Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7 : luka yang sama
Saat itu, malam semakin larut. Putri menggenggam tangan Tiara yang gemetar. Tanpa banyak bicara, Putri memutuskan untuk membawa Tiara ke kosannya, menjauhkan dirinya dari tempat yang penuh kenangan buruk. Sepanjang perjalanan, Tiara hanya terdiam, menahan sesak di dada. Rasa sakit, malu, dan kecewa menyelimuti hatinya.
Setibanya di kosan, Putri segera membukakan pintu dan membawa Tiara masuk. Tiara menghempaskan tubuhnya di atas kasur Putri yang kecil namun nyaman, sementara Putri duduk di sampingnya, menatap Tiara dengan tatapan penuh simpati.
Tak lama kemudian, Tiara mulai menangis. Tangisannya pecah, tak tertahan lagi, mencurahkan semua rasa sakit yang selama ini ia pendam. “Put, aku nggak kuat lagi. Aku nggak pernah mau begini. Aku benci pekerjaan ini!!”
Putri tetap diam, membiarkan Tiara meluapkan segala perasaannya.
“Aku selalu menjaga diriku. Selama ini, meskipun kerja di klub, aku nggak pernah kasih mereka apa-apa. Aku... aku masih perawan. Atau setidaknya... dulu masih. Aku nggak pernah biarkan siapa pun menyentuhku seperti tadi...” Suara Tiara tersendat, dadanya berdegup cepat, tangisnya semakin deras.
Putri memegang bahu Tiara dengan lembut, berusaha menenangkannya. “Teh, Putri mengerti. Putri tahu kenapa teteh ambil pekerjaan ini. Putri tahu, teteh butuh uang, kan? Teteh punya keluarga yang harus dibantu, kan?”
“Iya, Put. Ekonomi keluargaku berat,” Tiara melanjutkan dengan suara lirih.
“Aku anak pertama, empat adikku laki-laki. Mereka butuh aku. Orangtuaku nggak punya apa-apa selain harapan yang aku bawa pulang setiap kali dapat uang. Tapi aku nggak pernah nyangka kalau bakalan seperti ini...”
Putri menggenggam tangan Tiara lebih erat. “Teteh tenang ya. Teteh nggak sendirian. Ada Putri di sini buat teteh.”
Tangisan Tiara kembali pecah. “Aku udah kehilangan semuanya... Kehormatanku, harga diri... semuanya. Aku nggak bisa maafin diriku, Put. Aku malu sama diriku sendiri... Aku nggak tahu gimana caranya hadapi keluargaku setelah ini.”
Putri memeluk Tiara erat, membiarkannya menangis sepuasnya. Mereka terdiam dalam keheningan yang sarat akan kesedihan, namun di dalamnya ada harapan kecil bahwa Tiara akan bangkit, meskipun jalannya begitu terjal dan penuh luka.
Setelah tangisan Tiara mulai mereda, mereka berdua duduk bersandar di dinding kamar yang sempit. Sejenak, kamar Putri terasa hening, hanya suara tangis Tiara yang sesekali terdengar. Putri menatap tembok di depannya, wajahnya tampak murung, seperti mengingat sesuatu yang menyakitkan.
“Teh,” suara Putri terdengar lirih. “Sebenernya apa yang teteh alami itu, pernah aku alami juga.”
Tiara menoleh dengan mata sembab, menyimak kata-kata Putri yang kini terdengar berat. “Dulu aku juga sama, hampir mau bunuh diri. Situasinya emang beda, tapi sakitnya nggak kalah pedih, Teh. Mungkin bisa jadi lebih pedih dari yang teteh alami sekarang.” Putri menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
“Aku kerja di tempat ini juga bukan karena aku mau. Aku terpaksa melamar kerja di klub karena cuma klub yang mau nerima aku dengan latar belakangku yang amburadul.” Kata Putri pelan.
“Waktu aku masih tinggal di rumah, aku susah diatur. Orangtuaku akhirnya maksa aku untuk tinggal bareng pamanku sekalian belajar agama. Tapi, bukannya diajari agama, aku malah dijadikan budak pemuas nafsu bejadnya. Sering banget aku ngalamin hal yang nggak pernah bisa aku lupain... Paman aku, orang yang dianggap terhormat di keluarga, malah merusakku. Bukan sekali, tapi berkali-kali.”
Mata Tiara melebar, menatap Putri dengan kaget. Namun, Putri tetap tenang, meskipun jelas terlihat ada luka yang mendalam dalam kata-katanya.
“Pamanku itu seorang guru ngaji di kampungku. Semua orang hormat sama dia, termasuk orangtuaku. Tapi di balik itu, dia...” Putri terdiam sejenak, menahan emosi yang ingin meledak.
“Dia selalu masuk ke kamarku, hampir setiap malam. Saat itu aku cuma bisa nangis, ingin rasanya minta tolong. Tapi... dia selalu bilang, percuma aja cerita, semua orang nggak akan percaya.”
Tiara hanya bisa terdiam mendengarkan, hatinya semakin tercabik mendengar kisah Putri.
“Waktu itu, aku udah frustasi, aku beraniin diri cerita ke orangtuaku, dan bener aja, mereka nggak percaya. Mereka malah marah, karena aku selalu menggoda pamanku dengan berpenampilan seksi setiap malam. Padahal jelas-jelas aku nggak pernah berpenampilan seperti itu. Jangankan pake pakaian seksi, punya pakaian seksi aja enggak. Pamanku memfitnah aku yang saat itu joget seperti merayunya, padahal kejadian sebenernya justru pamanku lah yang memaksa aku melakukan hal itu. Disaat itu, aku langsung diusir dari rumah sendiri. Padahal aku cuma mau melindungi diri...” Suara Putri mulai bergetar, tapi ia mencoba untuk tetap kuat.
“Orangtuaku lebih percaya pamanku karena dia orang yang dihormati. Dia punya reputasi, sementara aku... aku dianggap sampah. Aku dianggap menghancurkan nama baik keluarga. Sejak kejadian itu, aku luntang-lantung. Nggak ada tempat buat pulang. Nggak ada yang bisa aku tuju. Itulah kenapa aku bisa keterima kerja di tempat kaya gini.” Putri tersenyum getir.
“Nasib kita ini sama, Teh, makanya aku tahu gimana sakitnya perasaan teteh. Tapi, teteh mesti ingat. Teteh masih punya orangtua dan adik yang mesti teteh perjuangin.
Meskipun berat, kita mesti tetap bertahan. Kita mesti tetap hidup, seenggaknya untuk diri kita sendiri. Meskipun sakit, meskipun harga diri kita diinjak-injak, kita harus tetap berjuang.”
Putri menoleh dan menatap Tiara dengan mata yang kini tampak tenang namun penuh luka.
Tiara menggeleng pelan, matanya kembali berkaca-kaca. “Kenapa hidup kita harus seperti ini, sih, Put? Kenapa harus begini...”
Putri menghela napas panjang, lalu dengan lembut memeluk Tiara. “Kadang hidup memang nggak adil, Teh. Tapi seenggaknya... kita masih bisa saling menguatkan...”
Perlahan, suasana di kamar itu mulai tenang. Meskipun hati mereka dipenuhi luka, ada seberkas ketenangan yang datang, seakan kehadiran satu sama lain menjadi sumber kekuatan yang kecil namun berarti. Mereka duduk dalam keheningan, saling berbagi luka dan rasa sakit, mencoba menerima kenyataan yang begitu pahit.