Yang satu punya banyak problematik, yang satunya lagi bocah bebas semaunya. Lalu mereka dipertemukan semesta dengan cara tak terduga.
Untuk tetap bertahan di dunia yang tidak terlalu ramah bagi mereka, Indy dan Rio beriringan melengkapi satu sama lain. Sampai ada hari dimana Rio tidak mau lagi dianggap sebagai adik.
Mampukah mereka menyatukan perasaan yang entah kenapa lebih sulit dilakukan ketimbang menyingkirkan prahara yang ada?
Yuk kita simak selengkapnya kisah Indy si wanita karir yang memiliki ibu tiri sahabatnya sendiri. Serta Rio anak SMA yang harus ditanggung jawabkan oleh Indy.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Terngiang-ngiang bagaimana Rio meneguk teh, Juni segera menghentikan pikiran konyolnya.
Sadar Jun, dia cuma seorang bocah. Memangnya apa yang bisa kamu harapkan dari dia?
Gelas yang sudah tandas isinya Juni kembalikan ke atas meja. Di depan Handi wanita itu menjadi mandiri, di mana aslinya ia adalah pesuruh ulung. Dikit-dikit manggil pelayan hanya untuk memindahkan atau mengambilkan benda untuknya yang berjarak tiga puluh centimeter.
Kemudian Juni berdiri, berpamitan ingin ke toilet sebentar.
Sepeninggal Juni ke toilet, Handi mendekati kursi anaknya. Air mukanya berubah, tidak lagi membingkai kesinisan. Dia mencoba berkomunikasi layaknya seorang bapak yang menyayangi putrinya, namun upaya tersebut langsung dicegah Rio. Pemuda itu mengeluarkan buku catatan beserta pulpen. Dia mulai menulis untuk ditujukan kepada Handi.
Rio: Om jangan bicara apa-apa dulu.
Dahi Handi Bhrasmana berkerut, mencerna maksud tulisan Rio. Pria paruh baya itu melihat ke arah Indy untuk menuntut penjelasan. Indy lekas merebut buku Rio lalu menulis di sana.
Indy: Turuti Rio Pah. Beberapa hari yang lalu ada penyadap di kamar aku. Bisa saja di sekitar Papah juga ada, mengingat dia selalu tahu soal Papah. Oh iya, aku sudah tahu isi surat itu.
Handi menghela nafas. Dia turut menorehkan tinta di atas kertas.
Handi: Maafkan Papah sudah keliru selama ini. Tapi bagaimana kamu bisa tahu nak? surat itu bahkan dicuri olehnya.
Indy: ini bukan saatnya bercerita panjang lebar. Lebih baik aku dan Rio memeriksa benda-benda disekitar Papah.
Indy mulai menggeledah dibantu oleh Rio. Keduanya mengitari tubuh Papah, kemudian tertuju pada jam tangan dan juga hp. Rio memeriksa kedua benda itu secara perlahan.
Satu menit.
Dua menit.
Lima menit.
Rio tersenyum sumringah. Dia telah menemukan alat penyadap ada pada komponen jam tangan. Dia segera melepaskan dan akan merusaknya, namun Rio tiba-tiba kepikiran sesuatu.
Rio: coba kakak berinteraksi dengan om Handi biar pelakor itu tidak curiga kenapa kita sepi-sepi aja.
Handi merebut buku percakapan.
Handi: jam tangan itu pemberiannya belum lama ini.
"Pah, ngapain sih segala datang kesini? ganggu waktu istirahat orang aja!" Indy menaik turunkan alisnya.
"Kamu jangan semakin kurang ajar sama Papah ya. Lagian Papah kesini juga mau menegaskan padamu tentang perjodohan."
Mendengar perjodohan Indy, Rio mendadak tidak suka meskipun dia tahu itu hanya sebuah basa-basi. Hatinya mencelos saat mendengar profil tentang lelaki yang mau di jodohkan dengan Indy. Handi tak henti-hentinya membahas Lukas, si pria yang mau disandingkan dengan anaknya.
"Lupakan saja tentang perjodohan itu. Papah lekas pulang sana dan jangan lupa bawa si pelakor turut serta."
Indy: Pah, tolong jangan ceritakan lelaki manapun di rumah ini. Aku tidak mau mendengarnya. Sebab ada hati yang sedang aku jaga.
Sementara yang di dalam toilet masih mematut dirinya di cermin. Betul saja, ia sedang mendengar percakapan lewat earphone yang menyumpal telinganya.
"Bagus deh mereka makin jauh. Tapi aku penasaran dengan penyadapan di kamar perempuan itu. Apakah rusak? atau... "
Tidak mau berlama-lama lagi di sana, Juni pun beranjak pergi untuk kembali nimbrung di ruang tengah setelah memoleskan lipstick merah cabai agar kembali menyala.
Rio tanpa aba-aba langsung menghancurkan penyadap tersebut.
...****...
Besoknya.
Siapapun orang yang berpapasan dengan Juni selalu menutup hidungnya. Saat di depan perempuan itu, mereka hanya menahan nafas selama beberapa detik. Ketika Juni sudah menjauh, mereka langsung menutup hidungnya dengan gerak serabutan bahkan sampai ada yang memuntahkan isi perut.
Juni bak bangkai berjalan.
Meskipun orang-orang merasa Juni begitu bau, tetapi Juni sendiri tidak menyadari hal tersebut. Dia masih menegakan wajah pongah ke seluruh orang yang ditemui. Sampai suatu ketika dia bertemu seorang temannya yang blak-blakan.
"Junifer. Lo belum mandi atau gimana sih? badan lo baaauuu banget, sumpah!"
"Bau gimana? lo jangan iri ya jadi orang. Gue pakai parfum mahal begini malah dibilang bau."
"Ya ampun Juni, lo di kasih tau nggak percayaan banget."
"Emang gue gak percaya! gue nggak nyium aneh dari tadi."
Bodo amat lah, pikir temannya Juni. Sepanjang bersama Juni, si teman berusaha keras menahan bau busuk yang menyergap hidungnya. Pada menit hampir ke enam puluh, temannya mengundurkan diri dari sisi Junifer.
Juni mengendus-endus badannya sendiri saking penasarannya. Eh ternyata bau sedikit, gumam Junifer. Dia kini merasa badannya memang bau agak lain. Dia berfikir hanya disemprotkan parfum yang banyak sudah beres urusan.
Ternyata tidak.
Lalat malah datang satu dua ekor menemani hari-hari Juni.
...****...
"ARGHHHHHH!!!"
Juni berteriak kesetanan saat dia tahu bau tubuhnya tidak bisa di hilangkan. Bertemankan lalat, membuat kondisi Juni kian frustasi. Ia berakhir merendam tubuhnya di bathub sambil menunggu suaminya pulang.
Drrrt.. drrt..
Hp didekatnya bergetar.
"Hallo Mas Han, kapan baliknya?"
"Maaf Jun, malam ini saya tidak bisa pulang ke rumah karena ada perjalanan bisnis."
"Kok gitu sih Mas?! aku dari tadi sebenarnya nungguin kamu."
"Kamu marah sama saya Jun?"
Juni rasanya ingin meledak. Di saat dirinya tengah kacau, dia pun harus bersikap pura-pura strong. Apakah Juni harus pura-pura pingsan agar suaminya bisa pulang malam ini?
.
.
Bersambung.
Heh, jd keinget gaya helikopter nya Gea sm Babang Satria🤣