Pandemi korona, tidak mengubah apapun dari hidup Niki Arsenio. Ia tetap tidak punya pacar. Boro-boro pacaran, punya teman saja tidak. Salahnya, karena lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain game alih-alih bergaul dengan anak-anak sebaya.
Sampai suatu ketika, Niki terperangkap oleh kecerobohannya sendiri. Akibat mengabaikan tugas sekolah, ia terpaksa menjadi pacar untuk tiga orang cewek sekaligus!
Bagaimana mungkin? Cewek? Mau jadi pacarnya? Udah gitu tiga orang pula!?
Dengan channel youtube yang harus diurus dan UAS yang sudah di depan mata, nggak ada waktu untuk Niki berpikir.
Demi membuktikan diri dan mempertahankan password WiFi, Niki pun harus berjibaku dengan plot klise seperti di anime-anime komedi romantis. Mampukah Niki melakukannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pisanksalto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Majikan dan Asisten (Part 1)
Aku mengerjap beberapa kali. "Huh? Bisa diulang. Kayaknya aku salah dengar," pintaku seraya mengorek telinga dengan kelingking. Akhir-akhir ini entah kenapa pendengaranku rada bermasalah.
"Seperti yang saya katakan sebelumya. Dengan hormat, saya mohon Tuan Niki Arsenio, untuk mempertimbangkan putus hubungan dengan Nona Ferra." Tya mengulang ucapannya.
"Kayaknya tadi nggak ada kata 'Dengan Hormat'."
"Ada."
"Nggak ada."
"Ada."
"Nggak ada."
"Ada."
"Ngga—ok. Ada." Aku mengalah. Tekad Tya terlalu besar. Artinya, ucapannya tadi sungguh-sungguh. "Tapi, putus hubungan? Kamu mau aku putus sama Ferra, gitu?"
Tya mengangguk. Aku berdecak sebal. Cewek ini ... seenaknya saja suruh-suruh!
"Nggak bisa. Aku nggak mau putus sama Ferra. Setidaknya untuk sekarang," ucapku dengan mantap.
"Bahkan jika saya bilang bahwa saya sudah tahu bahwa hubungan Anda dengan Nona Ferra hanyalah hubungan palsu yang berlandaskan ancaman?"
"Tentu saja. Bener banget." Aku mengangguk setuju, sebelum akhirnya sadar ... eh bentar. "KOK KAMU TAHU???"
"Nona Ferra yang memberitahukannya pada saya," jawab Tya tenang.
Tya adalah asisten pribadi Ferra. Kemungkinan besar Ferra akan curhat pada Tya tentang masalah ini. Cuman demi apa coba? Aku hanya nggak bisa menangkap maksud dan tujuannya. Belum lagi, Pak Heri maupun Mbak Siti kemungkinan juga sudah tahu. Niki Arsenio, pacaran dengan Ferra Laila Kusuma, majikan mereka, hanya karena sebuah hukuman. Dengan kata lain ini adalah hubungan palsu. Bisa kacau semuanya!
Seolah mampu membaca pikiranku, Tya menambahkan, "Pak Heri dan Mbak Siti tidak tahu apa-apa. Beliau hanya tahu, Anda pacarnya Nona Ferra. Oleh sebab itu, sebelum semua orang mengetahui kenyataannya dan membuat situasi semakin runyam, saya mohon pada Anda untuk segera mengakhiri hubungan dengan Nona Ferra."
Aku mengacak rambut dengan gusar. "Kamu beneran kayak robot android! Ngomongnya diulang terus. Kamu ngerti, kan? Aku nggak bisa putus sama Ferra. Setidaknya sampai waktu yang sudah ditentukan. Jadi, tunggu saja sampai saatnya tiba," jelasku, lalu pergi menuju gazebo. Meninggalkan Tya yang kini tertunduk menatap tanah.
Aku menggeleng, berusaha mengacuhkannya. Walau, sangat sulit untuk mengaku kalau aku sebenarnya penasaran. Kenapa Tya kebelet banget menjauhkanku dari Ferra? Harusnya, kan, Tya manut aja. Mau hubungan palsu, kek. Serius, kek. Secara, Ferra adalah majikannya—maksudku atasannya. Aku nggak suka kata "Majikan". Kesannya kayak perbudakan. Satu-satunya yang kupikirkan ialah, perselisihan pendapat di antara keduanya. Penolakan Tya padaku jadi masuk akal. Ia nggak suka melihat Ferra menjalani hubungan palsu ini, dan berusaha menyangkalnya, tapi Ferra yang nampak tenang-tenang saja seolah berusaha mengatakan "Lihat, semuanya berjalan sesuai yang kuinginkan."
Aku merinding. Nggak pernah menyangkan bakal terlibat konflik internal kayak beginian.
"Tunggu," Tya tiba-tiba menangkap pergelangan tanganku. Menggenggamnya erat. Hingga aku tak berkutik. Aku menatapnya kaget bercampur heran, menunggu. Tapi Tya malah menatapku dengan sorot mata penuh pengharapan. Melambungkan seisi rongga dadaku. Ekspresinya ... imut ... banget. Untungnya aku cepat sadar dan bersiap untuk menyimak apa yang akan dia katakan. "Apakah ...," sambung Tya. "... Anda mencintai Nona Ferra?"
Pertanyaan Tya sederhana. Hanya lima kata. Namun, bak baju zirah dalam game yang ditembus oleh panah berstatus penetrasi, damage-nya menghujam sampai ke hati. Pertanyaan, yang aku sendiri pun takut untuk menanyakannya. Aku mengalihkan pandangan. Ke tanaman bonsai, pagar, kucing oren, kemana pun, asal bukan mata Tya yang nampak tulus. Curang. Setelah dia memperlakukanku dengan kasar di awal, sekarang dia mau memerasku dengan keimutan? Cewek memang menyeramkan.
"Aku ... nggak tahu," jawabku setelah lama terdiam. Mulut Tya membuka, nampak ingin mengatakan sesuatu lagi. Namun, aku lebih dulu membungkamnya. "Dan nggak peduli."
Kelihatan banget bohongnya, ya? Aku sangat peduli, kok. Tentang bagaimana perasaan Ferra akan hubungan ini. Tapi aku ingat aku sadar sedang tidak berada di dalam cerita komedi romantis. Jadi, nggak ada harapan, setelah kejadian ini, Ferra bakal jatuh cinta padaku, atau aku yang jatuh cinta sama Ferra. Meski opsi terakhirlah yang paling mungkin terjadi.
Perlahan genggaman Tya mengendor. "Begitu rupanya. Baik, saya mengerti."
Tya lalu mohon undur diri dan meminta maaf karena telah menggangu waktuku. Kesopanannya kadang membuatku takut. Alih-alih asisten pribadi Ferra, cara Tya bersikap lebih mirip maid yang sering kulihat di anime. Mungkin lebih.
"Agak lama, ya," tegur Ferra ketika aku baru duduk di tempatku semula. "Ngapain aja kamu di kamar mandi?"
"Bukan apa-apa!" sahutku cepat. "Daripada itu pukul berapa sekarang?"
"Pukul sebelas."
"YABE. Satu jam lagi tugas Kimia di kumpul!" ucapku panik. Buru-buru mengambil pulpen dan mulai menulis. Duh! Mana baru selesai 6 dari 20 soal lagi! Sempet, nggak, ya? Ah bodo amat! Terobos ae lah!
Di saat aku tengah fokus pada soal, hampir tak kusadari Ferra yang menghela napas dengan gusar. Berkali-kali selang tiap menitnya. Ingin kutanyakan ada masalah apa, sebelum keduluan Ferra yang angkat bicara. "Niki, kamu tahu apa yang paling nyebelin ketika pacaran?"
"Semua hal menyebalkan," jawabku sembari menulis dengan perlahan biar nggak kecoret.
Ferra meletakkan smartphone-nya. Gesturnya menunjukkan ketertarikan dengan topik obrolan. "Kamu orang yang jujur, Niki. Itulah yang membuatmu nggak pandai berbohong. Tapi percayalah, ketika kamu tahu bahwa pasanganmu menyembunyikan sesuatu darimu, rasanya nyebelin banget. Sekarang, jujur, Niki, apa yang kamu omongin sama Tya tadi?"
Jadi, Ferra melihatnya, ya. Yah, apa mau dikata. Sebenarnya aku nggak mau membahasnya, tapi sejauh yang kuamati, Ferra adalah tipikal orang yang nggak bakalan nyerah sebelum mendapat apa yang dia inginkan. Percuma saja kalo aku mau coba ngelak lagi. "Dia tahu kalo aku jadi pacarmu karena dihukum."
"Terus?"
"Dia minta kita putus."
Ferra berdecak. "Dasar keras kepala. Sampai lupa sedang berhadapan dengan siapa."
"Sebenarnya, kalian berdua kenapa, sih?" tanyaku kemudian.
Ferra nggak langsung menjawab. Kembali main smartphone, sekilas kulihat ia tersenyum. Entah apa artinya, aku nggak tahu. Dengan was-was, aku menunggu.
Aku seratus persen sadar bahwa pertanyaanku barusan akan membawaku memasuki pintu kehidupan ke dua cewek ini. Tapi apa boleh buat, kan? Jika aku terus berdiam diri saja tanpa melakukan apapun, rasa penasaranku tak akan pernah terjawab. Siapa tahu, ada petunjuk yang mengarah pada asal muasal hukuman bodoh yang tengah kujalani. Apa? Kamu heran kenapa aku masih memperdulikannya sampai sekarang? Catat ini. Aku sangat ingin tahu alasannya biar aku bisa berhenti ngarep yang macam-macam sama Ferra! Nggak kurang. Nggak lebih.
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku mau kamu berjanji padaku terlebih dahulu." Ferra meletakkan smartphone-nya. Kali ini dimatikan. Dia serius.
"Janji apa?"
"Janji kamu akan menikahiku."
"Mending lanjut nugas," kataku, meraih pulpen. Hilang minat.
Ferra menahan tanganku. "Jahat banget! Aku, kan, cuma bercanda!"
Justru kamu yang lebih jahat karena bilang itu cuma bercanda! rutukku dalam hati yang mulai retak.
"Selera humormu itu sulit dimengerti, Ferra." kataku.
"Wajar. Kan, aku nggak terbiasa ngebadut kayak kamu."
Ngebadut, ya, huh? Sekuat mungkin kupertahankan ekspresi wajah datar. Sabar, Niki. Sabar.
"Terus, janjinya apaan?" tanyaku setelah meredakan rasa kesal.
Ferra memajukan wajahnya. "Berjanjilah kamu nggak akan ikut campur masalahku dengan Tya." Cepat-cepat kumundurkan kepala menjauhi wajah Ferra yang terlalu dekat. Dengan gerakan sehalus itu, ia sekali lagi berhasil menembus jarak aman satu meter dariku. Benar-benar nekat. Emang dia nggak takut korona?
"Tergantung." kataku. "Tapi setelah melihat sikap kalian, aku ragu dengan ada atau tidaknya keterlibatanku pada masalah kalian."
"Kenapa begitu?"
"Katakan. Ini ada hubungannya dengan hukumanku, kan?"
Aku memang belum tahu apa alasan Ferra menghukumku jadi pacarnya. Tapi jika itu ada hubungannya dengan sikap Tya, maka sudah pasti hal itu mengganggunya. Tya tidak menerima alasan itu. Sama halnya dengan Tya tidak menerima keberadaanku di sini. Dengan kata lain ia nggak setuju aku jadi pacarnya Ferra. Pertanyaan; Kenapa? Ini yang sedang aku cari-cari.
"Mungkin," jawab Ferra, menghindari tatapanku.
Aku mengernyit. "Kok, mungkin, sih?" Jawaban Ferra benar-benar di luar dugaanku.
Mengawang-mengawang di antara 'Ya' dan 'Tidak'. Seperti bukan Ferra saja. Baiklah, kuakui agak aneh berpikiran begitu mengingat aku nggak terlalu mengenalnya.
Ferra memeluk lutut. "Selama ini Tya selalu setuju dengan apapun yang kukatakan. Semua permintaanku dia turuti. Bahkan dengan hal yang menyangkut kepentingannya sendiri dia abaikan demi melayaniku. Baru akhir-akhir ini saja dia agak 'rebel', Jujur, terkadang aku bingung bagaimana harus memperlakukannya."
"Bukannya dia asisten pribadimu?" tanyaku. Kalo posisiku ditukar dengan Ferra, serius aku nggak bakalan muluk-muluk mikir gimana memperlakukan Tya. Hei! Asisten pribadi! Memang apalagi tugasnya selain ngerjain hal pribadimu. Nyuci pakaian, nyiapin makan, ngerjain tugas sekolah. Dan bantal paha! Oh man! Cowok mana yang nggak mau baring di paha cewek?! Tidak tidak tidak. Tentu saja aku nggak melakukan hal yang serendah itu. Paling mentok jadiin guling.
"Sulit untuk beranggapan begitu kalo kamu sudah bersamanya sejak TK." Benar. Alih-alih asisten pribadi, mungkin Ferra sudah menganggap Tya seperti teman, sahabat, saudara, atau bahkan keluarga.
Bukannya aku geer, tapi "anggap", nih "anggap" Ferra memang naksir aku sejak awal, menggunakan alibi hukuman ini untuk menjadikan aku pacarnya, terus orang terdekat menentang hubungannya dengan orang yang dicintai, pastilah menyakiti perasaanya, kan? "Tapi tenang saja, Niki," lanjut Ferra. "Karena sekarang, aku sedang berusaha meyakinkannya bahwa kamu adalah orang yang tepat untuk menjadi pacarku."
Aku tertegun. "Meski itu hanya untuk satu hari dan sekedar hukuman untukku?"
"Iya," jawab Ferra seraya tersenyum manis. Demi MC ampas dalam anime harem, bagaimana mungkin aku nggak geer setelah diginiin?!