Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Merubah Kamar
Waktu tak terasa berjalan sangat cepat dan besok adalah pernikahan Hanung dan Gus Zam.
2 hari ini, Hanung tinggal di kediaman Umi Siti dan dilarang melakukan apapun. Hanung menghabiskan waktunya dengan membaca dan bermain dengan adik-adiknya yang ternyata sudah dijemput oleh sopir Pak Kyai. Sesekali mengobrol dengan Ning Zelfa yang berkunjung dan mengobrol dengan Ibu Jam. Berbeda dengan Gus Zam yang menghabiskan waktunya dikamar mengukir kayu.
Bu Nyai melarangnya menemui Hanung dengan alasan "dipingit". Gus Zam sempat tidak mau, tetapi kemudian Bu Nyai menjelaskan manfaat dari "dipingit" itu adalah untuk memupuk rasa rindu antar pasangan dan semangat untuk bertemu saat pernikahan, membangun rasa percaya dan kesabaran, serta memberikan waktu untuk berkumpul bersama keluarga.
"Sudah selesai, Kak?" tanya Ning Zelfa yang masuk kedalam kamar Gus Zam.
"Sudah."
"Bagus, Kak! Kenapa Kakak tidak mau membuatkannya untukku?"
"Kamu mau?"
"Ya jelas mau, Kak! Tapi jangan nama panjang, aku mau nama panggilan ku saja. Nanti akan aku gantung di pintu lemari pakaian." pinta Ning Zelfa bersemangat, sementara Gus Zam hanya mengangguk.
"Apakah kakak yakin menikah dengan Kak Hanung?" Ning Zelfa sudah mulai membiasakan diri memanggil Hanung dengan sebutan Kakak.
"Kenapa?"
"Apa Kakak tidak gugup?" Gus Zam menghentikan gerakan tangannya yang memoles ukiran nama Hanung Rahayu.
Jika ditanya gugup atau tidak, tentu Gus Zam gugup. Bukan gugup karena pernikahannya, tetapi bagaimana menjalaninya. Walaupun ia sudah bisa menerima kehadiran Hanung, untuk dekat dan kontak fisik ia masih belum mampu. Apakah ia akan menjadi suami dzalim jika dirinya tidak bisa membahagiakan Hanung?
"Apa membahagiakan harus dengan kontak fisik?" tanya Gus Zam.
"Aku juga tidak tahu, Kak! Tetapi dari yang kita pelajari, seperti menggenggam tangan, memberikan kecupan dan usapan sayang, berkata-kata manis, itu diperlukan untuk keharmonisan rumah tangga." jawab Ning Zelfa sambil memperhatikan sang kakak.
"Jangan pesimis dulu, Kak! Siapa tahu dengan pernikahan ini, kakak bisa mengahadapi trauma Kakak. Kakak tidak ingin selamanya seperti ini, kan?" Gus Zam mengangguk.
"Apalagi kalau Kakak menikah, kehidupan Kakak akan berhubungan dengan banyak orang. Terutama saat Kakak dan Kak Hanung memiliki anak nanti!" imbuh Ning Zelfa.
"Anak?"
"Ya! Jangan bilang Kakak tidak memikirkannya!" Ning Zelfa menyelidik.
Benar saja tebakan Ning Zelfa. Sang Kakak belum memikirkan sejauh itu, terlihat dari wajah Gus Zam yang sedang berpikir. Merasa ia telah terlalu jauh, Ning Zelfa pun meninggalkan Gus Zam begitu saja.
Sedangkan Gus Zam, tidak sadar jika Ning Zelfa sudah keluar dari kamarnya. Ia tenggelam dalam pikirannya karena perkataan sang adik. Jangankan anak, memikirkan bagaimana menjalani pernikahannya saja ia masih ragu. Kembali pikiran-pikiran negatif memenuhinya. Beruntung Pak Kyai mendatangi Gus Zam dan membuyarkan pikirannya.
"Adib, kamu harus menata ulang kamarmu. Kasihan Hanung kalau satu kamar dengan semua ukiran mu." Gus Zam pun melihat sekeliling kamarnya.
Benar yang dikatakan Pak Kyai, kamarnya penuh dengan ukiran. Mulai dari kaligrafi, ornamen, sampai ukiran berbentuk lukisan menumpuk di sisi kamarnya dan meja kerjanya juga terlihat berantakan.
"Kalau kamu tidak mau menjualnya, simpan saja di gudang." Kata Pak Kyai yang melihat Gus Zam hanya diam.
"Abi mau jual dimana?"
"Di galeri kayunya Kang Leman." kata Pak Kyai sambil melihat-lihat koleksi Gus Zam.
"Kang Leman hanya jualan lemari dan perabot kayu."
"Mau saja dia kalau ukirannya sebagus ini. Abi boleh minta yang ini?" Pak Kyai mengangkat sepasang kaligrafi bertuliskan lafaz Allah dan Muhammad.
"Boleh."
"Terima kasih. Kamu kalau perlu bantuan, minta tolong sama Kang Rahim." Gus Zam menganggukkan kepalanya.
Setelah Pak Kyai meninggalkan kamar, Gus Zam pergi ke gudang mencari kotak kardus kosong. Gus Zam memilah sesuai dengan besar kecilnya ukiran agar bisa disimpan rapi. Semua ukiran telah masuk ke dalam 4 kotak kardus ukuran besar. Tanpa meminta bantuan, Gus Zam mengangkat semuanya dan menyusunnya di gudang.
Saat kembali, Gus Zam membawa sapu dan pengki. Gus Zam membersihkan semua debu dan kotoran, termasuk meja kerjanya kini hanya menyisakan rak kayu berisi beberapa ukiran binatang karena peralatannya sudah ia rapikan kedalam toolbox. Gus Zam juga mengepel kamarnya dan mengganti korden serta seprai dengan yang bersih. Ia sudah terbiasa melakukannya sendiri, jadi tak ada masalah.
"Terlihat kosong, Dib!" seru Ning Alifah yang tidak sengaja lewat.
"Semua ukiran digudang."
"Bagus itu! Kasihan juga Hanung kalau kamu ajak tidur di atas tumpukan ukiran!" Gus Zam memalingkan wajahnya.
"Isi sofa panjang dan meja kecil saja. Atau kamu mau menambah lemari untuk Hanung nanti? Kasurmu juga terlalu kecil. Ganti dengan ukuran 180x200 saja."
"Kakak yang belikan?"
"Berangkat dengan Kang Rahim, sana! Kamu bisa pilih sendiri." kata Ning Alifah yang kemudian pergi begitu saja.
Gus Zam pun mengambil ponselnya dan menghubungi Kang Rahim. Tak lama kemudian, Kang Rahim datang menghampiri kamar Gus Zam. Melihat kamar yang kosong, Kang Rahim bertanya-tanya tetapi tidak mengutarakan. Sedangkan pemilik kamar sedang fokus melihat ponselnya.
"Ada apa Gus?" tanya Kang Rahim.
"Kang, saya mau yang seperti ini." Gus Zam menunjukkan gambar tatanan kamar.
"Bagus, Gus. Ini ke toko Baba Acong ada semua, tinggal pilih." Gus Zam mengangguk.
Mereka pun pergi ke toko yang Kang Rahim maksud. Dengan menggunakan topi dan masker, Gus Zam memilih sofa, meja dan tempat tidur bersama Kang Rahim. Tidak lupa membeli wall mirror untuk Hanung dan lemari 3 pintu, tentu mengandalkan Kang Rahim dibagian pembayaran dan nego.
Sampai di pesantren, Kang Rahim meminta beberapa santri membantu mengangkat barang yang mereka beli. Gus Zam mengangkat wall mirror mendahului semuanya. Ia mengeluarkan tempat tidurnya yang berukuran 120x200, meja kerjanya dan lemari.
"Adib, kamu merombak kamar?" tanya Bu Nyai tidak percaya.
Pasalnya beberapa kali beliau memintanya, selalu ditolak oleh Gus Zam yang mengatakan nyaman dengan kamarnya.
"Iya, nanti ada Hanung."
"Terimakasih, Hanung. Kamu membawa perubahan pada Adib." batin Bu Nyai yang tersenyum.
Tanpa bermaksud menunda, Bu Nyai meninggalkan kegiatan Gus Zam dengan sumringah.
Kamar Gus Zam benar-benar berubah total. Kang Rahim yang hafal dengan Gus Zam saja tidak percaya sedang merubah tatanan kamar yang sudah bertahun-tahun tidak ada perubahan itu. Kamar berukuran 4x3,5 dengan kamar mandi dalam itu bukan lagi studio ukir, tetapi kamar yang nyaman untuk pasangan.
"Lemari, meja kerja dan kasur ini bagaimana, Gus?" tanya Kang Rahim.
"Tidak tahu. Tanya Abi, Kang."
"Boleh tidak buat saya saja?"
"Kalau Kang Rahim tidak keberatan, ambil saja Kang."
"Terima kasih, Gus. Masih bagus semua ini." Kang Rahim pun meminta santri membawakan barang-barang tersebut ke kediaman beliau.
Setelah semua kembali hening, Gus Zam menatap kembali tatanannya. Dirasa sudah pas, Gus Zam memasang ukiran nama Hanung di atas wall mirror.
lagi...
lagi..../Smile/
tebawa suasana
JD + semngat nunggu bsb yg lain ny