Tiga sejoli menghabiskan usia bersama, berguru mencari kekebalan tubuh, menjelajahi kuburan kala petang demi tercapainya angan. Sial datang pada malam ketujuh, malam puncak pencarian kesakitan. Diperdengarkan segala bentuk suara makhluk tak kasat mata, mereka tak gentar. Seonggok bayi merah berlumuran darah membuat lutut gemetar nyaris pingsan. Bayi yang merubah alur hidup ketiganya.
Mari ikuti kisah mereka 👻👻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon diahps94, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Simpang Siur
Mimpi hanya bualan semata, tak nyata dan hanya menyesatkan saja. Djiwa tak pernah percaya sedikitpun tentang mimpi itu. Berubah sebagaimana suasana hatinya, ada kemungkinan mimpi itu hanya sebagai anggannya saja. Alam bawah sadarnya menolak untuk menerima kenyataan ia lahir tanpa tahu orangtuanya. Mengarang cerita, betapa kehadirannya di nanti namun tak sampai lahir kematian hadir.
"Tunggu dulu, bukannya kau bercertia kalau kau bermimpi yang membunuh Zalina pria dengan tato kalajengking di bawah kuping? Bukankah itu Mahendra eh siapa tadi yang kau ceritakan?" Ujang ingat, minggu kalau Djiwa pernah membahas mimpinya dengannya.
"Itulah, setiap mimpi ku berbeda, yang pasti ibu ku mati di bunuh. Entah siapa pembunuhnya yang jelas masih ada sangkut pautnya dengan orang-orang sekitarnya kala itu." Djiwa putus asa, kenapa mimpi begitu sulit di jadikan wangsit.
"Mahendra, apa maksud mu Mahendra Kesuma? Pebisnis nomer satu yang sekarang menetap di negeri Jepang?" Wahdi teringat pernah suatu masa dirinya di tugaskan mengawal pengusaha bernama Mahendra untuk peresmian sebuah vila, apa mungkin vila itu yang di maksud oleh Djiwa.
"Mana aku tahu om, aku hanya mimpi tak pernah ku anggap serius, toh setiap kalinya berbeda." Djiwa pesimis mengungkapkan semua mimpinya yang masih di ingat.
"Mimpi ku seperti potongan kisah hidup ibu ku, yang terus berputar setiap malam, aku seperti di hantui, dulu aku ketakutan, karena rasanya mimpi itu begitu nyata, tapi sekarang rasanya biasa saja." Imbuh Djiwa.
"Sepertinya akan butuh waktu lebih lama untuk mengungkapkan semua, ngomong-ngomong jika benar Mahendra ayah mu, penyelidikan harus ke Jepang, belum lagi dia suka berpindah negara, orang penting sulit di ajak temu janji." Wahdi terbayang betapa peliknya masalah ini.
"Haduh, ada-ada aja ya. Emang Djiwa pengen punya ayah lagi selain kita, ayah Djiwa udah tiga loh, udah lah nggk usah di perpanjang terus, hayukk pulang Boti kangen masakan nenek." Ujang cukup pusing dengan masalah yang ada, bisakah dia kabur sekarang juga.
Perjalan hening tapa saling beradu pendapat, ketiga ayah itu gusar. Jika benar ayah dari Djiwa orang berada, berpangkat, dan punya pengaruh besar, lantas bagaimana hubungan mereka kedepannya. Kebenaran akan terungkap cepat atau lambat, tapi tak selamanya kebenaran itu indah. Hidup bahagia dengan kehadiran Djiwa, jika suatu hari Djiwa memilih keluarga kandungnya bagaimana nasib mereka bertiga. Djiwa separuh hidup mereka, Djiwa tumbuh dan berkembang dalam penglihatan mereka, tak sedikit pun tersirat hati untuk pisah.
Djiwa sendiri gelisah, dia memikirkan perkataan Ujang. Benar mereka ketiga ayahnya, tapi Djiwa juga ingin tahu siapa ayah kandungnya. Bukan menuntut belas kasih orangtua kandung, Djiwa inginkan kebenaran, mengapa hidupnya begitu tragis. Djiwa terus melamun, sampai di kejutkan dengan sosok hantu yang menangis santar di dekatnya. Djiwa benci saat seperti ini, dia sendiri sedang runyam di tambah makhluk gaib ingin eksis. Djiwa abai, dia berpura menguap lantas menutup mata, sepanjang perjalanan diam dalam mata terpejam.
Djiwa turun paling terakhir saat tiba, hantu itu ingin ikut nimbrung rupanya. Hantu wanita mengintil di balik tangan Yanto, saat akan masuk rumah Yanto baca doa dan mengucapkan salam, hantu wanita terpental entah kemana. "Hah."
"Kenapa seperti berat sekali beban mu, mau minep rumah Botu?" Dayat menyadari, Djiwa selalu bergelagat mencurigakan saat melihat hal gaib, benar dia tak cerita tapi Dayat orangtuanya, tak pernah abai dan selalu tahu. Oleh sebab itu meski mereka tak taat agama, tak pernah telat dalam berdoa.
Djiwa mengalihkan pandangan, menatap lemah ke arah Dayat. Dayat tahu anaknya butuh pelukan. "Anak Botu sudah besar, apa ada perkataan dari kita yang melukai mu tadi?"
"Tidak, aku hanya tak ingin kita berpisah apapun yang terjadi, aku khawatir sangat khawatir lebih khawatir daripada kalian, bisakah aku bertahan, bisakah aku tetap menjadi diriku yang sekarang, Botu apa aku bukan anak baik lagi?" Djiwa mencurahkan isi hati.
"Melodrama sekali kau bocah, cepat masuk mandi dulu!" Ujang mendengar, tak ingin kegundahan berangsur Ujang memilih jadi pelawak tanpa bayaran.
"Mandi kaya putri solo, gih duluan biar nanti kita bertiga mandi bareng aja." Imbuh Ujang.
"Siapa juga yang mau mandi dengan mu, ih malas aku lihat hutan rimba tak terurus." Nyinyir Yanto.
"Eh semak belukar kebakaran, aku juga tak sudi, ini cuma alternatif saja." Balas Ujang.
Djiwa terpingkal, tingkah ketiganya tak pernah berubah. Meski menjadi seorang ayah, tetap pada jati diri. Meski terkenal urakan tapi sekarang mereka penuh tanggungjawab. Mereka bahkan mengurangi ucapan kasar dan jorok, sekarang sopan sekali sudah seperti priyayi. Djiwa bangga di besarkan oleh mereka, tiba-tiba melo kembali minta di peluk secara bersamaan. Hingga Yanto berkomentar, mereka ibarat Teletubbies yang berpelukan.
Dayat menghisap sebatang rokok, pikirannya ruwet. Lama tak berkecimpung dengan dunia asap, meski tersedak dan batuk-batuk Ujang nekat merokok. Dayat tak merokok hanya terus memainkan ponselnya. Kegiatan yang berlangsung lebih dari lima belas menit itu terhenti karena kehadiran tiga cangkir kopi panas. Yanto meletakkan kopi di hadapan masing-masing, dirinya sendiri lekas duduk di antara Ujang dan Yanto. Meja bundar menjadi sakti obrolan malam mereka.
"Cok, aku ngeri bapaknya Djiwa mafia." Celetuk Dayat.
"Sepakat, kalau bukan mafia minimal penjahat banyak duit haram, kasusnya udah lama kenapa baru ke singgung sekarang?" Yanto pikir juga seperti itu adanya.
"Hemmmmm, Djiwa nggk aman sama kita, kita kurang waspada, lihat sendiri kemaren sape di culik, kepikiran nggak sih kalau yang nyulik teh orang suruhannya keluarga Djiwa yang jahat dan tak menginginkan dia lahir." Pemikiran Ujang sampai ke titik itu.
"Cok jangan banyakan nonton filmlah, masa iya ada hubungannya. Kalau semisal nih ya semisal benar orang suruhannya, harusnya udah dari dulu nggk sih ngambil Djiwa, terus katanya orang kaya semua perkara cepat tuntas, masa ia nyari anaknya yang ilang nggk ketemu-ketemu sih." Dayat yakin, meski pernyataan Ujang mungkin benar, tapi tak masuk akal.
"Eh kutu lembing, ya kalau Djiwa di buang pas udah lahir atau pas udah tahu sebenarnya udah waktunya lahiran itu mah wajar, lah ini anak Kunti, kuntilanak Yat, siapa yang percaya punya anak dari kuntilanak, kalau bapaknya nggk liat nggk bakal percaya, bisa aja kan penyelidikan pihak bapaknya sampe makan waktu belasan tahun." Ujang berusaha realistis.
"Masok akal, hahhhhhh makin gak karuan isi kepala denger omongan mu barusan Jang." Keluh kesah Yanto.
"Dari pada ku pikir sendiri, mending ku omongin biar pusing semua." Putus Ujang.
Jauh di kamar, Djiwa sedang menatap langit malam yang kelam. Jika mimpinya suatu peristiwa nyata di masa lalu, alangkah menderitanya sang ibu. Meneteskan airmata, dia benci sosok ibunya, dia benci sosok ayahnya, tapi tanpa fakta dia akan terus mendendam. Dia tak suka dirinya ditinggalkan, tapi jika tahu ibunya di bunuh akan jadi lain cerita, dan jika sang ayah benar mencarinya tapi digagalkan dengan jarak dan minimnya informasi, apakah kebencian itu masih mendarah daging.
Djiwa berselancar di jejaring internet, melakukan pencarian tentang sosok pebisnis bernama Mahendra. Tangannya beradu dengan huruf yang ada di kolom pencarian, setelah mantap dengan sebuah biodata diri dia klik dan mulai membaca. Detailnya membuatnya mumet, beralih ke mode gambar, Djiwa seketika menjatuhkan ponselnya ke muka sendiri.
"Tidakk, jangan...ini tak mungkin bukan?"
"Kenapa, dia begitu mirip dengan ku."
"Apa benar aku darah dagingnya?"
Bersambung