Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"pantas saja kau tidak mau kembali kerumah, ternyata karena dokter ini..!" ucapnya dengan wajah berang.
"Mas, kau tidak sopan sekali." aku menghempas tangannya dengan keras.
"Nak Sigit duduk dulu. bicarakan baik-baik, ada apa ini?" ibu ikut bicara.
"Setiap aku minta pulang, May tidak pernah mau, Bu. sekarang aku tau sebabnya. Karena dokter ini." Mas Sigit menuding dokter Agam.
"Jaga ucapanmu, Mas. Jangan bawa-bawa pak Dokter.Semua tidak seperti yang kau tuduhkan." bentak ku keras.
"Tuh, kan. Dari sini sudah kelihatan, segitunya kau membelanya."
Dokter Agam bangkit dan menyela.
"Maaf, mungkin ini masala keluarga kalian, tapi aku perlu meluruskan kembali, aku dan May hanya teman biasa. Dia wanita terhormat. Tidak seperti yang anda tuduhkan. Dan ingatlah.. dalam sebuah ikatan harus di kandasi kepercayaan, bila itu sudah tidak ada, siap-siap saja untuk kehilangan." ucap Dokter Agam lalu mohon diri.
Kami terdiam, aku benar-benar merasa tidak enak dengan ulah suamiku.
"Ini masalah kita, kenapa harus melibatkan dokter Agam? harusnya kau sadar. Pangkal dari semua ini adalah pemikiran mu, Mas. Aku dan Bulan jauh dari mu itu karena dirimu yang tidak berpendirian." di tengah rasa kesal ku aku masih berusaha mengingatkannya.
"Kau bilang aku tidak berpendirian, apa dasarnya kau berpendapat begitu? Kau tinggal di rumah besar, makan enak dan tidak perlu bekerja keras. semuanya sudah aku sediakan." jawabannya seperti pikun dengan semua yang sudah terjadi.
"Mas, kau pikir kebahagiaan seorang istri cuma dengan itu? Tidak.. Rasa hormat dan di hargai lebih penting dari sekedar materi. Lalu apa yang sudah kalian berikan padaku? Ibumu selalu mengatur hidup kita. iparmu selalu lebih kau utamakan ketimbang aku yang istri sah mu. Itu yang sudah kau berikan selama ini." mataku berkaca-kaca.
ibu berusaha menenangkan ku namun aku sudah kalap. Aku ingin menuangkan semua isi hati ku saat itu.
Pria itu tertunduk lesu. Lalu berkata.
"Sudah berulang kali aku katakan. Rani dan Tara adalah tanggung jawabku. Tapi kalau kau tidak mau terima, baiklah.. Aku minta maaf. Sekarang katakan apa yang harus aku lakukan agar kau mau memaafkan ku dan kembali kerumah." ucapnya sendu.
"Aku tidak bisa kembali kerumah yang tidak menghargai ku sedikitpun. rumah ini memang kecil dan tidak sebagus rumah mu. Tapi disini ada ketenangan dan kedamaian."
Bulan keluar karena mendengar suara ayahnya. Dia langsung menghambur memeluk Ayahnya.
Mas Sigit berjongkok dan merangkulnya.
"Kenapa Bulan tinggalkan ayah? Kita pulang, yuk..! Kakek dan Nenek menunggu Bulan."
Aku mengambil Bulan dari pangkuannya.
"Jangan coba pengaruhi, Bulan."
"May, dia anak ku juga. kenapa kau keberatan kalau Bulan dekat denganku, apa kau ingin mendekatkan dia pada dokter itu?" suaranya kembali meninggi. ibuku menjadi panik.
"Nak, Sigit, apapun masalahnya, semua bisa di bicarakan baik-baik." bujuk ibu.
Dengan enggan dia duduk. Tapi pandangannya masih kepadaku.
"Aku selalu menepis gosip tentang dirimu di depan orang, tapi nyatanya? Kau sudah merusak kepercayaan ku, May." ucapnya dengan mata sayu.
"Aku tidak merusak kepercayaan mu. Kau hanya salah paham. Dan akarnya ada pada Rani ipar kesayanganmu Itu."
Mas Sigit memegangi kepalanya. Matanya memerah.
"Berapa kali aku bilang. aku tau kau benci kepada Rani, tapi kasihani dia yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Suaminya sudah tidak ada. Dia juga harus menanggung hidup seorang anak yatim. Dengan apa aku harus membuat mu mengerti. May.."
"Intinya, aku tidak mau pulang. Aku juga tidak mengijinkan mu membawa Bulan."
Dia menggeleng keras.
"Kau memang ayahnya. kau juga boleh membawanya sesuka hati asal jangan kerumah itu." aku memasang ekspresi tegas.
Mas Sigit mendengus kesal. Dia kehilangan daya.
"Baiklah, aku akan menurut padamu. Katakan apa yang harus aku lakukan asal kita tetap bersama."
Aku berpikir keras. Matanya yang memerah menahan kesedihan membuatku iba.
Mungkin dia juga menderita dengan keadaan ini.
"Aku tidak mau jauh dari kalian. Pulang, ya .!" bujuknya lagi.
Aku terjebak dilema. Sebenarnya sudah tidak ada perasaan apapun padanya. Tapi melihatnya memohon dengan berlutut begitu membuatku berpikir kembali.
"Pulang, ya May..!" dia meraih tanganku dan menciuminya. Aku terdiam nimbang. Ibu mengangguk padaku.
"Baiklah, tapi aku punya syarat."
Dia mendongak gembira.
"Apa syaratnya, katakan."
"Kau tidak boleh perduli lagi pada Rani."
Dia terhenyak mendengarnya.
"Itu terlalu berat, ya? Kalau begitu, aku mau kita tinggal di rumah terpisah."
Dia masih menghela nafas berat.
"Itu berat juga?" aku meledeknya.
"Kalau begitu lupakan keinginanmu mengajak ku pulang."
Ternyata mas Sigit tidak bisa memenuhi salah satu dari syarat yang ku ajukan. Dia pulang dengan tangan hampa.
Aku menyesalkan kenapa dia tidak bisa memenuhi syarat ku.
Sejak saat itu dia tidak pernah lagi menghubungi ku. Entah apa sebabnya.
Aku juga sudah harus memikirkan masa depan Bulan. Aku harus punya penghasilan tetap. Aku tidak mau mengandalkan pemberian dari ayahnya.
Kabar gembira, aku mendapat royalti sebesar delapan juta dari cerita yang ku tulis. Sungguh aku tidak pernah menyangka. aku yang sama sekali tidak punya bakat menulis atau mengarang sebuah cerita sebelumnya. Ternyata kisah yang ku tulis banyak peminatnya.mereka minta agar aku melanjutkan kisah ku.
Dari uang itu aku berencana kembali menekuni bisnis jual beli online. Karena sekarang ada sedikit modal, aku berani menyetok barang walau sedikit.
Alhamdulillah.. Hasilnya lumayan.
Suatu hari aku bertemu Sofia teman masa kecil ku dulu.
"May, tadi aku berpapasan dengan Mas Sigit."
Ucapnya di sela canda tawa kami yang baru bertemu.
"Oh, ya?" jawabku cuek. Karena kisah kehidupan keluarga itu sudah tidak menarik lagi bagiku.
"Masalahnya aku bertemu dia bersama Rani, kakak iparnya itu." jelas Sofia dengan semangat.
Ada s sak di dada ini sejenak.
"Lalu?" aku berusaha menyembunyikan perasaan ku.
"Benar kau sudah tidak ada perasaan lagi padanya?" dia malah mendesak ku.
"Iya, memang kenapa?"
"Yang aku dengar lagi. Ibunya menjodohkan mereka."
"Hah?" tak sadar aku terkejut juga.
"Tuh, kan kau kaget." menatapku curiga.
"Bukan begitu maksudku. Apa Rani sudah bisa berjalan? " Cecar ku.
"Saat aku bertemu mereka sih, sudah walaupun masih agak tertatih gitu."
Aku segera mengalihkan pembicaraan. Aku takut Sofia mengetahui perasaan ku yang sebenarnya.
di saat yang bersamaan. dokter Agam lewat di depan kami dan langsung berhenti.
"Kalian sedang apa? Seru sekali." sapanya dengan ramah.
" kebetulan saja kami bertemu. Biasalah lama tak bertemu." jawab Sofia.
"Oh, ya? Hari Minggu lusa ada kegiatan pengobatan gratis untuk warga kampung kita. Ada beberapa tenaga medis dari kota yang akan membantu. Apa kalian mau ikut bergabung jadi relawan?"
"Mau, dok. Iya, kan May..?" Sofia menyenggol lenganku.
Aku tersipu.
"Ikut saja, May. Menambah ilmu juga, lho. daripada memikirkan pasangan itu." bisiknya lagi.
Aku menyenggolnya.
"Pasangan yang mana maksudnya?" tanya dokter Agam.
"Itu, Dok.." hampir saja Sofia menceritakannya. Tapi aku memberinya isyarat agar diam.
"Bagaimana, May? kebetulan tenaga relawannya kurang satu lagi."
Akhirnya aku setuju untuk ikut. Benar kata Sofia. Hitung-hitung cari pengalaman dan menambah ilmu.