Kehidupan Elizah baik-baik saja sampai dia dipertemukan dengan sosok pria bernama Natta. Sebagai seorang gadis lajang pada umumnya Elizah mengidam-idamkan pernikahan mewah megah dan dihadiri banyak orang, tapi takdir berkata lain. Dia harus menikah dengan laki-laki yang tak dia sukai, bahkan hanya pernikahan siri dan juga Elizah harus menerima kenyataan ketika keluarganya membuangnya begitu saja. Menjalani pernikahan atas dasar cinta pun banyak rintangannya apalagi pernikahan tanpa disadari rasa cinta, apakah Elizah akan sanggup bertahan dengan pria yang tak dia suka? sementara di hatinya selama ini sudah terukir nama pria lain yang bahkan sudah berjanji untuk melamarnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melaheyko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernyataan Sofi
🍃🍃🍃🍃
Siang hari, Elizah membuka ponselnya. Ada pesan dari Natta dan enam panggilan tidak terjawab dari Susan. Kekhawatiran menyeruak, Elizah takut ada sesuatu dengan keluarganya di desa. Lekas, Elizah menelepon Susan dan Susan mengangkatnya.
“Aku menelepon kamu berulang kali, Zah.”
Elizah mondar-mandir mendengarkan.
“Aku sekarang bekerja, ini lagi istirahat. Apa ada sesuatu dengan keluargaku, San? Abi?” Elizah tetap mengkhawatirkan sosok ayah yang sudah membuangnya itu.
“Keluargamu baik, ini tentang Ali.”
Elizah langsung terdiam.
“Ali bersikeras untuk bertemu sama kamu. Dia mendesakku meminta alamat tinggal kamu sekarang,” lanjut Susan dan Elizah tak menyangka Ali sampai seperti itu.
“Kamu memberitahunya?” tanya Elizah panik.
“Jelas enggak! Mana mungkin aku berani, Zah.”
Elizah merasa lega, dia tidak mau Ali seperti itu. Dia mau melihat Ali bahagia.
“Kenapa kamu harus bekerja? Dia tidak menafkahimu, Elizah?” Terdengar sekali Susan begitu khawatir.
“Dia memberiku nafkah tanpa perlu aku meminta. Aku bekerja karena merasa bosan saja,” balas Elizah dan Susan berniat menanyakan hal yang lain. Hal yang tampaknya lebih sensitif.
“Zah, apa aku boleh tanya sesuatu?” lirih Susan.
“Iya, kenapa?”
Susan terdiam cukup lama, Elizah melirik jam dinding. Waktu terus berlalu, dia juga merasa lapar dan belum melaksanakan salat.
“Dia memberi nafkah dan apa kalian memang sudah saling menerima? Kamu dengan pria asing itu sudah melakukan yang satu itu?” suara Susan begitu pelan, sangat hati-hati takut jika Elizah tersinggung.
“Maksudnya?” Elizah malah tidak paham sama sekali.
“Masa kamu enggak ngerti!” kesal Susan karena tidak mungkin dia harus menyebutkannya secara gamblang.
“Apaan, San?”
Susan mendengus.
Elizah menoleh ketika rekan kerjanya menyeru, memintanya agar cepat karena tamu membludak. Elizah pun pamit dan mematikan panggilan. Tidak terpikirkan apa yang sebenarnya dimaksud oleh Susan.
Ketika waktunya pulang, Elizah mendapatkan kabar bahwa Natta tidak bisa menjemput. Elizah akhirnya berjalan sambil membuka aplikasi di ponselnya, dia akan memesan taksi tapi suara yang dia kenal memanggilnya. Elizah menoleh dan itu adalah Sofi.
“Kamu sedang menunggu mas Natta, ya?”
Elizah mengangguk, “iya, tapi barusan dia mengirimkan pesan. Dia nggak bisa datang menjemput, jadi aku mau pulang sendiri.”
“Ya sudah, kita pulang sama-sama.” Sofi begitu bersemangat, Elizah tidak keberatan. Sofi harap dia bisa mendekatkan Elizah dengan Adit. Keluarganya juga menyukai Elizah, akan sangat menyenangkan sekali jika ia memiliki ipar seperti Elizah.
Sofi mengendarai motor dengan tenang, mereka sesekali berbincang kemudian mengatur rencana untuk mampir ke suatu tempat. Elizah sebenarnya agak ragu, tapi kapan lagi ia bisa melepas penat dengan temannya. Itu tidak akan menjadi masalah, bukan?
Sofi mengajak Elizah untuk makan bakso di tempat langganannya. Mereka duduk, memesan dan menunggu.
“Elizah, apa kamu ini sudah memiliki pacar?” Celetukannya membuat Elizah yang sedang menyeruput es teh itu terkejut.
“Pacar?” Elizah menahan tawa dan Sofi mengernyit, “aku tidak pernah berpacaran. Orang tuaku tidak akan membiarkannya, aku hanya boleh menikah.”
Sofi kebingungan.
“Emmm, berarti keluarga kamu keluarga yang taat banget, ya, Zah. Apa mas Natta juga diperlakukan sama? Dia tidak boleh pacaran?” tuturnya enteng.
Elizah hampir saja tersedak, kenapa bisa dia lupa menyebutkan orang tua padahal yang Sofi tahu dia dan Natta adalah saudara.
“Hmmm, iya,” jawab Elizah gelisah. Mengaduk-aduk minumannya dan Sofi menyadari kegelisahan Elizah.
“Kira-kira seperti apa perempuan yang disukai mas Natta?” Sofi terus mencerca Elizah dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan.
Elizah menggeleng pelan, “aku tidak tahu.”
Sofi tersenyum lembut. “Apa mungkin aku bisa membuat mas Natta suka sama aku?”
Elizah mengerjapkan mata, menatap Sofi dengan saksama. Temannya itu menyukai suaminya?
“Kenapa harus mas Natta?” tanya Elizah serak.
Sofi terkekeh-kekeh menatapnya, “apa kamu tidak mau memiliki ipar seperti aku, Zah?” Sofi terbahak dan Elizah sama sekali tidak bisa tertawa, itu tidak lucu. Natta adalah suaminya.
“Bagaimana pekerjaan kamu, Zah? Kamu betah kerja di situ?” Sofi mengalihkan pembicaraan dan Elizah terlihat begitu gelisah.
“Iya, aku masih perlu banyak belajar dan beradaptasi. Tapi mas Adit selalu ada untuk membantu,” katanya lirih dan terus kepikiran ungkapan Sofi yang memiliki perasaan untuk suaminya.
Sofi tersenyum, berharap perlahan tapi pasti Elizah bisa luluh atas apa yang Adit lakukan.
Mereka terus mengobrol, membahas pekerjaan. Setelah bakso mereka habis, mereka melanjutkan perjalanan menuju pulang.
Pukul sebelas, Natta baru datang. Dia begitu lusuh dan terus menguap. Natta lelah, sempat berniat untuk menginap di bengkel seperti waktu itu ketika dia dan Elizah ribut. Tapi dia takut Elizah menunggunya.
Natta membuka pintu, ia masuk dan menutup pintu dengan sembarangan. Pintu tidak tertutup dengan rapat.
Natta terpaku melihat Elizah terlelap di sofa, hanya memakai kaos pendek putih dan celana panjang berwarna hitam. Rambutnya terurai, ponsel berada di atas perut ratanya. Elizah ketiduran karena kelelahan, dia ingin bersantai di sofa sejenak tapi rasa kantuknya tak mampu dia tahan.
Dipandanginya wajah polos istrinya itu, dia tersenyum dan memindahkan ponsel Elizah ke atas meja dengan hati-hati. Tak mau dia melewatkan kesempatan untuk memandangi istrinya dengan leluasa seperti ini. Apa boleh dia kecup bibir merah muda itu sekilas saja? Atau mengecup keningnya lama sembari menariknya ke dalam pelukan?
Natta hanya bisa membayangkannya saja. Lalu berharap suatu saat nanti bukan dia yang menginginkan ciuman dan pelukan tapi Elizah yang menginginkan dan melakukannya. Entah kapan itu, dia hanya menunggu waktu.
Natta menatap jam dinding, berniat memindahkan Elizah tapi gadis itu menggerakkan tangannya. Mengira yang dia rangkul adalah bantal di kamarnya, Elizah terus memeluk bahu Natta sampai wajahnya bersandar di dada suaminya tanpa dia sadari. Natta sampai menahan napas karena gugup dengan gerakan yang Elizah lakukan.
Sepasang mata membola melihat momen intim di antara mereka. Dari belakang, bagaimana Elizah memeluk bahu Natta, itu terlihat seperti sedang melakukan sesuatu. Dan yang si pengintip tahu adalah Natta dan Elizah adik dan kakak. Karena panik dan takut, dia memilih pergi sementara Natta masih terdiam dengan posisi dipeluk oleh Elizah.
Karena Natta takut tak sanggup menguasai dirinya. Dia mencoba membangunkan Elizah.
“Eli, Eli,” ia terus memanggil dan Elizah mengerutkan alis. Matanya mengerjap, yang diingat suaminya belum pulang tapi sekarang suaranya terasa begitu dekat.
“Massssss.” Elizah meronta, mendorong tubuh Natta sampai punggungnya membentur meja. Elizah duduk dengan gugup dan Natta meringis. “Mas ngapain?”
Elizah menatap curiga.
“Harusnya aku yang nanya, kamu ngapain tidur di sini? Pintu juga tidak kamu kunci,” katanya memiliki alasan supaya Elizah tidak menyalahkannya..
Elizah melirik pintu yang sedikit terbuka, dia kemudian menyelipkan anak rambut di telinga. Natta semakin takjub melihat pesona istrinya itu.
“Aku ketiduran,” kata Elizah, menggenggam rambutnya. Mencari-cari di mana ia meletakkan kerudungnya.
Semangat
Tulisanmu sdh semakin terasah
Mirza emang ya keras kepala takut banget turun martabat nya