NovelToon NovelToon
Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Romantis / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Aku punya cerita nih, soal dunia ku yang banyak orang bilang sih kelam, tapi buat ku malah keren dan penuh dengan keseruan. Aku punya circle, sebuah geng yang isinya anak-anak yahut yang terkenal jahil dan berani. Seru abis pokoknya! Mereka itu sahabat-sahabat yang selalu ada buat ngelakuin hal-hal yang bikin adrenaline kita ngacir.

Kita sering hang out bareng, kadang sampe lupa waktu. Dari yang cuma nongkrong asyik di tempat-tempat yang biasa kita tongkrongin, sampe yang agak miring kayak nyoba barang-barang yang sebenernya sih, yah, kurang direkomendasiin buat anak muda. Tapi, yah, lagi-lagi itu semua bagian dari mencari identitas dan pengalaman di masa remaja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 19

Situasi jadi agak menegang buatku saat aku menyadari Rian juga ada di rombongan itu. Rian itu terkenal sebagai anak yang paling suka bercanda di sekolah, tapi kadang-kadang bercandanya bisa kelewatan.

Jujur aja, aku sempat takut kalau suasana bisa jadi tidak nyaman karena jumlah mereka yang lebih banyak dan aku nggak tau apa yang akan terjadi.

Ketakutanku belum sepenuhnya hilang saat salah satu dari mereka, cowok bertopi dengan name tag 'Wendi', tiba-tiba berkata, "Tara!" dengan semangat yang luar biasa.

Reaksi kami semua? Heboh dong! Aku juga ikutan terkagum-kagum melihat apa yang dibawa oleh mereka.

"Nangka?"

Sempat mikir itu nangka karena bentuknya yang mirip, tapi ternyata Rian yang duduk di sebelahku dengan santainya menjelaskan, "Ini bukan nangka," sambil tersenyum.

Senyumnya itu sebenarnya bisa menenangkan, tapi karena dia duduk terlalu dekat, aku jadi sedikit risih. Aku nggak mungkin langsung bilang gitu ke dia karena takut situasi jadi awkward atau malah bisa menimbulkan masalah dengan rombongan mereka.

Caca, yang tampaknya peka dengan keadaan, segera menyela dengan membawa buah itu lebih dekat kepadaku, "Ini cempedak," ucapnya.

Aku melihat lebih dekat dan memang, ada perbedaan jelas antara cempedak dan nangka, terutama dari tekstur kulitnya.

"Baunya harum banget," ucapku, mencoba mengalihkan perhatianku dari rasa tidak nyaman tadi.

"markicob!" teriak Rian.

"Mari coba!" teriak mereka bersamaan, suara mereka penuh antusiasme.

Aku sedikit gelagapan. Ini situasi yang jarang aku alami, di mana aku harus berinteraksi begitu akrab dengan kelompok lain dari berbagai kelas. Di sini ada anak kelas VII sampai IX, dari berbagai kelas, dan mereka semua tampak kompak.

Hal itu bikin aku berpikir lagi. Mungkin, selama ini, aku terlalu khawatir tentang perbedaan dan terlalu fokus pada ketakutan pribadiku sampai-sampai nggak sadar bahwa kami semua sebenarnya bisa akrab dan kompak juga.

Melihat mereka bersorak gembira dan berbagi cempedak, aku mulai merasa lebih nyaman dan berusaha mengesampingkan rasa tidak nyaman itu. Ini kesempatan baik untuk lebih mengenal mereka dan menikmati momen kebersamaan, meskipun harus sedikit keluar dari zona nyamanku.

"Gimana rasanya?" tanya Davina, dengan senyum yang ramah.

"Enak banget," jawabku jujur, dengan senyum.

Kata-kataku itu membuat mereka semua tertawa. Aku tahu, dalam kebersamaan ini, aku sering dianggap polos. Selalu saja ada komentar yang menyebutkan aku terlalu 'bersih' untuk bergabung dalam geng mereka. Mungkin memang benar, aku tidak selalu se-"liar" mereka dalam hal berbicara atau bertindak.

"Makan yang banyak kalau gitu," ucap Rian sambil tersenyum dan mulai memotong lagi buah cempedak dengan goloknya.

Sejenak, aku berpikir heran, kok bisa ya anak SMP bawa golok dan menyimpannya di gubug, tapi pikiran itu segera tergantikan oleh rasa nikmat cempedak yang masih terngiang di lidahku.

"Nih ambil," katanya, memberikanku beberapa potong buah yang sudah ia sisihkan khusus untukku.

Aku mengambilnya dan, di momen itu, perasaanku tentang Rian mulai berubah. Dia tidak seburuk yang selama ini kubayangkan.

"Makasih banyak," ucapku dengan senyum lebar, menatap lurus ke matanya.

Mungkin karena tatapanku terlalu intens, dia memilih untuk mengalihkan pandangannya. Tanggapan ini disambut dengan ejekan ringan dari yang lain, "Makasih banyak," katanya, menirukan dengan nada yang seolah-olah mengejek.

Tapi aku tidak peduli. Yang penting, aku mendapatkan bagian buah yang paling banyak di antara yang lain, dan itu sudah cukup membuatku bahagia.

Momen itu, meskipun sederhana, benar-benar membuatku merasa lebih dekat dengan mereka. Aku mulai menyadari bahwa terkadang ketakutan dan prasangka bisa menghalangi kita untuk melihat sisi baik orang lain.

"Ini dapet dari mana?" tanyaku penasaran, sambil memandang ke arah Wendi.

Dari postur tubuh dan wajahnya, aku yakin dia sudah kelas IX.

"Nyolong," jawabnya dengan tawa yang santai, seolah-olah itu bukan masalah besar.

Keheranan masih belum lepas dari pikiranku ketika Wendi dengan santainya bilang dia nyolong cempedak itu. Aku bingung, ini sebenarnya serius apa becanda sih? Tapi dari ekspresi dia dan senyum santai Miranda, sepertinya ini bukan hal baru buat mereka.

"Di sini segala hal bisa terjadi," batinku, mencoba mengerti realita baru yang cukup liar ini.

Belum sempat pikiran itu reda, suasana mendadak berubah saat aku mendengar suara korek api menyala. Lima cowok mulai ngerokok dengan santainya, layaknya adegan di film-film yang sering ditonton. Satu dari mereka, cowok yang aku kira kelas VII C, terlihat cukup muda untuk sudah berani minta rokok.

"Bagi dungs?" katanya dengan nada yang terlalu akrab.

Adegan itu somehow bikin aku merasa kayak lagi nonton scene dari serial drama sekolah yang penuh intrik.

Rian, tanpa banyak cingcong, langsung mengulurkan sebatang rokok kepadanya.

"Nih," katanya singkat.

Cara mereka berinteraksi, begitu bebas dan tanpa kekhawatiran, membuatku mulai bertanya-tanya tentang banyak hal. "Di mana letak batasnya ya?" gumamku dalam hati.

Saat rokok itu dinyalakan, asap mulai berkepul dan menguar, menambah aroma khas yang campur aduk dengan bau manis cempedak di udara. Aku hanya bisa melihat dengan mata terbelalak, menyaksikan bagaimana sebatang rokok bisa jadi begitu normal di kalangan mereka.

Melihat ekspresi terkejutku, Denis, yang baru saja kubaca namanya dari name tag, tertawa kecil.

"Jangan keget gitu dong," katanya, seolah bisa membaca kebingungan dalam pikiranku.

Wendi, yang dari awal tampaknya menjadi pusat perhatian dan mungkin juga pengaruh di grup ini, menambahkan dengan nada santai, "Sekarang nih udah banyak anak cowok yang ngerokok."

Aku mencoba mencerna informasi tersebut, memperhatikan bagaimana Wendi berbicara dan sikapnya yang penuh kepercayaan diri. Gaya bicaranya, cara dia mengatur posisi duduk, dan bagaimana yang lainnya tampak menghormatinya, semuanya menunjukkan bahwa dia memang memegang peran penting di sini. Mungkin dia adalah semacam pemimpin tidak resmi bagi anak-anak dari berbagai angkatan di sekolah ini.

Situasinya jadi tegang sejenak ketika cowok dengan rambut gondrong, yang aku yakini sebagai tangan kanan Wendi, bersuara.

"Iya, jangan lihat kayak orang jahat," katanya sambil melemparkan pandangan ke arahku.

Aku langsung merasa tertohok, seolah-olah disorot dengan lampu sorot besar di tengah panggung.

"Cuma kaget aja," balasku dengan cepat, mencoba menenangkan suasana.

Aku memang kaget, tapi sejujurnya, melihat mereka merokok membuatku merasa sedikit takut. Aku langsung membayangkan apakah mereka akan dicap sebagai anak nakal di sekolah.

Merokok, bukan hanya tentang aroma dan asap yang mengganggu, tapi juga tentang reputasi dan penilaian orang terhadap kita. Aku takut diidentifikasi sebagai bagian dari 'mereka'—sekelompok anak yang dilihat oleh orang lain dengan pandangan buruk.

"Santai bang," ucap Caca, mencoba meredakan ketegangan.

Miranda mengamini dengan senyumnya yang hangat, "Dia baru lihat anak sekolah ngerokok secara langsung," imbuhnya, mencoba memberi pemahaman pada teman-teman di sekitar.

Tapi Wendi, yang tampaknya sebagai pemimpin tak resmi di sini, tidak terlalu bisa ditenangkan. "Lain kali jangan bawa-bawa anak baik ke sini," ucapnya tegas.

Aku nyaris mau protes, tapi sebelum aku bisa bicara, tangan kanannya memberi peringatan, "Iya, bakalan rumit kalau dia nanti kena masalah, ujungnya kita juga yang kena."

1
Amelia
halo salam kenal ❤️🙏
Atika Norma Yanti: salam kenal juga ya😄
total 1 replies
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya
Anita Jenius
seru nih mengangkat masalah pembullyan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!