ini menyelamatkan kota Reksa, atau malah membawa malapetaka yang lebih besar? Chris, Toni, dan Allan hanya bisa berdoa agar pilihan jenderal ini adalah yang benar, sementara badai—baik di langit maupun di bumi—mulai bergemuruh.